Miliki Segudang Manfaat, Ekspor Sawit Sumbang Devisa Rp530 Triliun
Jum'at, 04 November 2022 - 21:13 WIB
JAKARTA - Sawit masih menjadi komoditas ekspor strategis Indonesia dengan sumbangan devisa ekspor mencapai USD35 miliar atau lebih dari Rp530 triliun hingga 2021 memecahkan rekor tertinggi dalam sejarah industri minyak sawit Indonesia.
Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Tofan Mahdi mengatakan sebagai penyumbang devisa negara terbesar, sawit juga disebut sebagai industri yang mampu meningkatkan sektor tenaga kerja. Bahkan, jumlah tenaga kerja langsung dan tidak langsung yang bergantung hidup kepada sektor industri sawit mencapai lebih dari 17 juta orang. Ketika dalam kurun 15-20 tahun terakhir dalam pasar minyak nabati dunia, pangsa pasar sawit menjadi nomor satu mengalahkan komoditas minyak nabati yang dihasilkan oleh negara-negara di benua Amerika maupun Eropa.
"Selama minyak sawit masih menjadi nomor satu dalam persaingan pasar minyak nabati global, tudingan bahwa minyak sawit merusak lingkungan dan lain sebagainya itu akan selalu ada," kata Tofan dalam acara Talkshow GenSawit bertajuk Kenali Keutamaan dan Aspek Sustainability Minyak Sawit untuk Consumer Goods secara hybrid, di Jakarta, baru-baru ini.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah maupun berbagai pihak dalam memastikan standar keberlanjutan dari industri sawit. Menurut Tofan, hal itu diupayakan untuk menjaga standar dari tingkat produksi maupun memperkuat pernyataan bahwa seluruh perusahaan sawit memiliki sertifikasi dalam menjaga mutu perusahaannya.
"Indonesia punya satu kebijakan yang sifatnya mandatori, yaitu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) Certification dan itu bukan satu-satunya sertifikasi keberlanjutan. Banyak perusahaan yang menggunakan standar sertifikasi keberlanjutan yang sifatnya volunteery, misalnya ada RSPO dan lain sebagainya. Saya yakin salah satu tujuannya itu adalah mengurangi dampak yang ditimbulkan dengan proses yang bersifat pembangunan dan pemberdayaan di lingkungan yang ditanami kebun sawit," katanya.
Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) Darmono Taniwiryono menyampaikan, sawit sebagai sumber minyak nabati paling sustainable baik dari segi ekonomi, yang dibuktikan dengan produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya. Tidak hanya itu, dari segi lingkungan, kebun sawit paling adaptif terhadap keanekaragaman hayati. "Saya contohkan, tidak akan ada harimau, gajah, buaya, ular yang hidup nyaman di bawah pohon kedelai, jagung, kanola atau bunga matahari, tetapi berbanding terbalik dengan di kebun sawit," tegas dia.
Lebih lanjut dikatakan, dari satu hektar kebun sawit, tidak hanya menghasilkan minyak, tetapi juga menghasilkan biomassa lignoselulosa sebesar 28 kali dibandingkan biomassa kedelai. "Terkait kampanye negatif yang dibuat oleh Uni Eropa, hal tersebut bertujuan untuk dua kepentingan ekonomi global yakni persaingan pasar minyak nabati dan upaya menadapatkan kredit karbon yang tinggi," kata dia.
Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Tofan Mahdi mengatakan sebagai penyumbang devisa negara terbesar, sawit juga disebut sebagai industri yang mampu meningkatkan sektor tenaga kerja. Bahkan, jumlah tenaga kerja langsung dan tidak langsung yang bergantung hidup kepada sektor industri sawit mencapai lebih dari 17 juta orang. Ketika dalam kurun 15-20 tahun terakhir dalam pasar minyak nabati dunia, pangsa pasar sawit menjadi nomor satu mengalahkan komoditas minyak nabati yang dihasilkan oleh negara-negara di benua Amerika maupun Eropa.
"Selama minyak sawit masih menjadi nomor satu dalam persaingan pasar minyak nabati global, tudingan bahwa minyak sawit merusak lingkungan dan lain sebagainya itu akan selalu ada," kata Tofan dalam acara Talkshow GenSawit bertajuk Kenali Keutamaan dan Aspek Sustainability Minyak Sawit untuk Consumer Goods secara hybrid, di Jakarta, baru-baru ini.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah maupun berbagai pihak dalam memastikan standar keberlanjutan dari industri sawit. Menurut Tofan, hal itu diupayakan untuk menjaga standar dari tingkat produksi maupun memperkuat pernyataan bahwa seluruh perusahaan sawit memiliki sertifikasi dalam menjaga mutu perusahaannya.
"Indonesia punya satu kebijakan yang sifatnya mandatori, yaitu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) Certification dan itu bukan satu-satunya sertifikasi keberlanjutan. Banyak perusahaan yang menggunakan standar sertifikasi keberlanjutan yang sifatnya volunteery, misalnya ada RSPO dan lain sebagainya. Saya yakin salah satu tujuannya itu adalah mengurangi dampak yang ditimbulkan dengan proses yang bersifat pembangunan dan pemberdayaan di lingkungan yang ditanami kebun sawit," katanya.
Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) Darmono Taniwiryono menyampaikan, sawit sebagai sumber minyak nabati paling sustainable baik dari segi ekonomi, yang dibuktikan dengan produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya. Tidak hanya itu, dari segi lingkungan, kebun sawit paling adaptif terhadap keanekaragaman hayati. "Saya contohkan, tidak akan ada harimau, gajah, buaya, ular yang hidup nyaman di bawah pohon kedelai, jagung, kanola atau bunga matahari, tetapi berbanding terbalik dengan di kebun sawit," tegas dia.
Baca Juga
Lebih lanjut dikatakan, dari satu hektar kebun sawit, tidak hanya menghasilkan minyak, tetapi juga menghasilkan biomassa lignoselulosa sebesar 28 kali dibandingkan biomassa kedelai. "Terkait kampanye negatif yang dibuat oleh Uni Eropa, hal tersebut bertujuan untuk dua kepentingan ekonomi global yakni persaingan pasar minyak nabati dan upaya menadapatkan kredit karbon yang tinggi," kata dia.
(nng)
tulis komentar anda