Bangun Belt and Road, China Beri Pinjaman Rp3.609 Triliun ke 22 Negara Berkembang

Senin, 03 April 2023 - 06:13 WIB
loading...
Bangun Belt and Road,...
China menghabiskan USD240 miliar atau setara Rp3,6 kuadriliun atau tepatnya Rp3.609 triliun untuk menyelamatkan 22 negara berkembang sepanjang periode dari 2008 hingga 2021. Foto/Dok Reuters
A A A
JOHANNESBURG - China menghabiskan USD240 miliar atau setara Rp3,6 kuadriliun atau tepatnya Rp3.609 triliun (Kurs Rp15.041 per USD) untuk menyelamatkan 22 negara berkembang sepanjang periode dari 2008 hingga 2021. Jumlahnya melonjak dalam beberapa tahun terakhir, karena lebih banyak yang berjuang untuk membayar kembali pinjaman yang dihabiskan untuk membangun infrastruktur " Belt and Road " atau jalur sutra baru.



Hal itu diungkapkan dalam sebuat studi yang diterbitkan belum lama ini seperti dilansir Reuters. Hampir 80% dari pinjaman dikucurkan antara 2016 dan 2021, terutama ke negara-negara berpenghasilan menengah termasuk Argentina, Mongolia dan Pakistan, menurut laporan para peneliti dari Bank Dunia, Harvard Kennedy School, AidData dan Kiel Institute for the World Economy.



China telah meminjamkan ratusan miliar dolar untuk membangun infrastruktur di negara-negara berkembang, tetapi pinjaman telah berkurang sejak 2016 karena banyak proyek gagal membayar dividen keuangan yang diharapkan.

"Beijing pada akhirnya berusaha menyelamatkan banknya sendiri. Itulah mengapa ia masuk ke bisnis berisiko pinjaman bailout internasional," kata Carmen Reinhart, mantan kepala ekonom Bank Dunia dan salah satu penulis studi.

Pinjaman China kepada negara-negara yang sedang dalam kesulitan utang melonjak dari kurang 5% dari portofolio pinjaman luar negerinya pada tahun 2010 menjadi 60% pada tahun 2022, demikian yang ditemukan oleh studi tersebut.

Argentina menerima paling banyak, dengan besaran mencapai USD111.8 miliar, diikuti oleh Pakistan dengan USD48.5 miliar dan Mesir dengan USD15.6 miliar. Sedangkan sembilan negara menerima kurang dari USD1 miliar.

The People's Bank of China's (PBOC) menyumbang USD170 miliar dari pembiayaan, termasuk di Suriname, Sri Lanka, dan Mesir. Pinjaman atau neraca pembayaran yang didukung oleh bank dan perusahaan milik negara China mencapai USD70 miliar. Rollover dari kedua jenis pinjaman yakni sebesar USD140 miliar.

Studi ini juga mengkritik beberapa bank sentral yang berpotensi menggunakan jalur swap PBOC untuk memompa angka cadangan devisa mereka. Pinjaman penyelamatan China "buram dan tidak terkoordinasi," kata Brad Parks, salah satu penulis laporan itu, dan direktur AidData, sebuah laboratorium penelitian di The College of William & Mary di Amerika Serikat.

Pemerintah China membalas kritik itu dengan mengatakan, investasi luar negerinya berjalan berdasarkan "prinsip keterbukaan dan transparansi".

"China bertindak sesuai dengan hukum pasar dan aturan internasional, menghormati kehendak negara-negara terkait, tidak pernah memaksa pihak manapun untuk meminjam uang, tidak pernah memaksa negara manapun untuk membayar, tidak akan melampirkan kondisi politik apapun pada perjanjian pinjaman, dan tidak mencari kepentingan politik apa pun," kata juru bicara kementerian luar negeri, Mao Ning pada konferensi pers pada hari Selasa.

Pinjaman dana talangan terutama terkonsentrasi di negara-negara berpenghasilan menengah yang menyentuh empat perlima dari pinjamannya, karena risiko yang ditimbulkan terhadap neraca bank-bank China. Sedangkan negara-negara berpenghasilan rendah ditawari masa tenggang dan perpanjangan jatuh tempo, demikian ungkap laporan itu.

China sedang menegosiasikan restrukturisasi utang dengan negara-negara termasuk Zambia, Ghana dan Sri Lanka dan telah dikritik karena menahan proses tersebut. Sebagai tanggapan, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional untuk juga diminta menawarkan keringanan utang.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2027 seconds (0.1#10.140)