Optimisme Pemulihan Ekonomi Nasional di Tengah Perseteruan Dua Bebuyutan

Rabu, 22 Juli 2020 - 17:29 WIB
loading...
Optimisme Pemulihan...
Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - OCBC NISP Wealth Management mengungkap bahwa peningkatan kasus Covid-19 di Amerika Serikat tak terlalu berdampak pada upaya-upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan oleh Negeri Pam Sam itu. Saat ini kasus positif baru di Amerika terus meningkat, dengan angka melebihi 3.15 juta atau lebih dari 25% kasus di seluruh dunia.

"Nah perbaikan ekonomi Amerika, salah satunya, terlihat dari rilis data mingguan klaim benefit pengangguran yang berada di level 1,31 juta (per 4 Juli). Angka itu jelas lebih rendah dibandingkan estimasi pasar yang mematok di angka 1,375 juta, dan juga lebih rendah dibandingkan pekan sebelumnya yang berada di level 1,41 juta," tulis OCBC dalam laporannya yang diterima SINDOnews, Rabu (22/7/2020).

Penurunan klaim itu memastikan bahwa sektor ketenagakerjaan Amerika Serikat saat ini memang sedang tahap pemulihan. Penurunan klaim itu juga diakibatkan melandainya pula tingkat pengangguran. Saat ini tingkat pengangguran Amerika berada di angka 11,1%, turun dari angka sebelumya yang masih bertengger di posisi 14,7%. Diekspektasikan tingkat pengangguran itu akan dapat ditekan ke single digit pada bulan ini atau Agustus.

Menariknya, perbaikan yang terjadi di Amerika juga dialami seteru dagangnya, yaitu China. Indeks Harga Produsen (PPI) China menunjukkan pemulihan lebih lanjut.

"PPI China membaik dari -3,7% menjadi -3,0% YoY di bulan Juni. Peningkatan diakibatkan oleh naiknya harga komoditas global, dan juga permintaan industri manufaktur yang mulai menggeliat. Sementara inflasi sendiri tercatat naik dari 2,4% menjadi 2,5% YoY di bulan Juni, secara MoM (month to month) membaik dari -0,8% menjadi -0,1%."

Sayangnya, perbaikan ekonomi kedua pemain dunia itu tak menyurutkan tensi perselisihan antara Amerika dengan China. Bahkan suhunya kian memanas lantaran Amerika baru saja menjatuhkan sanksi terhadap beberapa anggota inti Partai Komunis China atas pelanggaran HAM terkait penahanan kaum muslim di Provinsi Xinjiang.

Keruan saja, sikap Amerika tadi akan kian meningkatkan tensi antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu. Soalnya, tensi-tensi lainnya belum terselesaikan, terkait Covid, Hong Kong, dan sengketa teknologi. ( Baca juga:Uni Eropa Fokus Pemulihan Ekonomi Pasca-Pandemi )

China sendiri terlihat belum bereaksi terhadap sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika. Kesepakatan dagang fase pertama sejauh ini masih berlanjut, namun akan terancam untuk dibatalkan jika perselisihan kedua negara semakin sengit.

Suka tidak suka, perseteruan kedua negara itu berimbas pada perekonomian global, termasuk Indonesia. Kemarin, IHSG ditutup melemah sebesar 0,46% ke level 5,052.79. Padahal, sehari sebelumya IHSG menguat cukup signifikan sebesar 1,78%.

Lusa lalu, indeks juga meliuk ke atas level psikologis 5. 000 yang terpicu oleh sentimen positif seputar dunia finansial. Salah satunya restrukturisasi kredit yang terjadi di perbankan terlihat sudah mulai menurun, sehingga akan berdampak positif untuk net interest margin (NIM) perbankan.

Penurunan restrukturisasi kredit juga mengkonfirmasi adanya pemulihan di dunia usaha, ketika sempat banyak korporasi yang mengajukan restrukturisasi kredit. Rupiah pun saat ini terlihat semakin kokoh dibawah level 14.400. Tak pelak, pasar obligasi pun mendapatkan dorongan untuk menguat dengan yield yang saat ini telah turun ke kisaran level 7,1%.

Dari segi makro ekonomi, Menteri BUMN Erick Tohir menyatakan bahwa kinerja dunia usaha baru akan pulih 40-60% di akhir 2020, pasca-Covid-19, kemudian 75% di 2021, dan akhirnya 100% di tahun 2022.

Perkiraan Erick itu diamini oleh oleh Wapres Ma’ruf Amin yang percaya bahwa ekonomi RI baru akan sepenuhnya pulih di tahun 2022. Beliau menyatakan bahwa pemerintah saat ini telah melakukan berbagai upaya untuk menopang perekonomian, salah satunya merealokasi anggaran negara untuk fokus terhadap tiga sektor strategis, yaitu kesehatan, penanganan dampak sosial, dan juga ekonomi.

Sementara itu, dari segi Covid-19, peningkatan jumlah kasus baru kemarin mencapai rekor lagi dengan angka 2.657 kasus sehingga mendorong total jumlah kasus diatas 70.000. Syukurnya, pasar modal domestik sejauh ini dapat dikatakan cukup imun terhadap perkembangan seputar virus corona.

Ke depannya, IHSG diharapkan dapat bertahan di atas level goceng untuk membentuk range trading baru di 5.000-5.300 pekan depan. Para pelaku pasar saat ini pun masih mencari katalis positif untuk mendorong pasar saham terus menguat, di ambang ketidakpastian domestik, seperti skala penyebaran Covid-19 dan juga beberapa tensi geopolitik global antara AS dengan China dan Inggris dengan Uni Eropa.
(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1518 seconds (0.1#10.140)