Ekonomi Global Diprediksi Minus 4%, Domestik Meradang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 menjadikan perekonomian dunia suram. Bahkan, beberapa lembaga ekonomi internasional memprediksi ekonomi dunia akan mengalami resesi.
International Monetary Fund (IMF) memproyeksi ekonomi global akan tumbuh -4,9% di 2020. Bloomberg Economics (BE) merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi global sebesar -4,7% di 2020. World Bank (WB) juga memproyeksi ekonomi global akan tumbuh -3,5% akibat wabah Covid-19. JP Morgan juga memproyeksi ekonomi global berada di level -1,1%, sementara Fitch Ratings memperkirakan ekonomi global akan berada di level -4,6%.
Variasi proyeksi dari berbagai lembaga internasional ini sekaligus menggambarkan besarnya ketidakpastian yang harus dihadapi ekonomi global karena dampak pandemi Covid-19 yang menjalar hampir ke semua negara di dunia.
Ekonom Institute for Development of Economics and finance (INDEF) A Erani Yustika menyatakan ekonomi Indonesia juga mendapat ujian berat dari badai resesi global yang mulai mengembus. Jika dilihat dari periodisasi, pandemi Covid-19 di dalam negeri baru dinyatakan meluas ketika memasuki Maret 2020. “Artinya, hanya sepertiga waktu dari kuartal I/2020,” katanya, saat Webinar Kajian Tengah Tahun INDEF 2020 di Jakarta, kemarin. (Baca: Badai Resesi Global Menghembus, Ekonomi RI Tergerus)
Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang kuartal I/2020 sudah terpangkas hampir separo, yakni hanya tumbuh 2,97%. Dengan melihat pencapaian ekonomi pada kuartal I/2020 dan dinamika indikator lainnya, beberapa lembaga internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tergerus pada 2020.
Asian Development Bank (ADB) memproyeksi ekonomi Indonesia 2020 hanya akan tumbuh 2,5%. “Bahkan, pemerintah sendiri memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh negatif,” tutur dia.
Menurut dia, berbagai macam angka proyeksi ekonomi Indonesia di 2020 tersebut sebetulnya menggambarkan satu hal, yaitu perekonomian Indonesia berada dalam posisi yang sulit.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, ancaman resesi ekonomi nasional sudah di depan mata. Kontraksi ekonomi terjadi pada kuartal II dan III tahun 2020, walaupun diberlakukan kebijakan new normal sejak Juni 2020.
“Walaupun sekarang kita belum masuk ke dalam resesi, kemungkinan besar kita perkirakan kontraksi ekonomi akan terjadi di kuartal kedua tahun ini dan juga kuartal ketiga,” ujarnya, pada CORE Mid Year Review 2020, kemarin.
Jika hal tersebut terjadi, tentu menjadi resesi ekonomi pertama sejak 1998. Namun, dengan karakteristik dan faktor pemicu yang berbeda dari resesi 1998. CORE memprediksi jika puncak pandemi terjadi pada kuartal III dan pemerintah tidak memberlakukan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB), ekonomi Indonesia akan terkontraksi di kisaran -1,5%. (Baca juga: Ini Alasan Presiden Bentuk Komite Pemulihan Ekonomi dan Pandemi)
Namun, jika angka kasus baru terus meningkat sepanjang tahun ini dan pemerintah kembali memberlakukan PSBB, CORE memperkirakan kontraksi ekonomi Indonesia bisa mencapai -3%. “Kuartal II/2020 bisa minus 4% sampai minus 6%. Ini sangat bisa dimengerti. Pertambahan kasus Covid-19 ini masih meningkat bahkan saat new normal,” tandasnya.
Dia menuturkan, konsumsi rumah tangga khususnya pada kelompok kelas menengah bawah mengalami tekanan paling besar akibat pandemi Covid-19. Tekanan konsumsi swasta paling besar terjadi pada kuartal II/2020 dan diperkirakan mulai reda pada kuartal III.
Sementara Indeks Penjualan Riil (IPR), indikator yang memotret perkembangan penjualan barang-barang konsumsi masyarakat terkontraksi -20,6% (yoy) pada bulan Mei. Pelemahan konsumsi rumah tangga ini terlihat dari indeks penjualan riil yang menurun tajam. Pada new normal tekanannya memang berkurang, tetapi tetap akan terjadi kontraksi sekitar di angka minus 14%.
Sumber pertumbuhan ekonomi yang positif tahun ini adalah net-ekspor, meskipun relatif rendah. Namun, surplus ekspor tahun ini lebih didorong oleh penurunan impor, khususnya bahan baku dan penolong dan bukan karena pertumbuhan ekspor. (Baca juga: Menikmati Eksotika Danau Singkarak dari Ketinggian Aur Serumpun)
Jadi perbaikan neraca dagang ini sifatnya semu karena didorong kontraksi impor, bukan peningkatan ekspor. “Prediksi kami sampai akhir tahun masih ada potensi surplus, tapi surplusnya semakin lama semakin menyempit. Ini sejalan dengan berlakunya new normal dan aktivitas ekonomi akan bergerak kembali dan ini akan mendorong impor,” kata Faisal.
Sementara investasi, lanjut Faisal, pembatasan sosial dan mobilitas berakibat demand shock yang menurunkan optimisme investasi penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN). Tren relokasi investasi manufaktur keluar dari China terus terjadi saat pandemi. Hal ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi di sektor manufaktur. (Lihat videonya: Miris, Tak Punya HP Anak Pemulung Numpang belajar di rumah Tetangga)
Ini peluang dengan adanya relokasi dari China, tetapi kita harus bersaing dengan negara lain. “Tidak mudah karena masih banyak hambatan seperti peringkat kemudahan berusaha masih lebih rendah di ASEAN,” tandasnya. (Kunthi Fahmar Sandy/Oktiani Endarwati)
Lihat Juga: Waketum Kadin Andi Yuslim: Kerja Sama Pengusaha-Pemerintah Bisa Dorong Pertumbuhan Ekonomi 8%
International Monetary Fund (IMF) memproyeksi ekonomi global akan tumbuh -4,9% di 2020. Bloomberg Economics (BE) merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi global sebesar -4,7% di 2020. World Bank (WB) juga memproyeksi ekonomi global akan tumbuh -3,5% akibat wabah Covid-19. JP Morgan juga memproyeksi ekonomi global berada di level -1,1%, sementara Fitch Ratings memperkirakan ekonomi global akan berada di level -4,6%.
Variasi proyeksi dari berbagai lembaga internasional ini sekaligus menggambarkan besarnya ketidakpastian yang harus dihadapi ekonomi global karena dampak pandemi Covid-19 yang menjalar hampir ke semua negara di dunia.
Ekonom Institute for Development of Economics and finance (INDEF) A Erani Yustika menyatakan ekonomi Indonesia juga mendapat ujian berat dari badai resesi global yang mulai mengembus. Jika dilihat dari periodisasi, pandemi Covid-19 di dalam negeri baru dinyatakan meluas ketika memasuki Maret 2020. “Artinya, hanya sepertiga waktu dari kuartal I/2020,” katanya, saat Webinar Kajian Tengah Tahun INDEF 2020 di Jakarta, kemarin. (Baca: Badai Resesi Global Menghembus, Ekonomi RI Tergerus)
Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang kuartal I/2020 sudah terpangkas hampir separo, yakni hanya tumbuh 2,97%. Dengan melihat pencapaian ekonomi pada kuartal I/2020 dan dinamika indikator lainnya, beberapa lembaga internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tergerus pada 2020.
Asian Development Bank (ADB) memproyeksi ekonomi Indonesia 2020 hanya akan tumbuh 2,5%. “Bahkan, pemerintah sendiri memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh negatif,” tutur dia.
Menurut dia, berbagai macam angka proyeksi ekonomi Indonesia di 2020 tersebut sebetulnya menggambarkan satu hal, yaitu perekonomian Indonesia berada dalam posisi yang sulit.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, ancaman resesi ekonomi nasional sudah di depan mata. Kontraksi ekonomi terjadi pada kuartal II dan III tahun 2020, walaupun diberlakukan kebijakan new normal sejak Juni 2020.
“Walaupun sekarang kita belum masuk ke dalam resesi, kemungkinan besar kita perkirakan kontraksi ekonomi akan terjadi di kuartal kedua tahun ini dan juga kuartal ketiga,” ujarnya, pada CORE Mid Year Review 2020, kemarin.
Jika hal tersebut terjadi, tentu menjadi resesi ekonomi pertama sejak 1998. Namun, dengan karakteristik dan faktor pemicu yang berbeda dari resesi 1998. CORE memprediksi jika puncak pandemi terjadi pada kuartal III dan pemerintah tidak memberlakukan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB), ekonomi Indonesia akan terkontraksi di kisaran -1,5%. (Baca juga: Ini Alasan Presiden Bentuk Komite Pemulihan Ekonomi dan Pandemi)
Namun, jika angka kasus baru terus meningkat sepanjang tahun ini dan pemerintah kembali memberlakukan PSBB, CORE memperkirakan kontraksi ekonomi Indonesia bisa mencapai -3%. “Kuartal II/2020 bisa minus 4% sampai minus 6%. Ini sangat bisa dimengerti. Pertambahan kasus Covid-19 ini masih meningkat bahkan saat new normal,” tandasnya.
Dia menuturkan, konsumsi rumah tangga khususnya pada kelompok kelas menengah bawah mengalami tekanan paling besar akibat pandemi Covid-19. Tekanan konsumsi swasta paling besar terjadi pada kuartal II/2020 dan diperkirakan mulai reda pada kuartal III.
Sementara Indeks Penjualan Riil (IPR), indikator yang memotret perkembangan penjualan barang-barang konsumsi masyarakat terkontraksi -20,6% (yoy) pada bulan Mei. Pelemahan konsumsi rumah tangga ini terlihat dari indeks penjualan riil yang menurun tajam. Pada new normal tekanannya memang berkurang, tetapi tetap akan terjadi kontraksi sekitar di angka minus 14%.
Sumber pertumbuhan ekonomi yang positif tahun ini adalah net-ekspor, meskipun relatif rendah. Namun, surplus ekspor tahun ini lebih didorong oleh penurunan impor, khususnya bahan baku dan penolong dan bukan karena pertumbuhan ekspor. (Baca juga: Menikmati Eksotika Danau Singkarak dari Ketinggian Aur Serumpun)
Jadi perbaikan neraca dagang ini sifatnya semu karena didorong kontraksi impor, bukan peningkatan ekspor. “Prediksi kami sampai akhir tahun masih ada potensi surplus, tapi surplusnya semakin lama semakin menyempit. Ini sejalan dengan berlakunya new normal dan aktivitas ekonomi akan bergerak kembali dan ini akan mendorong impor,” kata Faisal.
Sementara investasi, lanjut Faisal, pembatasan sosial dan mobilitas berakibat demand shock yang menurunkan optimisme investasi penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN). Tren relokasi investasi manufaktur keluar dari China terus terjadi saat pandemi. Hal ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi di sektor manufaktur. (Lihat videonya: Miris, Tak Punya HP Anak Pemulung Numpang belajar di rumah Tetangga)
Ini peluang dengan adanya relokasi dari China, tetapi kita harus bersaing dengan negara lain. “Tidak mudah karena masih banyak hambatan seperti peringkat kemudahan berusaha masih lebih rendah di ASEAN,” tandasnya. (Kunthi Fahmar Sandy/Oktiani Endarwati)
Lihat Juga: Waketum Kadin Andi Yuslim: Kerja Sama Pengusaha-Pemerintah Bisa Dorong Pertumbuhan Ekonomi 8%
(ysw)