Industri Hasil Tembakau Warisan Nasional, Tolong Jangan Dimatikan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang dikeluarkan salah satu kementrian serta menjadi acuan kebijakan pembangunan saat ini diminta harus diubah. Pasalnya dengan dalih kesehatan, RPJMN tersebut dianggap memusuhi dan akan mematikan industri hasil tembakau (IHT) nasional lewat kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.
Salah satu turunan dari RPJMN adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/02/ 2020 yang akan melakukan simplifikasi dan kenaikan cukai di tahun 2021. IHT merupakan warisan budaya nasional yang bernilai strategis. Selain memberikan sumbangan pemasukan keuangan negara yang besar juga menyerap jutaan tenaga kerja. Karena itu sudah sepantasnya dilindungi bukan dimatikan lewat simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.
“Kami tidak setuju dengan segala kebijakan yang memusuhi dan mematikan industri hasil tembakau nasional, karena sudah jelas itu akan berdampak pada serapan produk tembakau yang rendah dan kemudian juga mengancam eksistensi pabrikan rokok menengah dan kecil. Ditambah juga tenaga kerja, petani serta buruh rokok yang ada di sektor itu,” tegas anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Lulu Nur Hamidah kepada pers di Jakarta.
(Baca Juga: Industri Hasil Tembakau Digempur Berbagai Kebijakan Pembatasan )
Lebih lanjut terang dia, termasuk produk turunannya yang terkait dengan industri hasil tembakau yang akan kena dampaknya, bakal akan sangat panjang bahkan termasuk para pengecer dan yang lainnya. Lulu Nur Hamidah menjelaskan, masalah kesehatan masyarakat tidak selalu disebabkan oleh rokok. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat seperti lingkungan dan sanitasi yang buruk, polusi udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan juga polusi dari berbagai pabrik, serta faktor-faktor lainnya.
“Kenapa industri-industri lainnya seperti industri plastik misalnya tanggung jawabnya sangat rendah untuk urusan menjaga lingkungan. Itu yang tidak diurus oleh pemerintah dan mereka itu juga seharusnya dipajaki tinggi. Tetapi ini yang terkait dengan petani (tembakau) yang selalu diobok obok,” papar Lulu Nur Hamidah.
Namun demikian, Anggota DPR RI dari Dapil Jawa Tengah IV ini mendukung adanya regulasi yang mengatur siapa saja yang boleh dan tidak boleh merokok. Tempat yang boleh dan tidak boleh merokok.
Sehingga anggota masyarakat yang tidak merokok seperti dirinya tidak terpapar asap rokok dari para perokok. Namun bukan peraturan yang mematikan produksi rokok baik langsung maupun lewat kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.
Tolak Simplifikasi Cukai
Pada kesempatan tersebut, anggota DPR RI dari komisi yang membawahi masalah perkebunan Komisi IV, ini secara tegas menolak rencana Menteri Keuangan yang akan melakukan simplifikasi cukai di tahun 2021 sesuai PMK No. 77/02/2020. Alasannya jika kebijakan simplifikasi cukai dilakukan berdampak buruk kepada industri rokok dan kesejahteraan petani tembakau.
Kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar asing. Padahal kewajiban pemerintah melindungi semua industri rokok baik sekala menengah, kecil termasuk para petani tembakau.
(Baca Juga: Dukung Kesejahteraan Petani Tembakau, Pemerintah Diminta Dorong Kemitraan )
“Dengan kebijakan 10 layer (penarikan cukai rokok) seperti saat ini saya kira itu sudah baik karena dinilai mampu mewadahi berbagai kelas pabrikan rokok dari yang besar, menengah dan kecil,“ ungkap anggota Komisi IV Fraksi PKB DPR RI Lulu Nur Hamida.
Sambung Ketua Bidang Luar Negeri Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB periode 2019-2024 ini memaparkan, berdasarkan hasil analisis pihaknya, kebijakan menerapkan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok akan berdampak pada beberapa hal. Pertama pabrikan kecil tidak akan mampu bertahan apabila berhadapan dengan pabrikan besar secara langsung atau head to head.
“Dampak serius lainnya adalah pabrikan kretek yang merupakan produk yang sangat besar dan khas dari Indonesia, warisan nusantara, yang tinggal satu satunya, tidak akan mampu untuk bertahan,” tambah Lulu Nur Hamidah.
Diterangkan juga oleh Lulu Nur Hamdiah, saat ini ada sekitar 487 pabrikan rokok. 98% dari jumlah tersebut merupakan pabrikan menengah kecil. Jika simplifikasi ini diterapkan, dia yakin banyak pabrikan rokok kecil dan menengah akan gulung tikar. Sementara jutaan tenaga kerjanya akan kehilangan mata pencaharian.
Apabila PMK No. 077/02/2020 jadi diterapkan, otomatis serapan bahan baku yang dihasilkan para petani tembakau akan berkurang hingga 30%. Disamping itu, harga jual tembakau dari petani juga akan turun. Hal ini akan berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan petani tembakau.
“ PMK No. 077/02/2020 ini akan menggerus dan bahkan membuat pabrikan rokok menengah kecil ini berguguran. Jutaan tenaga kerja atau buruh industri rokok khsususnya dari kalangan wanita akan kehilangan mata pencaharan. Jadi hal ini nanti akan menciptakan cycle atau lingkaran penderitaan yang berlapis lapis. Kenapa model simplifikasi cukai rokok colonial mau diterapkan?“ tanya Anggota Komisi IV DPR RI ini.
Dipaparkan anggota Komisi IV dari FPKB DPR RI ini, cukai rokok sudah dinaikan sebanyak 23 persen pada akhir tahun 2019 dan diberlakukan tahun 2020. Apabila tahun 2021 dinaikan kembali akan sangat memberatkan pelaku pabrikan menengah kecil serta petani tembakau lokal, saat semua sektor dan semua pelaku ekonomi sedang berjuang menghadapi resesi ekonomi akibat wabah Covid 19.
“ Kami dari komisi IV DPR RI dan Fraksi PKB akan segera mengambil tindakan untuk melakukan langkah langkah apa saja yang diperlukan untuk membatalkan PMK No. 77/02/2020 tersebut, “ Tegas Alumni Program Pasca Sarjana Sosiologi FISIP UI ini.
Menurut Lulu Nur Hamidah, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok sekaligus melakukan simpilifikasi penarikan cukai rokok merupakan kebijakan yang tidak tepat. Pemerintah harusnya melakukan reformasi fiscal di sektor lain. Tidak terus menerus di sektor cukai rokok.
“Tahun lalu saja harga tembakau turun drastis karena kebijakan kenaikan cukai rokok sebelumnya. Nah dengan PMK sekarang ini yang juga di tengah masa pandemik Covid 19 ini saya rasa sangat tidak tepat kalau ini mau diterapkan. Seharusnya pemerintah justru memberikan perlindungan kepada industri rokok dan petani tembakau,” papar Lulu.
Lebih lanjut, Lulu menjelaskan, jika pemerintah ingin mencari dana guna menutup kekurangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tidak seharusnya terus menerus menaikan cukai rokok yang memberatkan industri dan menyusahkan petani tembakau. Tapi bisa menarik dan menaikan sektor pajak lebih tinggi di bidang lainnya.
Sayangnya hal ini tidak dilakukan pemerintah. Contohnya perkebunan besar kelapa sawit dan juga sektor pertambangan yang telah berdampak buruk bagi lingkungan.
“Sedari awal kami di Fraksi PKB tidak setuju terhadap PMK No. 77/02/2020. Menurut saya ini tidak tepat sasaran karena sebenarnya masih banyak hal lain yang bisa dipajaki tinggi tapi tidak dilakukan. Misalnya perkebunan besar seperti sawit. Yang menurut saya penting (untuk dipajaki adalah) juga sector pertambangan yang sudah jelas jelas berdampak buruk bagi lingkungan,” tambah anggota DPR RI yang juga ketua LKK PBNU periode 2015 – 2020 ini.
Penolakan terhadap rencana penerapan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok juga dikemukakan wakil Ketua Komisi IV DPR RI yang juga anggota Fraksi PKB DPR RI, Multazam ketika menerima kunjungan Pengurus Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) yang dipimpin ketua APTI Jawa Barat Suryana beberapa hari lalu di DPR RI.
Pada kesempatan tersebut, menurut Suryana, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI tersebut mendukung perjuangan APTI menolak rencana kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai di tahun 2021.
Salah satu turunan dari RPJMN adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/02/ 2020 yang akan melakukan simplifikasi dan kenaikan cukai di tahun 2021. IHT merupakan warisan budaya nasional yang bernilai strategis. Selain memberikan sumbangan pemasukan keuangan negara yang besar juga menyerap jutaan tenaga kerja. Karena itu sudah sepantasnya dilindungi bukan dimatikan lewat simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.
“Kami tidak setuju dengan segala kebijakan yang memusuhi dan mematikan industri hasil tembakau nasional, karena sudah jelas itu akan berdampak pada serapan produk tembakau yang rendah dan kemudian juga mengancam eksistensi pabrikan rokok menengah dan kecil. Ditambah juga tenaga kerja, petani serta buruh rokok yang ada di sektor itu,” tegas anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Lulu Nur Hamidah kepada pers di Jakarta.
(Baca Juga: Industri Hasil Tembakau Digempur Berbagai Kebijakan Pembatasan )
Lebih lanjut terang dia, termasuk produk turunannya yang terkait dengan industri hasil tembakau yang akan kena dampaknya, bakal akan sangat panjang bahkan termasuk para pengecer dan yang lainnya. Lulu Nur Hamidah menjelaskan, masalah kesehatan masyarakat tidak selalu disebabkan oleh rokok. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat seperti lingkungan dan sanitasi yang buruk, polusi udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan juga polusi dari berbagai pabrik, serta faktor-faktor lainnya.
“Kenapa industri-industri lainnya seperti industri plastik misalnya tanggung jawabnya sangat rendah untuk urusan menjaga lingkungan. Itu yang tidak diurus oleh pemerintah dan mereka itu juga seharusnya dipajaki tinggi. Tetapi ini yang terkait dengan petani (tembakau) yang selalu diobok obok,” papar Lulu Nur Hamidah.
Namun demikian, Anggota DPR RI dari Dapil Jawa Tengah IV ini mendukung adanya regulasi yang mengatur siapa saja yang boleh dan tidak boleh merokok. Tempat yang boleh dan tidak boleh merokok.
Sehingga anggota masyarakat yang tidak merokok seperti dirinya tidak terpapar asap rokok dari para perokok. Namun bukan peraturan yang mematikan produksi rokok baik langsung maupun lewat kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.
Tolak Simplifikasi Cukai
Pada kesempatan tersebut, anggota DPR RI dari komisi yang membawahi masalah perkebunan Komisi IV, ini secara tegas menolak rencana Menteri Keuangan yang akan melakukan simplifikasi cukai di tahun 2021 sesuai PMK No. 77/02/2020. Alasannya jika kebijakan simplifikasi cukai dilakukan berdampak buruk kepada industri rokok dan kesejahteraan petani tembakau.
Kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar asing. Padahal kewajiban pemerintah melindungi semua industri rokok baik sekala menengah, kecil termasuk para petani tembakau.
(Baca Juga: Dukung Kesejahteraan Petani Tembakau, Pemerintah Diminta Dorong Kemitraan )
“Dengan kebijakan 10 layer (penarikan cukai rokok) seperti saat ini saya kira itu sudah baik karena dinilai mampu mewadahi berbagai kelas pabrikan rokok dari yang besar, menengah dan kecil,“ ungkap anggota Komisi IV Fraksi PKB DPR RI Lulu Nur Hamida.
Sambung Ketua Bidang Luar Negeri Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB periode 2019-2024 ini memaparkan, berdasarkan hasil analisis pihaknya, kebijakan menerapkan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok akan berdampak pada beberapa hal. Pertama pabrikan kecil tidak akan mampu bertahan apabila berhadapan dengan pabrikan besar secara langsung atau head to head.
“Dampak serius lainnya adalah pabrikan kretek yang merupakan produk yang sangat besar dan khas dari Indonesia, warisan nusantara, yang tinggal satu satunya, tidak akan mampu untuk bertahan,” tambah Lulu Nur Hamidah.
Diterangkan juga oleh Lulu Nur Hamdiah, saat ini ada sekitar 487 pabrikan rokok. 98% dari jumlah tersebut merupakan pabrikan menengah kecil. Jika simplifikasi ini diterapkan, dia yakin banyak pabrikan rokok kecil dan menengah akan gulung tikar. Sementara jutaan tenaga kerjanya akan kehilangan mata pencaharian.
Apabila PMK No. 077/02/2020 jadi diterapkan, otomatis serapan bahan baku yang dihasilkan para petani tembakau akan berkurang hingga 30%. Disamping itu, harga jual tembakau dari petani juga akan turun. Hal ini akan berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan petani tembakau.
“ PMK No. 077/02/2020 ini akan menggerus dan bahkan membuat pabrikan rokok menengah kecil ini berguguran. Jutaan tenaga kerja atau buruh industri rokok khsususnya dari kalangan wanita akan kehilangan mata pencaharan. Jadi hal ini nanti akan menciptakan cycle atau lingkaran penderitaan yang berlapis lapis. Kenapa model simplifikasi cukai rokok colonial mau diterapkan?“ tanya Anggota Komisi IV DPR RI ini.
Dipaparkan anggota Komisi IV dari FPKB DPR RI ini, cukai rokok sudah dinaikan sebanyak 23 persen pada akhir tahun 2019 dan diberlakukan tahun 2020. Apabila tahun 2021 dinaikan kembali akan sangat memberatkan pelaku pabrikan menengah kecil serta petani tembakau lokal, saat semua sektor dan semua pelaku ekonomi sedang berjuang menghadapi resesi ekonomi akibat wabah Covid 19.
“ Kami dari komisi IV DPR RI dan Fraksi PKB akan segera mengambil tindakan untuk melakukan langkah langkah apa saja yang diperlukan untuk membatalkan PMK No. 77/02/2020 tersebut, “ Tegas Alumni Program Pasca Sarjana Sosiologi FISIP UI ini.
Menurut Lulu Nur Hamidah, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok sekaligus melakukan simpilifikasi penarikan cukai rokok merupakan kebijakan yang tidak tepat. Pemerintah harusnya melakukan reformasi fiscal di sektor lain. Tidak terus menerus di sektor cukai rokok.
“Tahun lalu saja harga tembakau turun drastis karena kebijakan kenaikan cukai rokok sebelumnya. Nah dengan PMK sekarang ini yang juga di tengah masa pandemik Covid 19 ini saya rasa sangat tidak tepat kalau ini mau diterapkan. Seharusnya pemerintah justru memberikan perlindungan kepada industri rokok dan petani tembakau,” papar Lulu.
Lebih lanjut, Lulu menjelaskan, jika pemerintah ingin mencari dana guna menutup kekurangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tidak seharusnya terus menerus menaikan cukai rokok yang memberatkan industri dan menyusahkan petani tembakau. Tapi bisa menarik dan menaikan sektor pajak lebih tinggi di bidang lainnya.
Sayangnya hal ini tidak dilakukan pemerintah. Contohnya perkebunan besar kelapa sawit dan juga sektor pertambangan yang telah berdampak buruk bagi lingkungan.
“Sedari awal kami di Fraksi PKB tidak setuju terhadap PMK No. 77/02/2020. Menurut saya ini tidak tepat sasaran karena sebenarnya masih banyak hal lain yang bisa dipajaki tinggi tapi tidak dilakukan. Misalnya perkebunan besar seperti sawit. Yang menurut saya penting (untuk dipajaki adalah) juga sector pertambangan yang sudah jelas jelas berdampak buruk bagi lingkungan,” tambah anggota DPR RI yang juga ketua LKK PBNU periode 2015 – 2020 ini.
Penolakan terhadap rencana penerapan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok juga dikemukakan wakil Ketua Komisi IV DPR RI yang juga anggota Fraksi PKB DPR RI, Multazam ketika menerima kunjungan Pengurus Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) yang dipimpin ketua APTI Jawa Barat Suryana beberapa hari lalu di DPR RI.
Pada kesempatan tersebut, menurut Suryana, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI tersebut mendukung perjuangan APTI menolak rencana kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai di tahun 2021.
(akr)