Iklan Rokok Dilarang, Pelaku Industri: Tak Adil, Investasinya Sebagai Produk Diizinkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pelaku industri periklanan menegaskan bahwa praktik serta etika penayangan iklan rokok di Indonesia sudah sesuai aturan. Naiknya jumlah perokok anak disebabkan banyak faktor sehingga dirasa tidak adil iklan rokok yang dituding, sehingga memunculkan wacana pelarangan total iklan rokok.
Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia sekaligus Anggota Tim Perumus Etika Pariwara Indonesia, Herry Margono, menegaskan tidak fair (tidak adil) jika investasinya diizinkan tapi iklannya dilarang. “Totally banned [dilarang sepenuhnya] saya tidak sepakat,” tegasnya, dalam keterangan tertulis, Kamis (6/7/2023).
Herry melanjutkan pihaknya setuju dengan pembatasan iklan rokok sesuai dengan peraturan yang berlaku sekarang. Berbagai aturan tersebut juga telah dilakukan secara taat.
“Mulai dari penayangan dari jam 9.30 malam sampai pukul 5 pagi. Kami sudah menaati peraturan tersebut,” tambahnya.
Melihat dari faktor jam tayang iklan saja, Herry merasa keberatan jika dinyatakan memiliki dampak besar terhadap anak-anak. “Apakah anak menonton TV di jam 9.30 malam sampai jam 5 pagi?” tanyanya.
Demikian juga dengan penayangan iklan rokok di platform media sosial, yang menurut Herry, semestinya anak-anak tidak bisa dibebaskan untuk mengakses platform media sosial. “Media sosial itu bukan medianya anak-anak. Ada batasan umur pengguna,” kata Herry.
Lebih lanjut Herry menjamin bahwa pedoman serta etika periklanan di Indonesia termasuk iklan rokok telah disusun sedemikian rupa oleh para pihak berkompeten. Perumusan acuan tersebut melibatkan asosiasi yang bergerak di bidang periklanan dan dimonitor oleh badan pengawasnya.
Herry menegaskan bahwa seluruh regulasi berkaitan dengan iklan rokok saat ini sudah mumpuni. Tidak ada kelemahan dari sisi regulasi.
“Masalah lemah kuat itu bukan masalah aturannya, itu masalah penegakkannya. Tapi kembali lagi kalau dari kami bisa dicek sangat minim pelanggaran terkait beriklan rokok,” tegasnya.
Jika seandainya iklan rokok dilarang total, Herry mengatakan, selain menciptakan ketidakadilan karena investasinya sebagai produk legal diizinkan juga dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap perputaran perekonomian Indonesia. Dampaknya bukan saja terhadap industri pertembakauan tetapi juga secara spesifik terhadap industri periklanan dan media.
“Belanja iklan rokok itu terbilang besar. Artinya, iklan dari industri ini bisa untuk menghidupi biro iklan dan media periklanan, bisa TV, radio, media luar ruang (OOH), digital. Memang artinya industri periklanan masih butuh iklan dari rokok juga, apakah biro iklannya, medianya. Mereka (iklan rokok) sering jadi andalan,” ungkapnya.
Terpisah, juru bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Moddie Alvianto sependapat bahwa munculnya wacana pelarangan total iklan rokok adalah berlebihan. “Tinggal bagaimana pemerintah yang berwenang menegakkan dan mengimplementasikannya,” ujarnya.
Moddie juga menegaskan, akar masalah kenaikan jumlah perokok anak lebih kepada banyak faktor lain. Bukan sekadar salah iklan sehingga tiba-tiba muncul wacana untuk dilarang sepenuhnya. Lebih lanjut pihaknya memaparkan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru yaitu Januari 2023, angka jumlah perokok usia muda terjadi penurunan menjadi 3,44%.
Baca Juga
Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia sekaligus Anggota Tim Perumus Etika Pariwara Indonesia, Herry Margono, menegaskan tidak fair (tidak adil) jika investasinya diizinkan tapi iklannya dilarang. “Totally banned [dilarang sepenuhnya] saya tidak sepakat,” tegasnya, dalam keterangan tertulis, Kamis (6/7/2023).
Herry melanjutkan pihaknya setuju dengan pembatasan iklan rokok sesuai dengan peraturan yang berlaku sekarang. Berbagai aturan tersebut juga telah dilakukan secara taat.
“Mulai dari penayangan dari jam 9.30 malam sampai pukul 5 pagi. Kami sudah menaati peraturan tersebut,” tambahnya.
Melihat dari faktor jam tayang iklan saja, Herry merasa keberatan jika dinyatakan memiliki dampak besar terhadap anak-anak. “Apakah anak menonton TV di jam 9.30 malam sampai jam 5 pagi?” tanyanya.
Demikian juga dengan penayangan iklan rokok di platform media sosial, yang menurut Herry, semestinya anak-anak tidak bisa dibebaskan untuk mengakses platform media sosial. “Media sosial itu bukan medianya anak-anak. Ada batasan umur pengguna,” kata Herry.
Lebih lanjut Herry menjamin bahwa pedoman serta etika periklanan di Indonesia termasuk iklan rokok telah disusun sedemikian rupa oleh para pihak berkompeten. Perumusan acuan tersebut melibatkan asosiasi yang bergerak di bidang periklanan dan dimonitor oleh badan pengawasnya.
Herry menegaskan bahwa seluruh regulasi berkaitan dengan iklan rokok saat ini sudah mumpuni. Tidak ada kelemahan dari sisi regulasi.
“Masalah lemah kuat itu bukan masalah aturannya, itu masalah penegakkannya. Tapi kembali lagi kalau dari kami bisa dicek sangat minim pelanggaran terkait beriklan rokok,” tegasnya.
Jika seandainya iklan rokok dilarang total, Herry mengatakan, selain menciptakan ketidakadilan karena investasinya sebagai produk legal diizinkan juga dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap perputaran perekonomian Indonesia. Dampaknya bukan saja terhadap industri pertembakauan tetapi juga secara spesifik terhadap industri periklanan dan media.
“Belanja iklan rokok itu terbilang besar. Artinya, iklan dari industri ini bisa untuk menghidupi biro iklan dan media periklanan, bisa TV, radio, media luar ruang (OOH), digital. Memang artinya industri periklanan masih butuh iklan dari rokok juga, apakah biro iklannya, medianya. Mereka (iklan rokok) sering jadi andalan,” ungkapnya.
Terpisah, juru bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Moddie Alvianto sependapat bahwa munculnya wacana pelarangan total iklan rokok adalah berlebihan. “Tinggal bagaimana pemerintah yang berwenang menegakkan dan mengimplementasikannya,” ujarnya.
Moddie juga menegaskan, akar masalah kenaikan jumlah perokok anak lebih kepada banyak faktor lain. Bukan sekadar salah iklan sehingga tiba-tiba muncul wacana untuk dilarang sepenuhnya. Lebih lanjut pihaknya memaparkan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru yaitu Januari 2023, angka jumlah perokok usia muda terjadi penurunan menjadi 3,44%.
(uka)