INSA Ingatkan Indonesia Berkaca dari Krisis Norwegia

Senin, 16 Mei 2016 - 13:32 WIB
INSA Ingatkan Indonesia Berkaca dari Krisis Norwegia
INSA Ingatkan Indonesia Berkaca dari Krisis Norwegia
A A A
JAKARTA - Ketua Umum INSA, Carmelita Hartarto mengungkapkan, potensi krisis di Norwegia lebih parah dibandingkan krisis Yunani. Gejala krisis ini telah terjadi sejak tahun lalu. Saat itu, Carmelita ikut mendampingi rombongan Presiden Joko Widodo berkunjung ke negara Eropa, salah satunya Norwegia.

"Kami melihat krisis yang nyata di Eropa. Ada potensi krisis yang besar di Norwegia yang mulai terasa sejak tahun lalu. Bahkan, sejumlah pengamat mengatakan krisis Norwegia bisa lebih parah dari krisis yang melanda Yunani," katanya dalam Rakernas INSA di Jakarta, Senin (16/5/2016).

Dia menjelaskan, kondisi perekonomian Norwegia sangat bergantung pada sektor perminyakan dan pelayaran. Sementara, dua sektor tersebut tengah mengalami perlambatan dan terus tergerus sejak dua tahun belakangan.

"‎Norwegia sangat bergantung pada sektor perminyakan dan pelayaran. Dimana kedua sektor tersebut terus tergerus sejak dua tahun ini. Yunani masih memiliki pariwisata (yang bisa diandalkan), sementara Norwegia tidak ada," imbuh dia.

Setali tiga uang, Indonesia kini juga dihantui dengan penurunan harga komoditas dan minyak dunia di pasar global. Sebab, sektor migas dan pertambangan selama ini masih menjadi salah satu andalan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.

(Baca: Industri Pelayaran RI Ambruk Akibat Krisis Ekonomi Global)

‎Parahnya lagi, Indonesia juga dibayangi dengan perlambatan ekonomi yang terjadi di China.‎ Industri pelayaran yang selama ini merasakan kenikmatan dari perekonomian China yang gemilang pun harus gigit jari. Apalagi harga komoditas dan minyak dunia yang ambruk juga membuat industri pelayaran nasional semakin tertekan.

"‎Kami mendapat laporan banyak kapal-kapal dan armada nasionalnya ambruk. Contoh, jenis kapal tongkang batubara yang idle (tidak beroperasi) sekitar 60%, kapal general kargo‎ 40%, kapal migas 60%. Sisanya tetap beroperasi tapi mengalami kerugian," tandasnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4026 seconds (0.1#10.140)