PMI Manufaktur RI Melambat pada Mei tapi Tetap Ekspansif 21 Bulan Beruntun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sektor manufaktur Indonesia secara konsisten mengalami ekspansi dalam 21 bulan beruntun usai mencatatkan Purchasing Managers’ Index (PMI) di level 50,3 pada Mei 2023. Geliat manufaktur terutama didorong oleh meningkatnya aktivitas produksi serta aktivitas pembelian input.
Meski begitu, angka PMI manufaktur Mei turun 2,4 poin jika dibandingkan bulan April yang tercatat pada level 52,7. Di kawasan ASEAN sendiri, data PMI manufaktur menunjukkan tren beragam.
"PMI manufaktur Thailand dan Myanmar masih berada di zona ekspansi meski mulai menunjukkan tren perlambatan," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu di Jakarta, dikutip Selasa (6/6/2023).
Sementara itu, PMI Manufaktur Malaysia dan Vietnam di bulan Mei 2023 masih berada di zona kontraksi, masing-masing di level 47,8 dan 45,3 sejalan dengan tren PMI manufaktur global
"Ekspansi sektor manufaktur Indonesia terutama tercermin pada tingkat penyerapan tenaga kerja bulan Mei yang merupakan capaian terbaik selama 6 bulan terakhir di level 50,6," ungkap Febrio.
Menurut dia, PMI manufaktur yang masih ekspansif dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih baik, mencerminkan resiliensi Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global yang masih berlanjut.
Meski begitu, pelaku usaha tampaknya mulai mengantisipasi transmisi dampak perlambatan ekonomi global ke domestik. Untuk itu, perkembangan pertumbuhan permintaan domestik yang berkelanjutan perlu terus dijaga untuk mendukung aktivitas sektor manufaktur.
"Tren inflasi yang terus membaik perlu terus dijaga untuk mendukung daya beli masyarakat. Pemerintah juga akan terus mengantisipasi risiko perlambatan ekonomi global serta menjaga optimisme dunia usaha,” tukas Febrio.
Sebelumnya, Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence, Jingyi Pan mengatakan, perlambatan PMI manufaktur Indonesia bulan Mei dibandingkan April terjadi karena penurunan permintaan baru. Hal ini seiring lemahnya kondisi ekonomi domestik dan global yang mempengaruhi permintaan baru.
“Sangat penting untuk memonitor seberapa tangguh penurunan permintaan terkini karena hal ini akan mempengaruhi perkiraan pertumbuhan,” ujar Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence, Jingyi Pan dalam keterangan tertulis, Senin (5/6).
Meski demikian, sambung dia, PMI manufaktur Indonesia masih dalam kondisi ekspansif karena masih berada di atas 50 poin. Adapun penurunan permintaan terjadi baik dari permintaan domestik maupun permintaan asing. Ini merupakan imbas dari kondisi pasar yang mengalami pelemahan. Bahkan, permintaan asing mengalami penurunan selama 12 bulan berturut-turut.
"Sangat mengkhawatirkan melihat bahwa sentimen bisnis tetap suram, dengan tingkat kepercayaan semakin turun di bawah rata-rata pada bulan Mei, mencerminkan kekhawatiran yang masih ada terhadap perkiraan pada tahun yang akan datang," tuturnya.
Meski ada penurunan pada permintaan baru, beban kerja perusahaan menjadi berkurang dan pasokan barang tetap dalam jumlah besar. Hal tersebut diperkirakan bisa membantu perusahaan dalam meningkatkan penjualan pada bulan berikutnya.
“Kondisi permintaan yang lebih lemah menyebabkan berkurangnya tekanan harga bagi produsen Indonesia, yang artinya inflasi harga jual akan lebih lunak di sektor produksi barang, sehingga mencerminkan upaya Bank Indonesia dalam menurunkan tekanan inflasi melalui pengetatan kebijakan moneter,” bebernya.
Untuk diketahui, laju pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia terus melambat sejak awal kuartal kedua. Produksi kembali meningkat didukung oleh pesanan yang ada dan kondisi persediaan pasokan yang lebih baik, namun laju pertumbuhan berkurang di tengah tengah kontraksi pada permintaan baru. Imbasnya, aktivitas pembelian melemah dan tingkat lapangan pekerjaan hanya tumbuh sedikit.
Meski begitu, angka PMI manufaktur Mei turun 2,4 poin jika dibandingkan bulan April yang tercatat pada level 52,7. Di kawasan ASEAN sendiri, data PMI manufaktur menunjukkan tren beragam.
"PMI manufaktur Thailand dan Myanmar masih berada di zona ekspansi meski mulai menunjukkan tren perlambatan," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu di Jakarta, dikutip Selasa (6/6/2023).
Sementara itu, PMI Manufaktur Malaysia dan Vietnam di bulan Mei 2023 masih berada di zona kontraksi, masing-masing di level 47,8 dan 45,3 sejalan dengan tren PMI manufaktur global
"Ekspansi sektor manufaktur Indonesia terutama tercermin pada tingkat penyerapan tenaga kerja bulan Mei yang merupakan capaian terbaik selama 6 bulan terakhir di level 50,6," ungkap Febrio.
Menurut dia, PMI manufaktur yang masih ekspansif dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih baik, mencerminkan resiliensi Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global yang masih berlanjut.
Meski begitu, pelaku usaha tampaknya mulai mengantisipasi transmisi dampak perlambatan ekonomi global ke domestik. Untuk itu, perkembangan pertumbuhan permintaan domestik yang berkelanjutan perlu terus dijaga untuk mendukung aktivitas sektor manufaktur.
"Tren inflasi yang terus membaik perlu terus dijaga untuk mendukung daya beli masyarakat. Pemerintah juga akan terus mengantisipasi risiko perlambatan ekonomi global serta menjaga optimisme dunia usaha,” tukas Febrio.
Sebelumnya, Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence, Jingyi Pan mengatakan, perlambatan PMI manufaktur Indonesia bulan Mei dibandingkan April terjadi karena penurunan permintaan baru. Hal ini seiring lemahnya kondisi ekonomi domestik dan global yang mempengaruhi permintaan baru.
“Sangat penting untuk memonitor seberapa tangguh penurunan permintaan terkini karena hal ini akan mempengaruhi perkiraan pertumbuhan,” ujar Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence, Jingyi Pan dalam keterangan tertulis, Senin (5/6).
Meski demikian, sambung dia, PMI manufaktur Indonesia masih dalam kondisi ekspansif karena masih berada di atas 50 poin. Adapun penurunan permintaan terjadi baik dari permintaan domestik maupun permintaan asing. Ini merupakan imbas dari kondisi pasar yang mengalami pelemahan. Bahkan, permintaan asing mengalami penurunan selama 12 bulan berturut-turut.
"Sangat mengkhawatirkan melihat bahwa sentimen bisnis tetap suram, dengan tingkat kepercayaan semakin turun di bawah rata-rata pada bulan Mei, mencerminkan kekhawatiran yang masih ada terhadap perkiraan pada tahun yang akan datang," tuturnya.
Baca Juga
Meski ada penurunan pada permintaan baru, beban kerja perusahaan menjadi berkurang dan pasokan barang tetap dalam jumlah besar. Hal tersebut diperkirakan bisa membantu perusahaan dalam meningkatkan penjualan pada bulan berikutnya.
“Kondisi permintaan yang lebih lemah menyebabkan berkurangnya tekanan harga bagi produsen Indonesia, yang artinya inflasi harga jual akan lebih lunak di sektor produksi barang, sehingga mencerminkan upaya Bank Indonesia dalam menurunkan tekanan inflasi melalui pengetatan kebijakan moneter,” bebernya.
Untuk diketahui, laju pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia terus melambat sejak awal kuartal kedua. Produksi kembali meningkat didukung oleh pesanan yang ada dan kondisi persediaan pasokan yang lebih baik, namun laju pertumbuhan berkurang di tengah tengah kontraksi pada permintaan baru. Imbasnya, aktivitas pembelian melemah dan tingkat lapangan pekerjaan hanya tumbuh sedikit.
(ind)