Silicon Valley Bank Ambruk, Ngaruh ke Pendanaan Startup Indonesia?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) pekan lalu menimbulkan kekhawatiran bagi masa depan pendanaan startup di seluruh dunia. Bagaimana tidak, perusahaan rintisan kini kehilangan bank andalannya dalam memberikan pendanaan.
Situasi itu, ini tentunya juga menimbulkan pertanyaan tersendiri, bagaimana keberlanjutan startup di Indonesia?
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, kolapsnya SVB tidak memberikan pengaruh langsung terhadap startup di Indonesia. Pasalnya, startup di Indonesia tidak berhubungan langsung dengan SVB yang mayoritas nasabahnya berada di Silicon Valley.
Selain itu, adanya perbedaan karakteristik sistem pendanaan startup di Indonesia juga menjadi latar belakang mengapa SVB tidak berpengaruh secara langsung.
“Kalau di Indonesia, mayoritas pendanaan startup berasal dari perusahaan di luar negeri, bukan bank nasional. Kita tidak memiliki sistem pendanaan dalam negeri yang dikhususkan untuk startup. Jadi kolapsnya SVB tidak langsung membuat kolaps bank nasional atau memengaruhi ekonomi, karena memang pendanaan startup kita paling banyak dari perusahaan luar negeri dan tidak berkumpul di satu titik,” ujar Tauhid kepada MNC Portal Indonesia, Sabtu (18/3/2023).
Namun, kejadian SVB tentu memengaruhi startup dalam mencari pendanaan. Dengan adanya suku bunga yang tinggi dan kolapsnya SVB membuat investor mulai menutup diri, menyebabkan banyak startup yang berguguran. Sumber pendanaan yang tadinya murah, berubah menjadi mahal sehingga startup kehilangan dorongan atau bantuan untuk membakar uang.
Tauhid mengatakan, momentum ini dapat dijadikan sebagai waktu bagi startup untuk berbenah dan melakukan efisiensi, khususnya pada aspek yang berkaitan dengan manajemen perusahaan. Startup juga bisa fokus untuk mengembangkan produk yang ditawarkan dan berfokus untuk bisa mempertahankan bisnisnya.
“Ini menjadi pukulan telak. Kita melihat banyak yang kapitalisasi, valuasi dan asetnya besar sekali, tapi secara kondisi riilnya rapuh. Saya rasa mereka jangan fokus untuk pertumbuhan yang cepat dalam waktu singkat, yang paling penting itu bagaimana bisa bertahan,” imbuhnya.
Tauhid menambahkan, momentum ini juga bisa digunakan oleh pemerintah untuk mulai memberikan fasilitas pendanaan dalam negeri khusus untuk startup melalui bank-bank badan usaha milik negara (BUMN). Pemerintah mulai bisa menyeleksi startup yang masih kesulitan dalam pendanaan namun memiliki potensi dan kinerja yang mumpuni.
“Selain itu, ini juga bisa dijadikan momen bagi startup untuk mulai melantai di bursa, khususnya bagi startup yang besar-besar. Banyak potensi yang bagus, tapi sumber pendanaannya belum ke publik,” pungkasnya.
Baca Juga
Situasi itu, ini tentunya juga menimbulkan pertanyaan tersendiri, bagaimana keberlanjutan startup di Indonesia?
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, kolapsnya SVB tidak memberikan pengaruh langsung terhadap startup di Indonesia. Pasalnya, startup di Indonesia tidak berhubungan langsung dengan SVB yang mayoritas nasabahnya berada di Silicon Valley.
Selain itu, adanya perbedaan karakteristik sistem pendanaan startup di Indonesia juga menjadi latar belakang mengapa SVB tidak berpengaruh secara langsung.
“Kalau di Indonesia, mayoritas pendanaan startup berasal dari perusahaan di luar negeri, bukan bank nasional. Kita tidak memiliki sistem pendanaan dalam negeri yang dikhususkan untuk startup. Jadi kolapsnya SVB tidak langsung membuat kolaps bank nasional atau memengaruhi ekonomi, karena memang pendanaan startup kita paling banyak dari perusahaan luar negeri dan tidak berkumpul di satu titik,” ujar Tauhid kepada MNC Portal Indonesia, Sabtu (18/3/2023).
Namun, kejadian SVB tentu memengaruhi startup dalam mencari pendanaan. Dengan adanya suku bunga yang tinggi dan kolapsnya SVB membuat investor mulai menutup diri, menyebabkan banyak startup yang berguguran. Sumber pendanaan yang tadinya murah, berubah menjadi mahal sehingga startup kehilangan dorongan atau bantuan untuk membakar uang.
Tauhid mengatakan, momentum ini dapat dijadikan sebagai waktu bagi startup untuk berbenah dan melakukan efisiensi, khususnya pada aspek yang berkaitan dengan manajemen perusahaan. Startup juga bisa fokus untuk mengembangkan produk yang ditawarkan dan berfokus untuk bisa mempertahankan bisnisnya.
“Ini menjadi pukulan telak. Kita melihat banyak yang kapitalisasi, valuasi dan asetnya besar sekali, tapi secara kondisi riilnya rapuh. Saya rasa mereka jangan fokus untuk pertumbuhan yang cepat dalam waktu singkat, yang paling penting itu bagaimana bisa bertahan,” imbuhnya.
Tauhid menambahkan, momentum ini juga bisa digunakan oleh pemerintah untuk mulai memberikan fasilitas pendanaan dalam negeri khusus untuk startup melalui bank-bank badan usaha milik negara (BUMN). Pemerintah mulai bisa menyeleksi startup yang masih kesulitan dalam pendanaan namun memiliki potensi dan kinerja yang mumpuni.
“Selain itu, ini juga bisa dijadikan momen bagi startup untuk mulai melantai di bursa, khususnya bagi startup yang besar-besar. Banyak potensi yang bagus, tapi sumber pendanaannya belum ke publik,” pungkasnya.
(uka)