Tak Bisa Ekspor, Freeport Belum Tempuh Jalur Arbitrase
A
A
A
JAKARTA - PT Freeport Indonesia mengaku hingga saat ini belum memutuskan untuk menempuh jalur arbitrase internasional terhadap pemerintah Indonesia, terkait larangan ekspor konsentrat seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017.
(Baca Juga: Freeport Tolak IUPK yang Diterbitkan Pemerintah)
Dalam beleid tersebut, jika ingin memperoleh izin mengekspor konsentrat, Freeport dan perusahaan tambang lainnya yang berstatus kontrak karya (KK) harus berubah terlebih dahulu menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Juru Bicara Freeport Riza Pratama menegaskan, saat ini pihaknya belum mau menempuh jalur arbitrase dengan menggugat pemerintah di pengadilan internasional. Freeport masih akan terus berunding dengan pemerintah terkait hal tersebut.
"Kami terus berunding. Kami terus berunding dengan pemerintah untuk mencapai kesepakatan," katanya kepada SINDOnews di Jakarta, Selasa (14/2/2017).
(Baca Juga: Sri Mulyani Tak Terpengaruh Apapun Alasan Freeport)
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah sejatinya telah menyetujui perubahan status Freeport menjadi IUPK, namun raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) ini belum sepakat.
Riza mengungkapkan, Freeport akan mengubah KK menjadi IUPK asalkan persyaratan yang diajukannya disetujui pemerintah. Freeport memberikan syarat agar tingkat kepastian fiskal dan hukum serta stabilitas investasi yang sama dengan KK.
Perusahaan tambang kelas kakap ini ingin agar aturan pajak dan royalti di IUPK bersifat naildown seperti yang ada di KK, yakni besaran pajak dan royalti yang dibayarkan Freeport bersifat tetap dan tidak ada perubahan hingga masa kontrak berakhir.
Sementara dalam PP No 1/2017, aturan pajak dan royalti bersifat prevailing atau mengikuti aturan pajak yang berlaku, sehingga pajak yang dibayarkan Freeport berubah-ubah sesuai aturan pajak yang berlaku saat itu.
"Seperti yang disampaikan sebelumnya, Freeport akan mengubah KK menjadi IUPK dengan syarat IUPK disertai dengan suatu perjanjian stabilitas investasi dengan tingkat kepastian fiskal dan hukum yang sama dengan KK," ujar Riza.
(Baca Juga: Freeport Tolak IUPK yang Diterbitkan Pemerintah)
Dalam beleid tersebut, jika ingin memperoleh izin mengekspor konsentrat, Freeport dan perusahaan tambang lainnya yang berstatus kontrak karya (KK) harus berubah terlebih dahulu menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Juru Bicara Freeport Riza Pratama menegaskan, saat ini pihaknya belum mau menempuh jalur arbitrase dengan menggugat pemerintah di pengadilan internasional. Freeport masih akan terus berunding dengan pemerintah terkait hal tersebut.
"Kami terus berunding. Kami terus berunding dengan pemerintah untuk mencapai kesepakatan," katanya kepada SINDOnews di Jakarta, Selasa (14/2/2017).
(Baca Juga: Sri Mulyani Tak Terpengaruh Apapun Alasan Freeport)
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah sejatinya telah menyetujui perubahan status Freeport menjadi IUPK, namun raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) ini belum sepakat.
Riza mengungkapkan, Freeport akan mengubah KK menjadi IUPK asalkan persyaratan yang diajukannya disetujui pemerintah. Freeport memberikan syarat agar tingkat kepastian fiskal dan hukum serta stabilitas investasi yang sama dengan KK.
Perusahaan tambang kelas kakap ini ingin agar aturan pajak dan royalti di IUPK bersifat naildown seperti yang ada di KK, yakni besaran pajak dan royalti yang dibayarkan Freeport bersifat tetap dan tidak ada perubahan hingga masa kontrak berakhir.
Sementara dalam PP No 1/2017, aturan pajak dan royalti bersifat prevailing atau mengikuti aturan pajak yang berlaku, sehingga pajak yang dibayarkan Freeport berubah-ubah sesuai aturan pajak yang berlaku saat itu.
"Seperti yang disampaikan sebelumnya, Freeport akan mengubah KK menjadi IUPK dengan syarat IUPK disertai dengan suatu perjanjian stabilitas investasi dengan tingkat kepastian fiskal dan hukum yang sama dengan KK," ujar Riza.
(izz)