Tiga Krisis Global Menghantui, Ini Langkah Sri Mulyani
Rabu, 07 September 2022 - 12:58 WIB
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, bahwa kondisi ketidakpastian global saat ini cenderung dari sisi harga-harga yang meningkat karena ada supply disruption. Ditambah juga potensi krisis pangan , energi, dan bahkan krisis utang di berbagai negara.
Kondisi ini sesuai dengan task force yang dibentuk oleh PBB dimana mereka mengidentifikasi suasana dan situasi global ini akan berpotensi pada tiga area krisis, yakni pangan, energi, dan utang.
"Dalam situasi ketidakpastian tadi dikaitkan dengan kondisi atau peranan instrumen APBN fiskal yang di tahun 2023 yang kembali diterapkan disiplin fiskal atau prudent fiscal policy dengan membuat maksimum defisit tidak lebih dari 3% GDP," ungkap Sri dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2022 di Jakarta, Rabu (7/9/2022).
Kondisi sekarang, sebut dia, cenderung meningkatkan harga, suku bunga, capital outflow karena ada pengetatan likuiditas. Seharusnya, saat ini Indonesia mengurangi gejolak tersebut yang bisa berimbas ke ekonomi dengan mengurangi defisit.
"Kalau defisitnya masih sangat besar, sehingga di market kita terlihat masih harus melakukan financing, apalagi financingnya sampai desperate, maka kita akan terkena hit dengan cost of fund yang sangat tinggi," tegas Sri.
Bukan hanya itu saja, performa Indonesia akan dilihat dari sisi rating dimana Indonesia akan terlihat vulnerable (rentan) dari sisi financing. Maka terlihat di berbagai negara yang menghadapi kondisi revolving risk dari sisi manajemen utangnya, karena dianggap fiskalnya tidak sustainable, mereka harus membayar biaya yang luar biasa sangat tinggi.
"Jadi dalam hal ini, sebenarnya sesuatu yang kita sedang mengelola sebuah risiko baru sesudah pandemi, yaitu dari risiko kesehatan sekarang menjadi risiko finansial dan geopolitik yang menimbulkan imbas sangat besar terhadap energi dan pangan, dan kemudian berujung pada inflasi," tandas Sri.
Kondisi ini sesuai dengan task force yang dibentuk oleh PBB dimana mereka mengidentifikasi suasana dan situasi global ini akan berpotensi pada tiga area krisis, yakni pangan, energi, dan utang.
"Dalam situasi ketidakpastian tadi dikaitkan dengan kondisi atau peranan instrumen APBN fiskal yang di tahun 2023 yang kembali diterapkan disiplin fiskal atau prudent fiscal policy dengan membuat maksimum defisit tidak lebih dari 3% GDP," ungkap Sri dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2022 di Jakarta, Rabu (7/9/2022).
Kondisi sekarang, sebut dia, cenderung meningkatkan harga, suku bunga, capital outflow karena ada pengetatan likuiditas. Seharusnya, saat ini Indonesia mengurangi gejolak tersebut yang bisa berimbas ke ekonomi dengan mengurangi defisit.
"Kalau defisitnya masih sangat besar, sehingga di market kita terlihat masih harus melakukan financing, apalagi financingnya sampai desperate, maka kita akan terkena hit dengan cost of fund yang sangat tinggi," tegas Sri.
Bukan hanya itu saja, performa Indonesia akan dilihat dari sisi rating dimana Indonesia akan terlihat vulnerable (rentan) dari sisi financing. Maka terlihat di berbagai negara yang menghadapi kondisi revolving risk dari sisi manajemen utangnya, karena dianggap fiskalnya tidak sustainable, mereka harus membayar biaya yang luar biasa sangat tinggi.
"Jadi dalam hal ini, sebenarnya sesuatu yang kita sedang mengelola sebuah risiko baru sesudah pandemi, yaitu dari risiko kesehatan sekarang menjadi risiko finansial dan geopolitik yang menimbulkan imbas sangat besar terhadap energi dan pangan, dan kemudian berujung pada inflasi," tandas Sri.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda