New Marcomm Paradigm
loading...
A
A
A
Yuswohady
Managing Partner Inventure
Pandemi telah mengubah lanskap komunikasi pemasaran sehingga paradigma dan strateginya pun harus diredefinisi.
Ada tiga pergeseran besar yang memengaruhi lanskap komunikasi pemasaran. Pertama, di tingkat makro adalah pergeseran dari high-touch economy menjadi low-touch economy, yaitu interaksi yang human-intensive semakin bergeser ke digital-intensive.
Kedua, di tingkat konsumen adalah munculnya tren ke arah go virtual, yakni berbelanja, bekerja, belajar, hingga menikmati hiburan kini semakin dilakukan secara virtual. Ketiga, di tingkat masyarakat adalah terbentuknya apa yang saya sebut empathic society. Penjelasannya, dengan terjangan krisis lantaran pandemi masyarakat kian peduli dan berempati kepada sesama. (Baca: Pertama Kali, Sejuta Orang di Dunia Terinfeksi Covid-19 dalam 100 Jam)
Berbagai pergeseran besar tersebut membuat paradigma dan strategi komunikasi pemasaran harus digeser. Berikut ini enam pergeseran paradigma yang harus dilakukan oleh marketer di kenormalan baru.
#1. FROM COMPANY AT THE CENTER TO CUSTOMER AT THE CENTER:
"Put customers at the center of strategy give you a unified message + channel interactions. It leads you to their universe."
Dalam paradigma komunikasi pemasaran lama, brand adalah panglima, di mana brand DNA, brand identity, atau brand value proposition dirumuskan, kemudian disebarkan ke target pasar. Ketika platform digital memungkinkan, paradigma itu harus dibalik. Proses komunikasi pemasaran berawal dan berfokus pada konsumen. Marketer harus memahami keinginan konsumen berikut channel interaksinya, baru kemudian pesan disampaikan.
#2. FROM HIGH-TOUCH TO LOW-TOUCH:
”In the low-touch economy, DIGITAL experience is the new mainstream. SPACE experience still matters, but SCREEN experience is the key winning formula.”
Di era low-touch economy konsumen dipaksa Covid-19 bermigrasi ke ranah digital. Karena itu, digital experience menjadi elemen penting untuk menaklukkan hati konsumen. Dalam consumer journey, pengalaman fisik tak akan berkurang dan tetap akan penting, namun digital experience menjadi faktor penentu kemenangan. Karena itu, space experience (fisikal) dan screen experience (digital) harus diintegrasikan sehingga menciptakan pengalaman baru yang frictionless. (Baca juga: Menyorot Kinerja KPK, Butuh Konsistensi Berkelanjutan)
#3. FROM PROPOSITION TO RESPONSIBILITY:
”In the era of pandemic, every brand is EMPATHIC brand. It must RESPONSIBLE to the whole life of customer”
Di tengah banyak orang mengalami kesulitan hidup akibat pandemi, komunikasi ke konsumen tidak lagi bersifat jualan menawarkan produk, tapi merupakan ungkapan empati. Di masa pandemi, brand harus menjadi responsible brand yang bertanggung jawab penuh pada keselamatan dan well-being konsumen.
#4. FROM MESSAGE TO STORY:
”STORY creates a cohesive narration encompasses the facts and feelings about the brand. It inspire an emotional reaction.”
Di dalam empathic society, brand story menjadi kian penting. Komunikasi pemasaran tak bisa lagi mengandalkan pesan datar yang menonjolkan keunggulan produk. Tapi, harus mulai bergeser ke arah cerita yang menggambarkan kenyataan dan perasaan dari brand. (Baca juga: Sukses Berkarir Pada usia Muda, Apa Modalnya?)
Cerita memiliki kekuatan luar biasa untuk menggerakkan hati konsumen. Inilah dasar munculnya emotional connection antara konsumen dam brand.
#5. FROM TOUCHPOINT TO JOURNEY:
”Treat customer engagements as a JOURNEY. It gives you a holistic view of end-to-end experience.”
Untuk menyampaikan brand story ke konsumen, marketer harus memahami consumer journey selama mereka berinteraksi dengan brand. Dengan menyikapi interaksi dengan konsumen sebagai sebuah journey, maka marketer akan mampu melihat interaksi tersebut sebagai sebuah pengalaman holistis dari ujung ke ujung (end-to-end experience).
#6. FROM MULTI TO OMNI:
”OMNI-CHANNEL approach will give you a seamless, unified, and consistent customer interactions.” (Lihat videonya: Pemulung Bawa Uang Rp7 Juta Hasil Jual Bansos Covid-19)
Pendekatan consumer journey menuntut marketer melihat setiap titik persentuhan interaksi (touchpoint) sebagai entitas yang terpisah dan terlepas satu sama lain, tapi sebagai satu kesatuan journey. Paradigma baru komunikasi ini akan menghasilkan penyampaian pesan (story) yang satu kesatuan, relevan, dan konsisten.
Managing Partner Inventure
Pandemi telah mengubah lanskap komunikasi pemasaran sehingga paradigma dan strateginya pun harus diredefinisi.
Ada tiga pergeseran besar yang memengaruhi lanskap komunikasi pemasaran. Pertama, di tingkat makro adalah pergeseran dari high-touch economy menjadi low-touch economy, yaitu interaksi yang human-intensive semakin bergeser ke digital-intensive.
Kedua, di tingkat konsumen adalah munculnya tren ke arah go virtual, yakni berbelanja, bekerja, belajar, hingga menikmati hiburan kini semakin dilakukan secara virtual. Ketiga, di tingkat masyarakat adalah terbentuknya apa yang saya sebut empathic society. Penjelasannya, dengan terjangan krisis lantaran pandemi masyarakat kian peduli dan berempati kepada sesama. (Baca: Pertama Kali, Sejuta Orang di Dunia Terinfeksi Covid-19 dalam 100 Jam)
Berbagai pergeseran besar tersebut membuat paradigma dan strategi komunikasi pemasaran harus digeser. Berikut ini enam pergeseran paradigma yang harus dilakukan oleh marketer di kenormalan baru.
#1. FROM COMPANY AT THE CENTER TO CUSTOMER AT THE CENTER:
"Put customers at the center of strategy give you a unified message + channel interactions. It leads you to their universe."
Dalam paradigma komunikasi pemasaran lama, brand adalah panglima, di mana brand DNA, brand identity, atau brand value proposition dirumuskan, kemudian disebarkan ke target pasar. Ketika platform digital memungkinkan, paradigma itu harus dibalik. Proses komunikasi pemasaran berawal dan berfokus pada konsumen. Marketer harus memahami keinginan konsumen berikut channel interaksinya, baru kemudian pesan disampaikan.
#2. FROM HIGH-TOUCH TO LOW-TOUCH:
”In the low-touch economy, DIGITAL experience is the new mainstream. SPACE experience still matters, but SCREEN experience is the key winning formula.”
Di era low-touch economy konsumen dipaksa Covid-19 bermigrasi ke ranah digital. Karena itu, digital experience menjadi elemen penting untuk menaklukkan hati konsumen. Dalam consumer journey, pengalaman fisik tak akan berkurang dan tetap akan penting, namun digital experience menjadi faktor penentu kemenangan. Karena itu, space experience (fisikal) dan screen experience (digital) harus diintegrasikan sehingga menciptakan pengalaman baru yang frictionless. (Baca juga: Menyorot Kinerja KPK, Butuh Konsistensi Berkelanjutan)
#3. FROM PROPOSITION TO RESPONSIBILITY:
”In the era of pandemic, every brand is EMPATHIC brand. It must RESPONSIBLE to the whole life of customer”
Di tengah banyak orang mengalami kesulitan hidup akibat pandemi, komunikasi ke konsumen tidak lagi bersifat jualan menawarkan produk, tapi merupakan ungkapan empati. Di masa pandemi, brand harus menjadi responsible brand yang bertanggung jawab penuh pada keselamatan dan well-being konsumen.
#4. FROM MESSAGE TO STORY:
”STORY creates a cohesive narration encompasses the facts and feelings about the brand. It inspire an emotional reaction.”
Di dalam empathic society, brand story menjadi kian penting. Komunikasi pemasaran tak bisa lagi mengandalkan pesan datar yang menonjolkan keunggulan produk. Tapi, harus mulai bergeser ke arah cerita yang menggambarkan kenyataan dan perasaan dari brand. (Baca juga: Sukses Berkarir Pada usia Muda, Apa Modalnya?)
Cerita memiliki kekuatan luar biasa untuk menggerakkan hati konsumen. Inilah dasar munculnya emotional connection antara konsumen dam brand.
#5. FROM TOUCHPOINT TO JOURNEY:
”Treat customer engagements as a JOURNEY. It gives you a holistic view of end-to-end experience.”
Untuk menyampaikan brand story ke konsumen, marketer harus memahami consumer journey selama mereka berinteraksi dengan brand. Dengan menyikapi interaksi dengan konsumen sebagai sebuah journey, maka marketer akan mampu melihat interaksi tersebut sebagai sebuah pengalaman holistis dari ujung ke ujung (end-to-end experience).
#6. FROM MULTI TO OMNI:
”OMNI-CHANNEL approach will give you a seamless, unified, and consistent customer interactions.” (Lihat videonya: Pemulung Bawa Uang Rp7 Juta Hasil Jual Bansos Covid-19)
Pendekatan consumer journey menuntut marketer melihat setiap titik persentuhan interaksi (touchpoint) sebagai entitas yang terpisah dan terlepas satu sama lain, tapi sebagai satu kesatuan journey. Paradigma baru komunikasi ini akan menghasilkan penyampaian pesan (story) yang satu kesatuan, relevan, dan konsisten.
(ysw)