Atasi Blacklog, Ikaderi Berharap Pemerintah Susun Database Perumahan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejak 2008 Pemerintah menetapkan 25 Agustus sebagai Hari Perumahan Nasional (Hapernas). Peringatan
ini sangat penting karena diperlukan pemahaman, perhatian, dan langkah-langkah konstruktif untuk mengatasi tantangan perumahan di Tanah Air.
Dalam perayaan Hapernas 2023, Ditjen Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ( PUPR ) menyatakan kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan rumah (backlog) mencapai 12,7 juta. Angka ini tiap tahun akan bertambah karena selalu ada kenaikan sebesar 700.000.
Sekretaris Umum Ikatan Dewan Pengembang Rumah Berdikari (Ikaderi) Yusuf Supriadi mengomentari terkait angka backlog ini. Menurutnya, problem ini adalah tugas bersama para stakeholder di industri perumahan.
”Sayangnya hingga kini belum ada database dari backlog secara detail dan rinci tiap provinsi, kabupaten, kota sampai ke tingkat kecamatan dan desa/kelurahan terkait penyebarannya ada di mana saja kebutuhan rumah,” katanya dalam siaran pers, Sabtu (26/8/2023).
Menurut Yusuf, dengan adanya detail data backlog akan memudahkan pemetaan dan mengatur pemintaan serta penawaran. Jangan sampai data yang tidak valid membuat program rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak tepat sasaran.
Yusuf mengatakan, dari dahulu backlog selalu di sampaikan di angka 12-15 juta. “Kami selaku pengembang berharap dan sangat ingin tahu secara detail dan rinci. Sehingga ketika kita membangun tidak salah langkah karena ternyata kebutuhannya terbatas, bahkan bisa saja tak ada,” jelasnya.
Selain itu, jika kebutuhannya ada maka pasar yang dituju siapa. Apakah untuk rumah subsidi atau untuk rumah komersial dengan harga berapa. ”Misalkan di Cikarang kebutuhan rumah harga Rp200 jutaan sangat besar karena adanya captive market sebagai kawasan industri,” tegasnya.
Sayangnya, database ini tak pernah ada dan diberikan pemerintah kepada pengembang yang membangun perumahan (subsidi dan non subsidi). Pengembang seperti memasuki hutan rimba dalam menjalankan bisnisnya, bahkan saling berkompetisi.
Yusuf berharap, ada sinergi yang baik antara organisasi, pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga ke tingkat paling bawah dengan melakukan survei kepemilikan serta kebutuhan rumah. Sehingga bisa terdata angka sebenarnya kebutuhan unit rumah di tiap kota, kabupaten bahkan hingga kelurahan.
Atau bisa saja untuk langkah awal pemerintah pusat dan daerah melalui BP Tapera mendata jumlah kebutuhan rumah untuk ASN, TNI, Polri, karyawan BUMN dan BUMD hingga swasta sehingga semua akan terekap jadi data riil. ”Dari sini BP Tapera bisa memberikan informasi, kebutuhan rumah tiap kota dengan segmen pasar pegawai negeri, swasta, wirausaha, dan profesi lain,” tandasnya.
Dengan data yang detail dan valid, pengembang akan mudah serta bisa memetakan kebutuhan rumah beserta segmen pasarnya. Menurut Yusuf, diperlukan sinergi dalam menuntaskan masalah backlog ini. ”Apalagi rumah untuk MBR yang sepertinya masih banyak tapi saat ini sudah mulai sulit mendapatkan konsumen karena terganggu adanya BI checking,” tuturnya.
ini sangat penting karena diperlukan pemahaman, perhatian, dan langkah-langkah konstruktif untuk mengatasi tantangan perumahan di Tanah Air.
Dalam perayaan Hapernas 2023, Ditjen Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ( PUPR ) menyatakan kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan rumah (backlog) mencapai 12,7 juta. Angka ini tiap tahun akan bertambah karena selalu ada kenaikan sebesar 700.000.
Sekretaris Umum Ikatan Dewan Pengembang Rumah Berdikari (Ikaderi) Yusuf Supriadi mengomentari terkait angka backlog ini. Menurutnya, problem ini adalah tugas bersama para stakeholder di industri perumahan.
”Sayangnya hingga kini belum ada database dari backlog secara detail dan rinci tiap provinsi, kabupaten, kota sampai ke tingkat kecamatan dan desa/kelurahan terkait penyebarannya ada di mana saja kebutuhan rumah,” katanya dalam siaran pers, Sabtu (26/8/2023).
Menurut Yusuf, dengan adanya detail data backlog akan memudahkan pemetaan dan mengatur pemintaan serta penawaran. Jangan sampai data yang tidak valid membuat program rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak tepat sasaran.
Yusuf mengatakan, dari dahulu backlog selalu di sampaikan di angka 12-15 juta. “Kami selaku pengembang berharap dan sangat ingin tahu secara detail dan rinci. Sehingga ketika kita membangun tidak salah langkah karena ternyata kebutuhannya terbatas, bahkan bisa saja tak ada,” jelasnya.
Selain itu, jika kebutuhannya ada maka pasar yang dituju siapa. Apakah untuk rumah subsidi atau untuk rumah komersial dengan harga berapa. ”Misalkan di Cikarang kebutuhan rumah harga Rp200 jutaan sangat besar karena adanya captive market sebagai kawasan industri,” tegasnya.
Sayangnya, database ini tak pernah ada dan diberikan pemerintah kepada pengembang yang membangun perumahan (subsidi dan non subsidi). Pengembang seperti memasuki hutan rimba dalam menjalankan bisnisnya, bahkan saling berkompetisi.
Yusuf berharap, ada sinergi yang baik antara organisasi, pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga ke tingkat paling bawah dengan melakukan survei kepemilikan serta kebutuhan rumah. Sehingga bisa terdata angka sebenarnya kebutuhan unit rumah di tiap kota, kabupaten bahkan hingga kelurahan.
Atau bisa saja untuk langkah awal pemerintah pusat dan daerah melalui BP Tapera mendata jumlah kebutuhan rumah untuk ASN, TNI, Polri, karyawan BUMN dan BUMD hingga swasta sehingga semua akan terekap jadi data riil. ”Dari sini BP Tapera bisa memberikan informasi, kebutuhan rumah tiap kota dengan segmen pasar pegawai negeri, swasta, wirausaha, dan profesi lain,” tandasnya.
Dengan data yang detail dan valid, pengembang akan mudah serta bisa memetakan kebutuhan rumah beserta segmen pasarnya. Menurut Yusuf, diperlukan sinergi dalam menuntaskan masalah backlog ini. ”Apalagi rumah untuk MBR yang sepertinya masih banyak tapi saat ini sudah mulai sulit mendapatkan konsumen karena terganggu adanya BI checking,” tuturnya.
(poe)