Larangan Menjual Rokok Eceran Bisa Ancam Nasib Ratusan Ribu Pedagang Kecil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Larangan menjual rokok secara eceran melalui rencana peraturan pemerintah (RPP) sebagai aturan turunan UU Kesehatan mendapat respons dari berbagai pihak. Larangan itu selain tidak memiliki landasan yang kuat, juga diyakini akan memunculkan persoalan serius bagi negara, termasuk maraknya rokok ilegal .
Ketua Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun Atmo, menilai larangan penjualan rokok eceran tidak rasional dan sulit diterima akal sehat, meski dengan dalih menjauhkan rokok dari anak-anak.
“Karena sebenarnya untuk menjaga anak-anak tidak merokok itu bukan dengan melarang rokok eceran. Tapi, tergantung pada pendidikan di rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar,” kata Ali Mahsun, dalam keterangannya, Jumat (15/9/2023).
Ali, yang juga Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI), menambahkan kebijakan ini menyangkut pula keberlangsungan mata pencaharian para pedagang, khusunya penjual rokok eceran. Menurutnya, ada ratusan ribu pedagang asongan dan pedagang rokok yang terdampak.
“Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Ratusan ribu pedagang asongan dan pedagang rokok itu bisa gulung tikar. Kalau hak mereka diambil, berarti telah melanggar Pasal 27 UUD 1945,” katanya.
Ali menambahkan, larangan penjualan rokok eceran dapat menyuburkan peredaran rokok ilegal dan akan menciptakan persoalan baru bagi pemerintah. Rokok ilegal akan menjadi pilihan masyarakat karena harganya yang murah.
"Harga murah tersebut disebabkan rokok ilegal tidak membayar cukai kepada negara. Padahal, cukai rokok memiliki kontribusi besar bagi pendapatan,” tegasnya.
Terkait penyusunan RPP, Ali mengaku, sebagai salah satu pemangku kepentingan, pihaknya tidak pernah diajak berdiskusi oleh pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk membahas poin-poin dalam aturan tersebut.
Di kesempatan terpisah, Direktur Indonesia Center for Legislative Drafting (ICLD) yang juga Pakar Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Fitriani Ahlan Sjarif, melihat minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan aturan turunan dari UU Kesehatan tersebut. Padahal, para pemangku kepentingan terkait regulasi ini sangat banyak dan melibatkan kepentingan publik yang luas.
“Setidaknya dibuka saja ruang itu secara partisipatif sehingga bisa terpenuhi partisipasi publiknya,” sarannya.
Dalam membuat sebuah aturan, jika partisipasi publiknya belum cukup, Fitri menilai bahwa efektivitas pembuatan aturan tersebut akan kurang memadai.
“Harus dipertimbangkan efektivitas pembuatannya sehingga diharapkan tidak menimbulkan kontroversi ketika diberlakukan dan tidak diragukan penerimaannya oleh publik,” pungkasnya.
Lihat Juga: 10 Juta Batang Rokok Ilegal di Demak Dimusnahkan, Potensi Kerugian Negara Hampir Rp9,7 Miliar Diselamatkan
Ketua Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun Atmo, menilai larangan penjualan rokok eceran tidak rasional dan sulit diterima akal sehat, meski dengan dalih menjauhkan rokok dari anak-anak.
“Karena sebenarnya untuk menjaga anak-anak tidak merokok itu bukan dengan melarang rokok eceran. Tapi, tergantung pada pendidikan di rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar,” kata Ali Mahsun, dalam keterangannya, Jumat (15/9/2023).
Ali, yang juga Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI), menambahkan kebijakan ini menyangkut pula keberlangsungan mata pencaharian para pedagang, khusunya penjual rokok eceran. Menurutnya, ada ratusan ribu pedagang asongan dan pedagang rokok yang terdampak.
“Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Ratusan ribu pedagang asongan dan pedagang rokok itu bisa gulung tikar. Kalau hak mereka diambil, berarti telah melanggar Pasal 27 UUD 1945,” katanya.
Ali menambahkan, larangan penjualan rokok eceran dapat menyuburkan peredaran rokok ilegal dan akan menciptakan persoalan baru bagi pemerintah. Rokok ilegal akan menjadi pilihan masyarakat karena harganya yang murah.
"Harga murah tersebut disebabkan rokok ilegal tidak membayar cukai kepada negara. Padahal, cukai rokok memiliki kontribusi besar bagi pendapatan,” tegasnya.
Terkait penyusunan RPP, Ali mengaku, sebagai salah satu pemangku kepentingan, pihaknya tidak pernah diajak berdiskusi oleh pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk membahas poin-poin dalam aturan tersebut.
Di kesempatan terpisah, Direktur Indonesia Center for Legislative Drafting (ICLD) yang juga Pakar Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Fitriani Ahlan Sjarif, melihat minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan aturan turunan dari UU Kesehatan tersebut. Padahal, para pemangku kepentingan terkait regulasi ini sangat banyak dan melibatkan kepentingan publik yang luas.
“Setidaknya dibuka saja ruang itu secara partisipatif sehingga bisa terpenuhi partisipasi publiknya,” sarannya.
Dalam membuat sebuah aturan, jika partisipasi publiknya belum cukup, Fitri menilai bahwa efektivitas pembuatan aturan tersebut akan kurang memadai.
“Harus dipertimbangkan efektivitas pembuatannya sehingga diharapkan tidak menimbulkan kontroversi ketika diberlakukan dan tidak diragukan penerimaannya oleh publik,” pungkasnya.
Lihat Juga: 10 Juta Batang Rokok Ilegal di Demak Dimusnahkan, Potensi Kerugian Negara Hampir Rp9,7 Miliar Diselamatkan
(uka)