Terkuak! Ini Alasan Sesungguhnya Eropa Jegal Produk Sawit Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Insitute (PASPI) Bungaran Saragih mengatakan, minyak kelapa sawit Indonesia telah berhasil memenangi persaingan dagang di antara minyak nabati lainnya. Dari sisi harga, minyak nabati dari sawit punya harga lebih murah dibandingkan dengan produk minyak nabati lain.
Daya saing harga itu yang menjadi faktor terkuat minyak sawit Indonesia cukup menguasi ceruk pasar minyak nabati dunia.
"Harga minyak sawit jauh lebih kompetitif dibandingkan minyak nabati lain telah menggeseer persaingan minyak nabati dunia," ujar Bungaran saat peluncururan buku Mitos Vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia, Senin (14/8/2034).
Bahkan menurutnya saat ini perdagangan minyak nabati di dunia bukan lagi berkompetisi dari sisi harga, namun sudah ke arah isu keberlanjutan, terutama dampak dari proses produksi minyak nabati terhadap lingkungan.
"Persaingan minyak nabati dunia telah bergeser, dari price competition jadi non price competition. Kenapa? Karena mereka ga bisa bersaing dalam price competition, maka dipake non price competition," sambung Bungaran.
Bungaran melanjutkan, adanya kebijakan EUDR (EU Deforestation Regulation) yang saat ini akan diterapkan oleh Uni Eropa merupakan salah satu instrumen yang dipakai dalam persaingan non price competition. Sebab kebijakan tersebut akan memperketat minyak sawit untuk masuk ke pasar Uni Eropa.
"Salah satu isu yang digunakan non price competition melawan sawit adalah isu keberlanjutan. Baik dari sisi keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan," lanjutnya.
Dari sisi keberlanjutan, Bungaran menilai sawit Indonesia pun sudah tergolong berkelanjutan sebab sudah memiliki standar yang ditetapkan pemerintah lewat sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Tapi negara seperti Uni Eropa pun saat ini punya standar tersendiri soal konsep keberlanjutan.
"Masalahnya, keberlanjutan yang dituntut adalah keberlanjutan yang absolut (absolute sustainability) yang hanya ada di dunia teoritis dan tidak akan pernah ada di dunia nyata. Dalam konsep sustainability absolut, pilihannya ada dua, hitam atau putih, yakni sustainable atau unsustainable," kata Bungaran.
"Menurut pendapat saya, konsep keberlanjutan yang realistis juga diadopsi oleh SDGS yaitu keberlanjutan yang relatif (relative sustainability). Semuanya relatif, ga tau level sustainability di mana, tapi itu adalah perjalanan menjadi lebih baik dari kemarin," lanjutnya.
Pada kesempatan tersebut, Bungaran juga menyebutkan bahwa industri kelapa sawit ini cukup berkontribusi terhadap devisa negara. Bahkan pada tahun 2022 lalu, kontribusinya terhadap devisa negara tembus USD50 miliar atau setara dengan Rp765,33 triliun.
"Tahun 2022, industri sawit sumbangkan devisa dari ekspor produk sawit sekitar USD39 miliar. Menghemat devisa dari mandatory biodiesel sekitar USD10,3 miliar. Sehingga secara keseluruhan industri sawit menyumbang devisa hampir mencapai USD50 miliar. Belum ada komoditas seperti itu kontribusinya," pungkasnya.
Daya saing harga itu yang menjadi faktor terkuat minyak sawit Indonesia cukup menguasi ceruk pasar minyak nabati dunia.
"Harga minyak sawit jauh lebih kompetitif dibandingkan minyak nabati lain telah menggeseer persaingan minyak nabati dunia," ujar Bungaran saat peluncururan buku Mitos Vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia, Senin (14/8/2034).
Bahkan menurutnya saat ini perdagangan minyak nabati di dunia bukan lagi berkompetisi dari sisi harga, namun sudah ke arah isu keberlanjutan, terutama dampak dari proses produksi minyak nabati terhadap lingkungan.
"Persaingan minyak nabati dunia telah bergeser, dari price competition jadi non price competition. Kenapa? Karena mereka ga bisa bersaing dalam price competition, maka dipake non price competition," sambung Bungaran.
Bungaran melanjutkan, adanya kebijakan EUDR (EU Deforestation Regulation) yang saat ini akan diterapkan oleh Uni Eropa merupakan salah satu instrumen yang dipakai dalam persaingan non price competition. Sebab kebijakan tersebut akan memperketat minyak sawit untuk masuk ke pasar Uni Eropa.
"Salah satu isu yang digunakan non price competition melawan sawit adalah isu keberlanjutan. Baik dari sisi keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan," lanjutnya.
Dari sisi keberlanjutan, Bungaran menilai sawit Indonesia pun sudah tergolong berkelanjutan sebab sudah memiliki standar yang ditetapkan pemerintah lewat sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Tapi negara seperti Uni Eropa pun saat ini punya standar tersendiri soal konsep keberlanjutan.
"Masalahnya, keberlanjutan yang dituntut adalah keberlanjutan yang absolut (absolute sustainability) yang hanya ada di dunia teoritis dan tidak akan pernah ada di dunia nyata. Dalam konsep sustainability absolut, pilihannya ada dua, hitam atau putih, yakni sustainable atau unsustainable," kata Bungaran.
"Menurut pendapat saya, konsep keberlanjutan yang realistis juga diadopsi oleh SDGS yaitu keberlanjutan yang relatif (relative sustainability). Semuanya relatif, ga tau level sustainability di mana, tapi itu adalah perjalanan menjadi lebih baik dari kemarin," lanjutnya.
Pada kesempatan tersebut, Bungaran juga menyebutkan bahwa industri kelapa sawit ini cukup berkontribusi terhadap devisa negara. Bahkan pada tahun 2022 lalu, kontribusinya terhadap devisa negara tembus USD50 miliar atau setara dengan Rp765,33 triliun.
"Tahun 2022, industri sawit sumbangkan devisa dari ekspor produk sawit sekitar USD39 miliar. Menghemat devisa dari mandatory biodiesel sekitar USD10,3 miliar. Sehingga secara keseluruhan industri sawit menyumbang devisa hampir mencapai USD50 miliar. Belum ada komoditas seperti itu kontribusinya," pungkasnya.
(uka)