Perry Ungkap Penyebab Rupiah Masih Undervalued
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah pada Rabu ini menguat terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Namun, secara keseluruhan, nilai mata uang kecintaan kita yang berada di level Rp15.300-an per USD masih undervalued alias masih di bawah fundamentalnya.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan melemahnya rupiah dipengaruhi oleh faktor teknikal, baik dari dalam maupun luar negeri.
Dari dalam negeri misalnya. Pelemahan rupiah dipengaruhi oleh lebih tingginya kebutuhan valuta asing oleh korporasi. Sehingga hal tersebut berpengaruh pada permintaan valas.
"Untuk (pelemahan rupiah) yang terjadi beberapa hari kemarin ada beberapa faktor. Misalnya dari dalam negeri, kebutuhan valuta asing untuk korporasi itu lebih tinggi dan ini mempengaruhi permintaan valas," terangnya dalam teleconfrence, Rabu (29/4/2020).
Penyebab kedua karena adanya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penerapan PSBB ini membuat pelaku pasar melihat kondisi ini akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ini tambah dengan prediksi Fitch Ratings terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 2,8%, lebih rendah dari tahun sebelumnya. Ini turut mempengaruhi sentimen terhadap rupiah. Meskipun diakui Perry, angka ini lebih tinggi dari perkiraan BI yaitu 2,3% untuk pertumbuhan ekonomi tahun 2020.
Ada faktor negatif, ada pula faktor positif dari luar dan dalam negeri. Dari dalam negeri adalah tingginya penawaran lelang Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp44,4 triliun.
"Penawaran lelang SBN yang lebih tinggi menjadi Rp44,4 triliun, menunjukkan minat investor dalam dan luar negeri untuk membeli SBN ini 2,2 kali dari target, ini positif," kata Perry.
Sentimen dari luar negeri adalah penguatan pasar saham di AS dan Eropa. Menurut Perry, hingga akhir tahun, nilai tukar diprediksi akan stabil dan menguat ke arah Rp15.000 per USD.
Hal ini ditambah dengan defisit transaksi berjalan yang lebih rendah dari target semula 2,5%-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Insya Allah pada kuartal I, defisit transaksi berjalan di bawah 1,5% dari PDB. Untuk keseluruhan tahun di bawah 2% dari PDB. Jika defisit transaksi berjalannya lebih rendah, berarti kekurangan devisa itu lebih rendah dan mendukung penguatan nilai tukar ke arah fundamentalnya," kata Perry.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan melemahnya rupiah dipengaruhi oleh faktor teknikal, baik dari dalam maupun luar negeri.
Dari dalam negeri misalnya. Pelemahan rupiah dipengaruhi oleh lebih tingginya kebutuhan valuta asing oleh korporasi. Sehingga hal tersebut berpengaruh pada permintaan valas.
"Untuk (pelemahan rupiah) yang terjadi beberapa hari kemarin ada beberapa faktor. Misalnya dari dalam negeri, kebutuhan valuta asing untuk korporasi itu lebih tinggi dan ini mempengaruhi permintaan valas," terangnya dalam teleconfrence, Rabu (29/4/2020).
Penyebab kedua karena adanya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penerapan PSBB ini membuat pelaku pasar melihat kondisi ini akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ini tambah dengan prediksi Fitch Ratings terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 2,8%, lebih rendah dari tahun sebelumnya. Ini turut mempengaruhi sentimen terhadap rupiah. Meskipun diakui Perry, angka ini lebih tinggi dari perkiraan BI yaitu 2,3% untuk pertumbuhan ekonomi tahun 2020.
Ada faktor negatif, ada pula faktor positif dari luar dan dalam negeri. Dari dalam negeri adalah tingginya penawaran lelang Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp44,4 triliun.
"Penawaran lelang SBN yang lebih tinggi menjadi Rp44,4 triliun, menunjukkan minat investor dalam dan luar negeri untuk membeli SBN ini 2,2 kali dari target, ini positif," kata Perry.
Sentimen dari luar negeri adalah penguatan pasar saham di AS dan Eropa. Menurut Perry, hingga akhir tahun, nilai tukar diprediksi akan stabil dan menguat ke arah Rp15.000 per USD.
Hal ini ditambah dengan defisit transaksi berjalan yang lebih rendah dari target semula 2,5%-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Insya Allah pada kuartal I, defisit transaksi berjalan di bawah 1,5% dari PDB. Untuk keseluruhan tahun di bawah 2% dari PDB. Jika defisit transaksi berjalannya lebih rendah, berarti kekurangan devisa itu lebih rendah dan mendukung penguatan nilai tukar ke arah fundamentalnya," kata Perry.
(bon)