Gelar Aksi, Karyawan Perhutani Minta Menteri Siti Cabut SK KHDPK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Serikat Karyawan (Sekar) Perum Perhutani kembali menolak Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar terkait penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Penolakan ini disampaikan dalam bentuk aksi demonstrasi di kawasan Monas, Jakarta Pusat, siang hari ini.
Adapun penetapan KHDPK pada sebagian hutan negara yang berada pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
Massa aksi meminta agar Siti Nurbaya mencabut atau membatalkan SK tersebut. Plt DPP Sekar Perhutani Muhamad Ikhsan menilai, telah terjadi disorientasi tujuan pengelolaan hutan. Yaitu dari tujuan utama pengelolaan hutan bagi kelestarian lingkungan, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi hutan untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat semata.
"Tujuan aksi damai adalah untuk menyampaikan kepada masyarakat Indonesia dan pemerintah peran strategis hutan Jawa dalam mendukung kehidupan baik dari aspek ekologis, tata air, mitigasi bencana, perlindungan keanekaragaman hayati, perekonomian, sosial dan budaya," ujarnya, Rabu (20/7/2022).
Menurut dia, keberadaan SK Menteri LHK tersebut membuat lahan kurang lebih 1,1 juta hektar di hutan Jawa yang selama ini telah dikelola Perhutani akan dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan diberikan izin pemanfaatan hutan baru.
Ikhsan mengklaim kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan konflik horizontal antara pengelola yang sudah eksisting dengan pemegang izin baru.
"Dan hal ini sudah terjadi di lapangan. Selain itu, kebijakan tersebut berpotensi juga terjadi kerusakan hutan karena hutan dikelola secara kelompok dan individu hanya untuk usaha produktif,” katanya.
Ikhsan mencatat lahan seluas 1,1 juta hektar merupakan tempat hidup 56% penduduk dari total 270 juta populasi Indonesia.
Kawasan hutan yang menjadi penyangga hidup jutaan biodiversitas mencapai 3 juta hektar, di mana 2,4 juta hektar diantaranya dikelola Perhutani untuk kepentingan publik.
"Selama ini, sesuai amanah UU, dalam mengelola hutan, Perhutani selalu melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar hutan sebagai mitra sejajar. Hal ini untuk kepentingan pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat," ungkap dia.
Adapun lima poin yang disoroti DPP Sekar Perhutani yaitu, pertama, KHDPK dinilai tidak selaras dengan tata guna lahan yang mensyaratkan kecukupan luasan kawasan hutan pada suatu daerah sebesar 30%.
Kedua, bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa UU No.11/2020 (UUCK), inkonstitusional bersyarat, harus diperbaiki dalam kurun waktu maksimal 2 tahun, dan menunda pemberlakuan UUCK beserta peraturan peraturan terkait.
Ketiga, adanya perubahan pola pengelolaan hutan dari yang semula terorganisasi secara profesional menjadi individual.
Keempat, sebagai kebijakan pengelolaan aset negara, tidak memenuhi prinsip-prinsip Good Forestry Governance (GFG), dan Good Risk Compliance (GRC) seperti azas Transparansi, Akuntabilitas, Responsibility, Independent, Fairness, kemanfaatan, analisis risikonya, kebencanaan, dan keberlanjutannya.
Kelima, melemahkan kelembagaan Perhutani sebagai institusi negara yang sah, berpengalaman, dan kompeten dalam pengelolaan hutan di Jawa bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan sebagai mitranya.
Adapun penetapan KHDPK pada sebagian hutan negara yang berada pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
Massa aksi meminta agar Siti Nurbaya mencabut atau membatalkan SK tersebut. Plt DPP Sekar Perhutani Muhamad Ikhsan menilai, telah terjadi disorientasi tujuan pengelolaan hutan. Yaitu dari tujuan utama pengelolaan hutan bagi kelestarian lingkungan, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi hutan untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat semata.
"Tujuan aksi damai adalah untuk menyampaikan kepada masyarakat Indonesia dan pemerintah peran strategis hutan Jawa dalam mendukung kehidupan baik dari aspek ekologis, tata air, mitigasi bencana, perlindungan keanekaragaman hayati, perekonomian, sosial dan budaya," ujarnya, Rabu (20/7/2022).
Menurut dia, keberadaan SK Menteri LHK tersebut membuat lahan kurang lebih 1,1 juta hektar di hutan Jawa yang selama ini telah dikelola Perhutani akan dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan diberikan izin pemanfaatan hutan baru.
Ikhsan mengklaim kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan konflik horizontal antara pengelola yang sudah eksisting dengan pemegang izin baru.
"Dan hal ini sudah terjadi di lapangan. Selain itu, kebijakan tersebut berpotensi juga terjadi kerusakan hutan karena hutan dikelola secara kelompok dan individu hanya untuk usaha produktif,” katanya.
Ikhsan mencatat lahan seluas 1,1 juta hektar merupakan tempat hidup 56% penduduk dari total 270 juta populasi Indonesia.
Kawasan hutan yang menjadi penyangga hidup jutaan biodiversitas mencapai 3 juta hektar, di mana 2,4 juta hektar diantaranya dikelola Perhutani untuk kepentingan publik.
"Selama ini, sesuai amanah UU, dalam mengelola hutan, Perhutani selalu melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar hutan sebagai mitra sejajar. Hal ini untuk kepentingan pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat," ungkap dia.
Adapun lima poin yang disoroti DPP Sekar Perhutani yaitu, pertama, KHDPK dinilai tidak selaras dengan tata guna lahan yang mensyaratkan kecukupan luasan kawasan hutan pada suatu daerah sebesar 30%.
Kedua, bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa UU No.11/2020 (UUCK), inkonstitusional bersyarat, harus diperbaiki dalam kurun waktu maksimal 2 tahun, dan menunda pemberlakuan UUCK beserta peraturan peraturan terkait.
Ketiga, adanya perubahan pola pengelolaan hutan dari yang semula terorganisasi secara profesional menjadi individual.
Keempat, sebagai kebijakan pengelolaan aset negara, tidak memenuhi prinsip-prinsip Good Forestry Governance (GFG), dan Good Risk Compliance (GRC) seperti azas Transparansi, Akuntabilitas, Responsibility, Independent, Fairness, kemanfaatan, analisis risikonya, kebencanaan, dan keberlanjutannya.
Kelima, melemahkan kelembagaan Perhutani sebagai institusi negara yang sah, berpengalaman, dan kompeten dalam pengelolaan hutan di Jawa bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan sebagai mitranya.
(ind)