Pasar Eropa Bias dan Tidak Adil terhadap Sawit
Jum'at, 04 November 2022 - 09:57 WIB
BALI - Khor Yu Leng, Regional Economist, Segi Enam Advisors Singapura, menilai pasar Uni Eropa (UE) selama ini memang bias dan tidak adil dalam penerimaan minyak sawit. Di satu sisi mereka (EU) membutuhkan minyak sawit Indonesia, namun di sisi lain UE kerap melakukan kampanye negatif tentang produk sawit Indonesia.
Karena itu, kata Khor Yu Leng, ini saatnya Indonesia perlu merumuskan strategi dan kebijakan dalam pengelolaan minyak nabati untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi di tingkat global.
“Dalam tingkat teknis, para pemangku kepentingan harus bisa merumuskan rencana aksi masing-masing stakeholder dalam rangka peningkatan produktivitas, jaminan pemenuhan kebutuhan global, dan penguatan rantai pasok minyak nabati,” kata Ekonom Singapura itu, saat berbicara pada 18th Indonesian Palm Oil Conference and 2023 Price Outlook di Bali International Convention Center (BICC), Kamis (3/11/2022).
(Baca juga:Ada Kampanye Negatif Sawit di Soal Ujian SD di Kampar, Formasi Protes)
Khor Yu Leng sepakat bahwa Indonesia harus menjadi motor penggerak untuk mendorong pengembangan minyak nabati secara berkelanjutan, baik di tingkat domestik maupun global.
Keberhasilan itu akan meningkatkan aktualisasi serta peran Indonesia untuk mendorong peran aktif negara-negara G20 dalam menyelesaikan tantangan pengembangan minyak nabati dunia.
Pemangku kepentingan, kata Khor Yu Leng harus menjadikan momentun G 20 sebagai batu lompatan bagi Indonesia untuk terus terlibat dan berperan aktif dalam diskusi dan aksi global dalam menyelesaikan berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi masyarakat dunia.
(Baca juga:Sawit Kerap Dihajar Kampanye Negatif Asing, di Dalam Negeri Kok Ikut-ikutan?)
“Ini karena forum G20 akan memberikan dampak positif dalam menggerakkan perekonomian Indonesia untuk mampu terus menyuplai kebutuhan pangan dan energi di tingkat global di tengah adanya disrupsi rantai pasokan minyak nabati, akibat pandemi Covid-19 dan konflik geopolitik Rusia dan Ukraina,” kata Khor Yu Leng.
Menurut Khor Yu Leng, hal itu terlihat dari konsistensi permintaan pasar minyak nabati, termasuk dari negara-negara yang sedang berupaya membatasi impor minyak kelapa sawit, yang diimbangi oleh ketersediaan pasokan.
Khor Yu Leng memperkirakan konferensi G20 SVOC dapat menjadi platform untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara produsen dan konsumen minyak nabati lainnya, dalam penyediaan yang berkelanjutan di tengah tantangan global dan komitmen mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.
Karena itu, kata Khor Yu Leng, ini saatnya Indonesia perlu merumuskan strategi dan kebijakan dalam pengelolaan minyak nabati untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi di tingkat global.
“Dalam tingkat teknis, para pemangku kepentingan harus bisa merumuskan rencana aksi masing-masing stakeholder dalam rangka peningkatan produktivitas, jaminan pemenuhan kebutuhan global, dan penguatan rantai pasok minyak nabati,” kata Ekonom Singapura itu, saat berbicara pada 18th Indonesian Palm Oil Conference and 2023 Price Outlook di Bali International Convention Center (BICC), Kamis (3/11/2022).
(Baca juga:Ada Kampanye Negatif Sawit di Soal Ujian SD di Kampar, Formasi Protes)
Khor Yu Leng sepakat bahwa Indonesia harus menjadi motor penggerak untuk mendorong pengembangan minyak nabati secara berkelanjutan, baik di tingkat domestik maupun global.
Keberhasilan itu akan meningkatkan aktualisasi serta peran Indonesia untuk mendorong peran aktif negara-negara G20 dalam menyelesaikan tantangan pengembangan minyak nabati dunia.
Pemangku kepentingan, kata Khor Yu Leng harus menjadikan momentun G 20 sebagai batu lompatan bagi Indonesia untuk terus terlibat dan berperan aktif dalam diskusi dan aksi global dalam menyelesaikan berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi masyarakat dunia.
(Baca juga:Sawit Kerap Dihajar Kampanye Negatif Asing, di Dalam Negeri Kok Ikut-ikutan?)
“Ini karena forum G20 akan memberikan dampak positif dalam menggerakkan perekonomian Indonesia untuk mampu terus menyuplai kebutuhan pangan dan energi di tingkat global di tengah adanya disrupsi rantai pasokan minyak nabati, akibat pandemi Covid-19 dan konflik geopolitik Rusia dan Ukraina,” kata Khor Yu Leng.
Menurut Khor Yu Leng, hal itu terlihat dari konsistensi permintaan pasar minyak nabati, termasuk dari negara-negara yang sedang berupaya membatasi impor minyak kelapa sawit, yang diimbangi oleh ketersediaan pasokan.
Khor Yu Leng memperkirakan konferensi G20 SVOC dapat menjadi platform untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara produsen dan konsumen minyak nabati lainnya, dalam penyediaan yang berkelanjutan di tengah tantangan global dan komitmen mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.
(dar)
tulis komentar anda