Ekonomi China Digebuk Praktik Shadow Banking yang Nilainya Rp45.000 Triliun, Begini Penjelasannya!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonomi China terancam krisis gara-gara permasalahan sektor porperti di negara itu. Sektor properti di China terlibat dalam praktik shadow banking yang nilanya mencapai USD3 triliun, sebesar ekonomi Inggris.
Banyak pengembang properti yang terlibat praktik shadow banking kesulitan untuk membayar utangnya. Bahkan, menimpa pengembang properti tepercaya sekalipun, seperti Zhongrong International Trust Co.
Di Indonesia praktik shadow banking biasanya disematkan pada peminjaman uang di rentenir. Bisa juga, yang lebih modern kepada pinjaman online alias pinjol bodong yang tak terdaftar dan berizin di OJK.
Di China, praktik shadow banking-nya lebih canggih dan kompleks lagi. Pertanyaannya, mengapa praktik shadow banking pada sektor properti di China begitu menjamur?
Rudiyanto, Direktur Panin Asset Management, dalam akun Twitternya menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan maraknya shadow banking di China.
Shadow banking adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan keuangan di luar sistem perbankan tradisional yang tidak diatur atau diawasi secara ketat oleh otoritas keuangan. Termasuk kegiatan di pasar modal karena diawasi otoritas.
"Bukan produk bank, bukan produk pasar modal, tapi didistribusikan seolah2 seperti produk bank dan pasar modal. Dana kelolaan di shadow banking China diperkirakan USD3 triliun atau Rp45.000 triliun," tulis Rudiyanto, dikutip Sabtu (19/8/2023).
Menurut Rudiyanto, shadow banking di China sebenarnya simalakama dari pertumbuhan ekonominya tinggi dan kondisi sosial yang stabil selama puluhan tahun. Proyek properti yang nilainya besar, padat karya, dan kalau harganya naik, bagi pemilik rumah menjadi investasi menguntungkan.
"Namun regulator China mulai membatasi bank dalam memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah. Alasan regulator sebenarnya baik, waktu itu booming properti sudah berlebihan dan harga rumah semakin tidak terjangkau," tambah Rudiyanto.
Di satu sisi, kebutuhan properti begitu besar dan pemerintah daerah di China punya target yang harus dicapai. Muncullah, LGFV (Local Government Funding Vehicles) atau UDICs (Urban Development and Investment Companies), “vehicle” khusus yang dikendalikan atau dikuasai pemerintah daerah
"LGFV ini seperti Efek Beragun Aset kalau di Indonesia, ada yang jalan tol, kereta api, proyek perumahan, atau proyek tertentu. Jumlahnya mencapai ribuan dan secara pembukuan berdiri sendiri tetapi dianggap aman karena milik pemerintah daerah dan menguntungkan karena bunga di atas deposito
"Skema seperti di atas sekilas mirip seperti menerbitkan surat utang atau disebut obligasi, mengapa disebut Shadow Banking?" kata Rudiyanto.
Instrumen LGFV ini selanjutnya dibeli oleh dana perwalian (trust fund) dan “dibungkus” ulang dalam berbagai bentuk supaya tidak muncul dalam laporan bank. Misalnya dalam bentuk pinjaman antarbank, pinjaman ke industri keuangan non-bank, tagihan akseptasi perbankan, reverse repo dan sebagainya.
Jadi di atas kertas, bank sewaktu membeli seperti menempatkan deposito di Trust Fund, bukan memberikan kredit ke properti yang ada batasannya. Cara lain, membungkus ulang surat pinjaman tersebut ke dalam nominal yang lebih kecil dan dijual ke asuransi, reksa dana, retail dan High Net Work dikenal dengan Wealth Management Product (WMP).
"Produk wealth, ketika dibeli nasabah, tidak dicatat dalam buku bank--off balance sheet. Dengan bank menjadi 'agen penjual' surat utang LGFV dan sejenisnya, sebetulnya bank memberikan kredit kepada mereka tapi pakai uang nasabah, makanya disebut shadow banking," jelas Rudiyanto.
LGFV ini kemudian muncul versi swastanya juga, karena developer partikelir juga berekspansi besar-besaran. Dari mana pemda-pemda di China punya dana untuk membayar?
"Ini masalahnya, tidak semua proyek pemerintah itu menguntungkan, kadang ada yang politis, over budget, mercusuar, atau tidak dibutuhkan sehingga pemda jual tanah dengan harga tinggi dan naikkan pajak properti yg membuat harganya makin mahal," katanya.
Mengapa sekarang shadow banking bermasala? Lock down yang terlalu lama, perlambatan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, perang dagang, menyebabkan daya beli menurun dan harga properti turun 10-20an%. Kemudian perusahaan properti terbesar di sana sudah bermasalah selama bertahun-tahun.
"Shadow banking di satu sisi membantu mempercepat pembangunan, tapi di sisi lain menyulitkan pengawasan. Untuk sektor properti, hal ini kurang sehat karena bisa memicu bubble harga properti yang berlebihan karena tidak diawasi, juga rentan jadi investasi bodong," tandas Rudiyanto.
Banyak pengembang properti yang terlibat praktik shadow banking kesulitan untuk membayar utangnya. Bahkan, menimpa pengembang properti tepercaya sekalipun, seperti Zhongrong International Trust Co.
Di Indonesia praktik shadow banking biasanya disematkan pada peminjaman uang di rentenir. Bisa juga, yang lebih modern kepada pinjaman online alias pinjol bodong yang tak terdaftar dan berizin di OJK.
Di China, praktik shadow banking-nya lebih canggih dan kompleks lagi. Pertanyaannya, mengapa praktik shadow banking pada sektor properti di China begitu menjamur?
Rudiyanto, Direktur Panin Asset Management, dalam akun Twitternya menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan maraknya shadow banking di China.
Shadow banking adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan keuangan di luar sistem perbankan tradisional yang tidak diatur atau diawasi secara ketat oleh otoritas keuangan. Termasuk kegiatan di pasar modal karena diawasi otoritas.
"Bukan produk bank, bukan produk pasar modal, tapi didistribusikan seolah2 seperti produk bank dan pasar modal. Dana kelolaan di shadow banking China diperkirakan USD3 triliun atau Rp45.000 triliun," tulis Rudiyanto, dikutip Sabtu (19/8/2023).
Menurut Rudiyanto, shadow banking di China sebenarnya simalakama dari pertumbuhan ekonominya tinggi dan kondisi sosial yang stabil selama puluhan tahun. Proyek properti yang nilainya besar, padat karya, dan kalau harganya naik, bagi pemilik rumah menjadi investasi menguntungkan.
"Namun regulator China mulai membatasi bank dalam memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah. Alasan regulator sebenarnya baik, waktu itu booming properti sudah berlebihan dan harga rumah semakin tidak terjangkau," tambah Rudiyanto.
Di satu sisi, kebutuhan properti begitu besar dan pemerintah daerah di China punya target yang harus dicapai. Muncullah, LGFV (Local Government Funding Vehicles) atau UDICs (Urban Development and Investment Companies), “vehicle” khusus yang dikendalikan atau dikuasai pemerintah daerah
"LGFV ini seperti Efek Beragun Aset kalau di Indonesia, ada yang jalan tol, kereta api, proyek perumahan, atau proyek tertentu. Jumlahnya mencapai ribuan dan secara pembukuan berdiri sendiri tetapi dianggap aman karena milik pemerintah daerah dan menguntungkan karena bunga di atas deposito
"Skema seperti di atas sekilas mirip seperti menerbitkan surat utang atau disebut obligasi, mengapa disebut Shadow Banking?" kata Rudiyanto.
Instrumen LGFV ini selanjutnya dibeli oleh dana perwalian (trust fund) dan “dibungkus” ulang dalam berbagai bentuk supaya tidak muncul dalam laporan bank. Misalnya dalam bentuk pinjaman antarbank, pinjaman ke industri keuangan non-bank, tagihan akseptasi perbankan, reverse repo dan sebagainya.
Jadi di atas kertas, bank sewaktu membeli seperti menempatkan deposito di Trust Fund, bukan memberikan kredit ke properti yang ada batasannya. Cara lain, membungkus ulang surat pinjaman tersebut ke dalam nominal yang lebih kecil dan dijual ke asuransi, reksa dana, retail dan High Net Work dikenal dengan Wealth Management Product (WMP).
"Produk wealth, ketika dibeli nasabah, tidak dicatat dalam buku bank--off balance sheet. Dengan bank menjadi 'agen penjual' surat utang LGFV dan sejenisnya, sebetulnya bank memberikan kredit kepada mereka tapi pakai uang nasabah, makanya disebut shadow banking," jelas Rudiyanto.
LGFV ini kemudian muncul versi swastanya juga, karena developer partikelir juga berekspansi besar-besaran. Dari mana pemda-pemda di China punya dana untuk membayar?
"Ini masalahnya, tidak semua proyek pemerintah itu menguntungkan, kadang ada yang politis, over budget, mercusuar, atau tidak dibutuhkan sehingga pemda jual tanah dengan harga tinggi dan naikkan pajak properti yg membuat harganya makin mahal," katanya.
Mengapa sekarang shadow banking bermasala? Lock down yang terlalu lama, perlambatan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, perang dagang, menyebabkan daya beli menurun dan harga properti turun 10-20an%. Kemudian perusahaan properti terbesar di sana sudah bermasalah selama bertahun-tahun.
"Shadow banking di satu sisi membantu mempercepat pembangunan, tapi di sisi lain menyulitkan pengawasan. Untuk sektor properti, hal ini kurang sehat karena bisa memicu bubble harga properti yang berlebihan karena tidak diawasi, juga rentan jadi investasi bodong," tandas Rudiyanto.
(uka)