Petinggi IMF Yakin Amerika Tak Akan Gagal Bayar Utang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) , Kristalina Georgieva menyatakan keyakinannya bahwa Amerika Serikat (AS) tidak akan menghadapi gagal bayar utang. Pernyataan itu disampaikan pada Forum Ekonomi Qatar di Doha.
Padahal sebelumnya, putaran terakhir pembicaraan plafon utang antara Presiden AS Joe Biden dan Ketua DPR AS Kevin McCarthy berakhir tanpa keputusan apapun. AS pun semakin dekat dengan batas waktu 1 Juni.
"Sejarah memberitahu kita bahwa AS pernah bergulat dengan gagasan gagal bayar ini, tetapi berhasil diselesaikan di menit terakhir. Saya yakin kita akan melihat ‘permainan’ itu lagi," ujar Kristalina, dilansir Reuters, Rabu (24/5/2023).
Sebagai catatan, AS berpotensi gagal bayar utang sebesar USD 31,4 triliun atau setara Rp461 triliun. Bahkan, Menteri Keuangan AS Janet Yellen telah memperingatkan, AS mungkin akan kehabisan uang tunai pada 1 Juni 2023 jika kongres gagal menaikkan atau menangguhkan plafon utang.
Berbagai pertemuan antara Presiden Joe Biden dan Ketua DPR AS Kevin McCarthy telah dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan dalam meningkatkan plafon utang. Namun, kedua belah pihak masih tersendat dalam membahas persyaratan untuk menaikan plafon utang.
Dari sisi Partai Demokrat, Biden kecewa karena Partai Republik tidak akan mempertimbangkan cara untuk meningkatkan pendapatan melalui peningkatan pajak orang kaya dan perusahan.
Sementara, dari sisi Partai Republik McCarthy menolak untuk meningkatkan plafon utang melewati batas USD31,4 triliun kecuali Biden dan Demokrat setuju untuk memotong pengeluaran dalam anggaran federal.
Lebih lanjut, Kristalina mengatakan bahwa dolar AS kemungkinan akan tetap menjadi mata uang global meskipun terdapat peningkatan diskusi tentang dedolarisasi untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Adapun fenomena itu muncul dari blok BRICS yang terdiri dari Brazil, Russia, India, China dan Afrika Selatan.
Selain itu, Indonesia dengan berbagai pihak bahkan sudah menerapkan dedolarisasi melalui skema local currency transaction (LCT).
"Kami tidak mengharapkan pergeseran cepat dalam dolar karena kekuatan ekonomi AS dan kedalaman pasar modalnya," tutup Kristalina.
Padahal sebelumnya, putaran terakhir pembicaraan plafon utang antara Presiden AS Joe Biden dan Ketua DPR AS Kevin McCarthy berakhir tanpa keputusan apapun. AS pun semakin dekat dengan batas waktu 1 Juni.
"Sejarah memberitahu kita bahwa AS pernah bergulat dengan gagasan gagal bayar ini, tetapi berhasil diselesaikan di menit terakhir. Saya yakin kita akan melihat ‘permainan’ itu lagi," ujar Kristalina, dilansir Reuters, Rabu (24/5/2023).
Sebagai catatan, AS berpotensi gagal bayar utang sebesar USD 31,4 triliun atau setara Rp461 triliun. Bahkan, Menteri Keuangan AS Janet Yellen telah memperingatkan, AS mungkin akan kehabisan uang tunai pada 1 Juni 2023 jika kongres gagal menaikkan atau menangguhkan plafon utang.
Berbagai pertemuan antara Presiden Joe Biden dan Ketua DPR AS Kevin McCarthy telah dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan dalam meningkatkan plafon utang. Namun, kedua belah pihak masih tersendat dalam membahas persyaratan untuk menaikan plafon utang.
Dari sisi Partai Demokrat, Biden kecewa karena Partai Republik tidak akan mempertimbangkan cara untuk meningkatkan pendapatan melalui peningkatan pajak orang kaya dan perusahan.
Sementara, dari sisi Partai Republik McCarthy menolak untuk meningkatkan plafon utang melewati batas USD31,4 triliun kecuali Biden dan Demokrat setuju untuk memotong pengeluaran dalam anggaran federal.
Baca Juga
Lebih lanjut, Kristalina mengatakan bahwa dolar AS kemungkinan akan tetap menjadi mata uang global meskipun terdapat peningkatan diskusi tentang dedolarisasi untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Adapun fenomena itu muncul dari blok BRICS yang terdiri dari Brazil, Russia, India, China dan Afrika Selatan.
Selain itu, Indonesia dengan berbagai pihak bahkan sudah menerapkan dedolarisasi melalui skema local currency transaction (LCT).
"Kami tidak mengharapkan pergeseran cepat dalam dolar karena kekuatan ekonomi AS dan kedalaman pasar modalnya," tutup Kristalina.
(ind)