Gimana BRICS Bisa Dedolarisasi, Eksportir China Saja Pilih Dolar Ketimbang Yuan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tatkala suara-suara dedolarisasi yang dilakukan BRICS kian menggema, para eksportir China malah memilih menggenggam dolar dibanding mata uangnya sendiri. Mengutip Reuters, Jumat (1/9/2023), yang bersumber dari data resmi dan percakapan dengan perusahaan, para eksportir China memilih menggunakan strategi pertukaran mata uang yang rumit untuk menghindari konversi pendapatan dolar mereka menjadi yuan.
Eksportir seperti Ding, seorang pengusaha yang berbasis di Shanghai yang sangat bergantung pada pendapatan dolarnya, enggan menjual dan mengubahnya menjadi yuan, yang baru-baru ini merosot ke posisi terendah dalam sembilan bulan.
“Saya dan teman-teman eksportir telah mendiskusikan apakah kami ingin menggunakan perdagangan pertukaran mata uang asing untuk mendapatkan yuan,” kata Ding, yang berdagang elektronik dan mainan dan lebih memilih menggunakan nama belakangnya.
"Kekhawatiran utamanya adalah harga dolar terus naik."
Yuan telah kehilangan lebih dari 5% terhadap dolar AS sepanjang tahun ini, termasuk penurunan 2% pada bulan ini saja, dan bahkan terseret lebih rendah lagi oleh arus modal asing yang keluar dari perekonomian yang melemah.
Pertukaran ini memungkinkan eksportir untuk menempatkan dolar mereka di bank dan mendapatkan yuan, namun melalui kontrak pada akhirnya akan membalikkan arus dan mengembalikan dolar mereka.
Meski mereka menghapus sumber pasokan dolar yang sangat dibutuhkan ke pasar spot yuan, para analis memperkirakan otoritas moneter China tidak dapat memaksa eksportir untuk mengkonversi dolar.
Perusahaan-perusahaan China menukarkan nilai tertingginya sebesar USD31,5 miliar dengan yuan dengan bank-bank komersial di pasar forward dalam negeri pada bulan Juli saja, dan totalnya mencapai USD157 miliar sepanjang tahun ini, menurut regulator mata uang negara tersebut.
Ding pada awalnya berencana mengkonversi kepemilikan dolarnya ketika yuan melemah melampaui angka 7 per dolar, tingkat yang hanya dilewati mata uang lokal sebanyak tiga kali sejak krisis keuangan global tahun 2008.
Namun Ding berubah pikiran seiring berkembangnya ekspektasi bahwa Federal Reserve (bank sentral AS) akan menaikkan suku bunganya lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama, dan melemahnya yuan yang terus-menerus karena imbal hasil (yield) yang turun seiring China melonggarkan kebijakan moneter untuk mendukung aktivitas ekonomi yang melemah.
“Meningkatnya perbedaan kebijakan moneter adalah alasan utama di balik tren ini,” kata Gary Ng, ekonom senior untuk Asia Pasifik di Natixis.
"Karena kecil kemungkinannya terjadi perubahan mendasar dalam jangka pendek, besarnya perbedaan imbal hasil akan menyeret yuan dan mendorong eksportir untuk bertaruh pada dolar," tandasnya.
Di luar isu ini, perlu dilihat pula nilai transaksi China dengan negara-negara lain yang umum menggunakan dolar. Sebagian besar negara-negara tujuan ekspor China bukan anggota BRICS, justru para sekondan Amerika.
Mengutip Global Index, sepanjang tahun 2022, pasar ekspor China terbesar adalah Amerika senilai USD582 miliar. Selanjutnya Uni Eropa USD562 miliar. Disusul Jepang USD173 miliar, Korea Selatan USD163 miliar dan Belanda USD118 miliar.
Sementara transaksi China dengan anggota BRICS jauh di bawah itu, seperti India USD118 miliar, Rusia USD76 miliar, Brasil USD62 miliar, UAE USD54 miliar, Arab Saudi USD38 miliar, dan Afrika Selatan USD24 miliar.
Berikut daftar lengkapnya:
United States: USD582 miliar
Uni Eropa: USD562 miliar
Hong Kong: USD298 miliar
Jepang: USD173 miliar
Korea Selata: USD163 miliar
Vietnam: USD147 miliar
Belanda: USD118 miliar
India: USDS118 miliar
Jerman: USD116 miliar
Malaysia: USD94 miliar
Taiwan: USD82 miliar
Inggris: USD82 miliar
Singapura: USD81 miliar
Australia: USD79 miliar
Meksiko: USD78 miliar
Rusia: USD76 miliar
Indonesia: USD71 miliar
Brasill: USD62 miliar
UAE: USD54 miliar
Italia: USD51 miliar
Perancis: USD46 miliar
Sepanyol: USD42 miliar
Polandia: USD38 miliar
Saudi Arabia: USD38 miliar
Belgia: USD36 miliar
Turki: USD34 miliar
Afrika Selatan: USD24 miliar
Pakistan: USD23 miliar
Chile: USD23 miliar
Nigeria: USD22 miliar
Eksportir seperti Ding, seorang pengusaha yang berbasis di Shanghai yang sangat bergantung pada pendapatan dolarnya, enggan menjual dan mengubahnya menjadi yuan, yang baru-baru ini merosot ke posisi terendah dalam sembilan bulan.
“Saya dan teman-teman eksportir telah mendiskusikan apakah kami ingin menggunakan perdagangan pertukaran mata uang asing untuk mendapatkan yuan,” kata Ding, yang berdagang elektronik dan mainan dan lebih memilih menggunakan nama belakangnya.
"Kekhawatiran utamanya adalah harga dolar terus naik."
Yuan telah kehilangan lebih dari 5% terhadap dolar AS sepanjang tahun ini, termasuk penurunan 2% pada bulan ini saja, dan bahkan terseret lebih rendah lagi oleh arus modal asing yang keluar dari perekonomian yang melemah.
Pertukaran ini memungkinkan eksportir untuk menempatkan dolar mereka di bank dan mendapatkan yuan, namun melalui kontrak pada akhirnya akan membalikkan arus dan mengembalikan dolar mereka.
Meski mereka menghapus sumber pasokan dolar yang sangat dibutuhkan ke pasar spot yuan, para analis memperkirakan otoritas moneter China tidak dapat memaksa eksportir untuk mengkonversi dolar.
Perusahaan-perusahaan China menukarkan nilai tertingginya sebesar USD31,5 miliar dengan yuan dengan bank-bank komersial di pasar forward dalam negeri pada bulan Juli saja, dan totalnya mencapai USD157 miliar sepanjang tahun ini, menurut regulator mata uang negara tersebut.
Ding pada awalnya berencana mengkonversi kepemilikan dolarnya ketika yuan melemah melampaui angka 7 per dolar, tingkat yang hanya dilewati mata uang lokal sebanyak tiga kali sejak krisis keuangan global tahun 2008.
Namun Ding berubah pikiran seiring berkembangnya ekspektasi bahwa Federal Reserve (bank sentral AS) akan menaikkan suku bunganya lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama, dan melemahnya yuan yang terus-menerus karena imbal hasil (yield) yang turun seiring China melonggarkan kebijakan moneter untuk mendukung aktivitas ekonomi yang melemah.
“Meningkatnya perbedaan kebijakan moneter adalah alasan utama di balik tren ini,” kata Gary Ng, ekonom senior untuk Asia Pasifik di Natixis.
"Karena kecil kemungkinannya terjadi perubahan mendasar dalam jangka pendek, besarnya perbedaan imbal hasil akan menyeret yuan dan mendorong eksportir untuk bertaruh pada dolar," tandasnya.
Di luar isu ini, perlu dilihat pula nilai transaksi China dengan negara-negara lain yang umum menggunakan dolar. Sebagian besar negara-negara tujuan ekspor China bukan anggota BRICS, justru para sekondan Amerika.
Mengutip Global Index, sepanjang tahun 2022, pasar ekspor China terbesar adalah Amerika senilai USD582 miliar. Selanjutnya Uni Eropa USD562 miliar. Disusul Jepang USD173 miliar, Korea Selatan USD163 miliar dan Belanda USD118 miliar.
Sementara transaksi China dengan anggota BRICS jauh di bawah itu, seperti India USD118 miliar, Rusia USD76 miliar, Brasil USD62 miliar, UAE USD54 miliar, Arab Saudi USD38 miliar, dan Afrika Selatan USD24 miliar.
Berikut daftar lengkapnya:
United States: USD582 miliar
Uni Eropa: USD562 miliar
Hong Kong: USD298 miliar
Jepang: USD173 miliar
Korea Selata: USD163 miliar
Vietnam: USD147 miliar
Belanda: USD118 miliar
India: USDS118 miliar
Jerman: USD116 miliar
Malaysia: USD94 miliar
Taiwan: USD82 miliar
Inggris: USD82 miliar
Singapura: USD81 miliar
Australia: USD79 miliar
Meksiko: USD78 miliar
Rusia: USD76 miliar
Indonesia: USD71 miliar
Brasill: USD62 miliar
UAE: USD54 miliar
Italia: USD51 miliar
Perancis: USD46 miliar
Sepanyol: USD42 miliar
Polandia: USD38 miliar
Saudi Arabia: USD38 miliar
Belgia: USD36 miliar
Turki: USD34 miliar
Afrika Selatan: USD24 miliar
Pakistan: USD23 miliar
Chile: USD23 miliar
Nigeria: USD22 miliar
(uka)