Kehidupan Miliarder Rusia Setelah 18 Bulan Perang Ukraina, Masih Tetap Kaya!

Minggu, 24 September 2023 - 06:31 WIB
loading...
Kehidupan Miliarder Rusia Setelah 18 Bulan Perang Ukraina, Masih Tetap Kaya!
18 bulan setelah Putin menginvasi Ukraina, oligarki hingga miliarder Rusia yang terkena sanksi diketahui masih tetap kaya dan bahkan kecil kemungkinannya bagi mereka untuk balik melawan. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - 18 bulan setelah Putin menginvasi Ukraina , oligarki Rusia yang terkena sanksi diketahui masih tetap kaya dan bahkan kecil kemungkinannya bagi mereka untuk balik melawan. Saat ini miliarder Andrey Melnichenko bisa saja bersantai di kapal pesiarnya senilai USD300 juta di pelabuhan Dubai.



Mengatakan kepada Financial Times, Ia hanya mengamati adat istiadat setempat. Namun, meskipun melabeli dirinya sebagai miliarder yang dipaksa duduk di pelabuhan Uni Emirat Arab, tampaknya taipan pupuk itu memiliki banyak keuntungan.



Dalam 18 bulan sejak Rusia menginvasi Ukraina, kehidupan oligarki Rusia seperti Melnichenko mengalami perubahan besar di tengah gempuran sanksi Barat. Tetapi ketika konflik berlarut-larut, sepertinya pembatasan ini tidak berhasil membuat para miliarder Rusia jauh lebih sengsara atau yang terpenting menjadi kurang simpatik kepada Putin.

Tentara Setia Putin

Melnichenko, pria yang dinobatkan Forbes sebagai orang terkaya Rusia pada bulan April, lalu saat ini sebagian besar telah tinggal di Dubai sejak ia terkena sanksi pada Maret 2022 usai menghadiri jamuan meja bundar yang diadakan oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Dia adalah salah satu dari kelompok terpilih yang telah diasingkan dari negara-negara Barat yang sudah menjadi rumah kedua bagi orang terkaya Rusia. Sanksi dijatuhkan kepada miliarder Rusia yang mayoritas merupakan serangkaian pembatasan ekonomi yang lebih luas dengan harapan beberapa orang di antaranya akan menginspirasi pemberontakan di dalam negeri.

Seperti diketahui dereta orang terkaya Rusia memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang tidak biasa di Rusia. Sebagian besar menjadi terkenal setelah membeli aset di industri termasuk gas alam, minyak, pupuk, dan baja dengan harga murah ketika diprivatisasi dalam reformasi "perestroika" pada akhir 1980-an ketika komunisme runtuh di Uni Soviet.

Model "kleptokrasi" ini memberi para pemimpin Barat harapan bahwa mereka dapat berkonspirasi untuk menghentikan perang Putin dengan menyakiti segelintir miliarder. Tetapi terlepas dari beberapa pengecualian, belum ada tanda-tanda "kudeta istana" terhadap Putin – karena beberapa alasan.

Oligarki Rusia harus berterima kasih kepada Putin atas keberhasilan mereka. Presiden otokratis menekan oligarki sebagai bagian dari upaya anti-korupsi setelah berkuasa pada tahun 2000. Sementara beberapa di antaranya digulingkan, dan bagi mereka yang mendukung Putin melihat kekayaan dan pengaruh mereka meningkat.

Hal itu memunculkan loyalitas setia di antara oligarki yang tersisa. Uni Eropa mengatakan, miliarder seperti Roman Abramovich menikmati akses istimewa ke Putin. Alisher Usmanov, seorang investor logam dan pertambangan terkemuka, disebut memiliki "hubungan yang sangat dekat" dengan Kremlin, kata Uni Eropa.

Tetapi saat kesetiaan tetap ada, gagasan tentang kleptokrasi hilang. Oligarki yang pernah memiliki suara tentang bagaimana Putin menjalankan Rusia telah melihat pengaruh itu menguap sejak awal invasi, Ivan Fomin di Pusat Analisis Kebijakan Eropa, mengatakan.

"Jika ada, aset saat ini akan menjadi kewajiban, membuat pemiliknya lebih rentan karena kontrol atas bisnis di Rusia tergantung pada kesetiaan pemiliknya kepada Putin dan khususnya pada dukungan mereka terhadap perang," tulis Fomin pada bulan April.

Pada bulan Februari, para peneliti di Pusat Studi Strategis dan Internasional menulis: "Jika ada gerutuan, ketidakpuasan, atau rencana licik yang dilakukan oleh oligarki yang tidak puas, hal itu dilakukan di balik pintu tertutup dan jauh dari mata publik."

Di sisi lain ketika pengaruh politik mereka yang memudar telah membuat mereka tertatih-tatih, kemakmuran oligarki yang berkelanjutan mungkin menjadi alasan yang lebih kuat untuk tetap diam selama perang.

Oligarki Rusia Tetap Kaya

Forbes melaporkan miliarder Rusia mengalami tekanan, tetapi tidak terlalu banyak. Publikasi tersebut melaporkan bahwa pada bulan April, 39 orang Rusia dalam daftar miliarder dunia telah kehilangan USD45 miliar secara kolektif sejak invasi dimulai. Angka tersebut tidak signifikan, tetapi hanya mewakili penurunan 13% kekayaan bersih mereka.

Rubel yang melemah, eksodus perusahaan asing, jatuhnya harga saham perusahaan publik, dan penyitaan properti mahal, termasuk vila besar dan kapal pesiar mewah, semuanya telah mengikis kekayaan para miliarder Rusia ini.

Namun, Peter Rutland, seorang profesor di Universitas Wesleyan, mengatakan kepada Insider bahwa oligarki telah bersedia mengorbankan kepemilikan mereka di luar negeri untuk mempertahankan posisi mereka di Rusia.

"Anda akan segera kehilangan semua aset Anda di Rusia. Sekutu dan keluarga Anda yang bertanggung jawab bisa ditangkap. Tidak ada ambiguitas pada sisi negatifnya," katanya.

"Dan keuntungannya adalah Anda dapat terus menghasilkan banyak uang di Rusia," sambungnya.

Dan bagi banyak oligarki, kekayaan yang diperoleh di Rusia tetap kokoh meskipun ekonomi bergejolak. Forbes melaporkan bahwa kekayaan bersih Melnichenko mengalami peningkatan berlipat ganda sejak invasi karena meroketnya harga pupuk, yang merupakan sumber pendapatan utamanya. Dia sekarang memiliki harta senilai USD15,6 miliar, menurut data Bloomberg Billionaires Index.

Sedangkan Vladimir Potanin, melihat kekayaannya membengkak lebih dari USD6 miliar setelah membeli kembali Rosbank dari bank Prancis Société Générale pada April 2022, dilaporkan Forbes.

Potanin merupakan orang Rusia terkaya peringkat ke-50 dalam Indeks Miliarder Bloomberg, dengan kekayaan bernilai USD28,8 miliar, atau naik USD238 juta tahun ini.

Pembeliannya atas Rosbank adalah salah satu dari beberapa transaksi pengusaha Rusia yang menyapu aset Barat senilai USD40 miliar dengan harga murah dalam peristiwa yang mengingatkan pada perebutan oligarki pertama untuk aset yang dimulai pada 1980-an.

Kehidupan Kemewahan

Harapan di antara para pembuat kebijakan Barat adalah bahwa oligarki Rusia mungkin menarik dukungan mereka untuk Putin melalui kerinduan untuk kembali ke kemewahan lama mereka.

Tetapi sebaliknya, para miliarder Rusia ini hanya beradaptasi dengan paradigma baru. Beberapa oligarki telah terbukti mahir memindahkan aset dari jangkauan cengkeraman Barat atau menemukan celah dalam sanksi Barat.

Di Inggris, aturan keuangan baru sejak Brexit merusak efektivitas yang dirasakan dari penutupan rekening bank para oligarki. Investigasi New York Times menemukan bahwa ada pengecualian tertentu dari pemerintah Inggris telah memungkinkan oligarki untuk tetap membayar pengeluaran untuk koki pribadi, sopir pribadi, dan pembantu rumah tangga.

"Anda tidak dapat membelanjakan uang dengan cara yang sama seperti Anda membelanjakannya di Prancis dan London – tetapi Anda dapat membelanjakannya di Thailand atau di mana pun," kata Rutland.

Pragmatisme oligarki seharusnya tidak mengejutkan, Rutland menambahkan: "Sebagian besar tahun 1990-an ada banyak kekacauan politik. Orang-orang ini mengalami perubahan mendadak dalam aturan, jadi mereka siap untuk poros semacam ini."

Abramovich adalah salah satu contoh dari mereka yang telah meletakkan akar baru di luar Barat. Meskipun mengalami beberapa momen terendah, termasuk penjualan paksa tim sepak bola kesayangannya, Chelsea FC, dan penjualan USD1 dari operator telekomunikasi Truphone, ia belum benar-benar menghilang.

Abramovich berhasil mentransfer banyak asetnya, termasuk superyahcts dan jet pribadi, kepada anak-anaknya yang tidak terkena sanksi, seperti dilaporkan The Guardian pada bulan Januari. Dia juga menghabiskan waktu di Turki dan Uni Emirat Arab, seperti Melnichenko.

The Wall Street Journal menyebutkan pada April tahun lalu bahwa orang-orang kaya Rusia dan oligarki membeli hingga empat apartemen sekaligus di Turki pada bulan-bulan setelah sanksi diperkenalkan.

"Kami akan terus melihat Londongrad di pantai Persia," kata Rutland.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1213 seconds (0.1#10.140)