Kabar Buruk dari China, Bisnis Kontainer Lumpuh Akibat Kebijakan Nol Covid
loading...
A
A
A
BEIJING - Kebijakan nol Covid-19 yang semakin ekstrem melumpuhkan bisnis kontainer di China. Kebijakan tersebut dikhawatirkan menggangu rantai pasok global hingga memperlambat pertumbuhan ekonomi. Mengingat China sebagai eksportir terbesar dunia dan sebagai pusat industri utama perkapalan.
Dalam upaya mencegah pandemi, China secara tegas melarang perubahan awak kapal asing. Tak hanya itu, China juga melakukan wajib karantina selama tujuh pekan bagi awak kapal yang baru kembali. Bahkan awak kapal wajib menunggu dua minggu sebelum diizinkan masuk ke pelabuhan China.
"Pembatasan di China menyebabkan efek langsung. Setiap pembatasan operasi kapal memiliki dampak akumulatif terhadap rantai pasokan dan menyebabkan gangguan nyata," kata Sekretaris Jenderal Kamar Perkapalan Internasional Guy Platten dikutip dari The Strais Time, Jumat (26/11/2021).
China merupakan negara terakhir yang menerapkan kebijakan nol Covid-19 dengan langkah-langkah radikal. Dalam beberapa pekan terakhir, pihak berwenang China melakukan karantina terhadap 34.000 orang di Shanghai Disneyland. Tak berhenti di situ, pihak berwenang juga semalaman menahan siswa-siswi sekolah di Beijing setelah seorang guru dinyatakan positif Covid-19.
Sementara di belahan dunia lain, seperti Amerika Serikat (AS) kelangkaan pasokan mulai reda meskipun di Inggris memburuk. Sejumlah pelabuhan di Asia kepadatan mulai berkurang akan tetapi di California, kapal-kapal bermuatan masih menumpuk.
Manajer dan operator kapal pun menyerukan agar China melonggarkan pembatasan lantaran awak kapal menanggung beban sangat berat. Pembatasan terbaru di pelabuhan China mewajibkan kru kapal dikarantina selama tiga minggu sebelum mereka kembali ke China, kemudian dua minggu lagi di pelabuhan kedatangan, dan dua minggu lagi di provinsi mereka sebelum mereka dapat bersatu kembali dengan keluarga mereka.
Menurut Direktur Pelaksana Singhai Marine Service Terence Zhao salah satu agen pemasok awak terbesar di China, fokus utama aturan di pelabuhan adalah karantina dan kesehatan. "Peraturan memang sering berubah, tergantung pada situasi Covid-19," kata dia.
Bahkan salah satu manajer kapal mengatakan bagi awak kapal dengan kebutuhan medis darurat tidak diizinkan untuk mendapatkan perawatan di China. Salah satu officer Anglo-Eastern dengan abses gigi yang parah pun tidak bisa turun dari kapal untuk perawatan tapi harus menunggu sampai kapal tiba di Korsel. "China adalah masalah besar," kata Chief Executive Officer Manager Kapal Anglo-Eastern Univan Group juga Ketua Asosiasi Pemilik Kapal Hong Kong Bjorn Hojgaard.
Sementara itu, Direktur Operasi Global dan Rantai Pasokan Cargill Eman Abdalla mengungkapkan bahwa perusahaannya harus menanggung biaya keterlembatan akibat pembatasan tersebut. "Ada beberapa kasus di mana penundaan terjadi dalam hitungan jam, tetapi ada juga kasus di mana penundaan bisa berlangsung hingga berhari-hari," kata dia.
Euronav, salah satu pemilik supertanker minyak terbesar di dunia telah menghabiskan sekitar USD6 juta atau setara Rp84 miliar untuk menangani gangguan terkait krisis pergantian awak, termasuk untuk transit dan karantina serta tanggungan biaya perjalanan lainnya. "Di masa lalu, cukup menyenangkan melakukan rotasi kru ketika kami berada di China tapi sekarang tidak mungkin," kata CEO Euronav Hugo De Stoop.
Dampak pembatasan tersebut telah menguras tambahan biaya akibat keterlambatan akibat kemacetan pelabuhan. Per 18 November 2021 tarif per kontainer 40 kaki sebesar USD9.146 satu kontainer. Adapun tarif tersebut telah melonjak enam kali lipat dibandingkan rata-rata lima tahun lalu. Berdasarkan survei Oxford Economics, krisis pasokan memungkinkan masih terus berlanjut.
Dalam upaya mencegah pandemi, China secara tegas melarang perubahan awak kapal asing. Tak hanya itu, China juga melakukan wajib karantina selama tujuh pekan bagi awak kapal yang baru kembali. Bahkan awak kapal wajib menunggu dua minggu sebelum diizinkan masuk ke pelabuhan China.
"Pembatasan di China menyebabkan efek langsung. Setiap pembatasan operasi kapal memiliki dampak akumulatif terhadap rantai pasokan dan menyebabkan gangguan nyata," kata Sekretaris Jenderal Kamar Perkapalan Internasional Guy Platten dikutip dari The Strais Time, Jumat (26/11/2021).
China merupakan negara terakhir yang menerapkan kebijakan nol Covid-19 dengan langkah-langkah radikal. Dalam beberapa pekan terakhir, pihak berwenang China melakukan karantina terhadap 34.000 orang di Shanghai Disneyland. Tak berhenti di situ, pihak berwenang juga semalaman menahan siswa-siswi sekolah di Beijing setelah seorang guru dinyatakan positif Covid-19.
Sementara di belahan dunia lain, seperti Amerika Serikat (AS) kelangkaan pasokan mulai reda meskipun di Inggris memburuk. Sejumlah pelabuhan di Asia kepadatan mulai berkurang akan tetapi di California, kapal-kapal bermuatan masih menumpuk.
Manajer dan operator kapal pun menyerukan agar China melonggarkan pembatasan lantaran awak kapal menanggung beban sangat berat. Pembatasan terbaru di pelabuhan China mewajibkan kru kapal dikarantina selama tiga minggu sebelum mereka kembali ke China, kemudian dua minggu lagi di pelabuhan kedatangan, dan dua minggu lagi di provinsi mereka sebelum mereka dapat bersatu kembali dengan keluarga mereka.
Menurut Direktur Pelaksana Singhai Marine Service Terence Zhao salah satu agen pemasok awak terbesar di China, fokus utama aturan di pelabuhan adalah karantina dan kesehatan. "Peraturan memang sering berubah, tergantung pada situasi Covid-19," kata dia.
Bahkan salah satu manajer kapal mengatakan bagi awak kapal dengan kebutuhan medis darurat tidak diizinkan untuk mendapatkan perawatan di China. Salah satu officer Anglo-Eastern dengan abses gigi yang parah pun tidak bisa turun dari kapal untuk perawatan tapi harus menunggu sampai kapal tiba di Korsel. "China adalah masalah besar," kata Chief Executive Officer Manager Kapal Anglo-Eastern Univan Group juga Ketua Asosiasi Pemilik Kapal Hong Kong Bjorn Hojgaard.
Sementara itu, Direktur Operasi Global dan Rantai Pasokan Cargill Eman Abdalla mengungkapkan bahwa perusahaannya harus menanggung biaya keterlembatan akibat pembatasan tersebut. "Ada beberapa kasus di mana penundaan terjadi dalam hitungan jam, tetapi ada juga kasus di mana penundaan bisa berlangsung hingga berhari-hari," kata dia.
Euronav, salah satu pemilik supertanker minyak terbesar di dunia telah menghabiskan sekitar USD6 juta atau setara Rp84 miliar untuk menangani gangguan terkait krisis pergantian awak, termasuk untuk transit dan karantina serta tanggungan biaya perjalanan lainnya. "Di masa lalu, cukup menyenangkan melakukan rotasi kru ketika kami berada di China tapi sekarang tidak mungkin," kata CEO Euronav Hugo De Stoop.
Dampak pembatasan tersebut telah menguras tambahan biaya akibat keterlambatan akibat kemacetan pelabuhan. Per 18 November 2021 tarif per kontainer 40 kaki sebesar USD9.146 satu kontainer. Adapun tarif tersebut telah melonjak enam kali lipat dibandingkan rata-rata lima tahun lalu. Berdasarkan survei Oxford Economics, krisis pasokan memungkinkan masih terus berlanjut.
(nng)