Pemanfaatan EBT di Indonesia Baru 0,5%, Sri Mulyani: Ini Memalukan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani I ndrawati menyayangkan, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia yang masih sangat rendah, atau baru 0,5%. Pencapaian ini, menurutnya memalukan mengingat komitmen Indonesia soal memitigasi imbas perubahan iklim .
"Ini memalukan, pak Hilmi Panigoro, tidak sampai 1%. Pak Dirjen deh, DPR nanti tolong dorong-dorong terus ke Menteri ESDM. Kita punya banyak banget potensi, mau air, geothermal dan lainnya," ungkap Sri Mulyani dalam Indonesia EBTKE ConEx ke-11 secara virtual di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Ditekankan juga oleh Menkeu bahwa pihaknya di Kemenkeu (Kementerian Keuangan) akan terus mendorong engagement. "Juga mendengar agar policy memampukan anda untuk mewujudkan renewable lebih besar," tambah Sri.
Sri Mulyani turut menyinggung soal rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara.
"Mereduce PLT batu bara, pensiun dini dari yang tadinya masih beroperasi hingga 2050, pensiunnya di 2030 atau 2040. Dia pensiun bukan berarti mati, dia masih hidup, ini hitung-hitungannya bagi yang pensiun dini seperti apa? ini yang dibutuhkan. Baik power generator di PLN book, atau IPP," tambah Sri.
Dia mengatakan, jika berbasis batu bara ini dipensiunkan dan suplai energi turun, ditambah permintaan naik, maka harus digantikan dengan EBT. Terlebih, Indonesia memiliki banyak potensi EBT.
Sri menjelaskan bahwa bumi, menurut Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC yang laporannya keluar bulan Maret lalu, telah mengalami kenaikan temperatur 1,1 derajat celcius sejak revolusi industri.
Ini artinya hanya sedikit lagi mencapai 1,5 derajat centigrade atau celcius yang merupakan ambang batas bagi yang disebut kenaikan suhu yang menimbulkan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia dan sustainabilitas bumi ini.
Menurut Global Risk Report 2023, yang diterbitkan oleh World Economic Forum, dalam 10 tahun yang akan datang, 6 dari 10 risiko terbesar yang akan dihadapi oleh masyarakat dan negara, semuanya 60% adalah terkait dengan perubahan iklim.
"Tentu ini makin menyadarkan kepada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya sebuah latihan akademik, bukan hanya sebuah topik yang menarik untuk didiskusikan di berbagai forum. Terutama di forum global, tetapi itu sudah menjadi risiko terbesar bagi kemanusiaan dan semua negara," tegas Sri.
Disayangkan, bagi negara berpendapatan rendah dan berkembang, implikasi dari perubahan iklim ini akan menjadi sangat signifikan dan merusak.
"Jadi kalau kita berharap dan menginginkan dunia maju bersama, terutama bagi negara-negara berkembang dan negara-negara miskin untuk bisa meneruskan upaya membangun di dalam mencapai kemakmuran. Akan menghadapi imbas kerusakan perubahan iklim yang akan menimbulkan setback atau kemunduran dan halangan terhadap proses pembangunannya," tandas Sri.
"Ini memalukan, pak Hilmi Panigoro, tidak sampai 1%. Pak Dirjen deh, DPR nanti tolong dorong-dorong terus ke Menteri ESDM. Kita punya banyak banget potensi, mau air, geothermal dan lainnya," ungkap Sri Mulyani dalam Indonesia EBTKE ConEx ke-11 secara virtual di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Ditekankan juga oleh Menkeu bahwa pihaknya di Kemenkeu (Kementerian Keuangan) akan terus mendorong engagement. "Juga mendengar agar policy memampukan anda untuk mewujudkan renewable lebih besar," tambah Sri.
Sri Mulyani turut menyinggung soal rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara.
"Mereduce PLT batu bara, pensiun dini dari yang tadinya masih beroperasi hingga 2050, pensiunnya di 2030 atau 2040. Dia pensiun bukan berarti mati, dia masih hidup, ini hitung-hitungannya bagi yang pensiun dini seperti apa? ini yang dibutuhkan. Baik power generator di PLN book, atau IPP," tambah Sri.
Dia mengatakan, jika berbasis batu bara ini dipensiunkan dan suplai energi turun, ditambah permintaan naik, maka harus digantikan dengan EBT. Terlebih, Indonesia memiliki banyak potensi EBT.
Sri menjelaskan bahwa bumi, menurut Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC yang laporannya keluar bulan Maret lalu, telah mengalami kenaikan temperatur 1,1 derajat celcius sejak revolusi industri.
Ini artinya hanya sedikit lagi mencapai 1,5 derajat centigrade atau celcius yang merupakan ambang batas bagi yang disebut kenaikan suhu yang menimbulkan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia dan sustainabilitas bumi ini.
Menurut Global Risk Report 2023, yang diterbitkan oleh World Economic Forum, dalam 10 tahun yang akan datang, 6 dari 10 risiko terbesar yang akan dihadapi oleh masyarakat dan negara, semuanya 60% adalah terkait dengan perubahan iklim.
"Tentu ini makin menyadarkan kepada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya sebuah latihan akademik, bukan hanya sebuah topik yang menarik untuk didiskusikan di berbagai forum. Terutama di forum global, tetapi itu sudah menjadi risiko terbesar bagi kemanusiaan dan semua negara," tegas Sri.
Disayangkan, bagi negara berpendapatan rendah dan berkembang, implikasi dari perubahan iklim ini akan menjadi sangat signifikan dan merusak.
"Jadi kalau kita berharap dan menginginkan dunia maju bersama, terutama bagi negara-negara berkembang dan negara-negara miskin untuk bisa meneruskan upaya membangun di dalam mencapai kemakmuran. Akan menghadapi imbas kerusakan perubahan iklim yang akan menimbulkan setback atau kemunduran dan halangan terhadap proses pembangunannya," tandas Sri.
(akr)