Saat Ekonomi China Tidak Sehat, Apa yang Terjadi pada Dunia?

Senin, 02 Oktober 2023 - 14:11 WIB
loading...
Saat Ekonomi China Tidak Sehat, Apa yang Terjadi pada Dunia?
Ada pepatah yang mengatakan bahwa ketika Amerika Serikat (AS) bersin, maka seluruh dunia masuk angin. Tapi apa yang terjadi ketika ekonomi China tidak sehat?. Foto/Dok
A A A
BEIJING - Ada pepatah yang mengatakan bahwa ketika Amerika Serikat (AS) bersin, maka seluruh dunia masuk angin. Tapi apa yang terjadi ketika ekonomi China tidak sehat?



Ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut, merupakan rumah bagi lebih dari 1,4 miliar orang dan kini sedang menghadapi sejumlah masalah. Termasuk di antaranya perlambatan pertumbuhan, pengangguran kaum muda yang tinggi dan pasar properti yang berantakan.

Saat ini chairman pengembang real estat dengan hutang paling besar di negara itu, Evergrande, telah ditempatkan di bawah pengawasan polisi dan saham perusahaan telah ditangguhkan di pasar saham.



Beragam masalah tersebut terus menekan ekonomi China, lantas seberapa besar pengaruhnya bagi seluruh dunia? Analis meyakini kekhawatiran timbulnya bencana global, merupakan hal yang dilebih-lebihkan.

Tetapi perusahaan multinasional, pekerja mereka dan bahkan orang-orang yang tidak memiliki hubungan langsung dengan China cenderung merasakan setidaknya beberapa efek dari gejolak ekonomi China. Pada akhirnya, hal itu tergantung pada siapa Anda.

Pemenang dan pecundang

"Jika orang China, misalnya mulai mengurangi makan di luar untuk makan siang, apakah itu mempengaruhi ekonomi global?" tanya Direktur Eksekutif Asian Trade Center, Deborah Elms di Singapura.

"Jawabannya tidak sebanyak yang Anda bayangkan, tetapi tentu saja memukul perusahaan yang secara langsung bergantung pada konsumsi domestik China," sambungnya.

Ratusan perusahaan global besar seperti Apple, Volkswagen dan Burberry mendapatkan banyak pendapatan mereka dari pasar konsumen China yang luas dan akan terpukul oleh pengeluaran rumah tangga yang lebih sedikit. Efek knock-on kemudian akan dirasakan oleh ribuan pemasok dan pekerja di seluruh dunia yang bergantung pada perusahaan-perusahaan tersebut.

Ketika Anda mempertimbangkan bahwa China mempengaruhi lebih dari sepertiga pertumbuhan di dunia, segala jenis perlambatan akan terasa di luar perbatasannya. Lembaga pemeringkat kredit AS Fitch mengatakan, bulan lalu bahwa perlambatan China "membayangi prospek pertumbuhan global" dan menurunkan perkiraannya untuk seluruh dunia pada tahun 2024.

Namun menurut beberapa ekonom mengungkapkan, gagasan bahwa China adalah mesin kemakmuran global terlalu dibesar-besarkan. "Secara matematis, memang China menyumbang sekitar 40% dari pertumbuhan global," kata George Magnus, seorang ekonom di China Centre Universitas Oxford.

"Tapi siapa yang diuntungkan oleh pertumbuhan itu? China menjalankan surplus perdagangan yang sangat besar. Mereka mengekspor jauh lebih banyak daripada mengimpor, jadi seberapa banyak China tumbuh atau tidak adalah tentang China daripada tentang seluruh dunia," ungkapnya.

Namun demikian, pengeluaran China yang lebih sedikit untuk barang dan jasa -atau pembangunan rumah- berarti lebih sedikit permintaan untuk bahan baku dan komoditas. Pada bulan Agustus, negara itu mengimpor hampir 9% lebih sedikit dibandingkan dengan waktu yang sama tahun lalu - ketika masih di bawah pembatasan nol-Covid.

"Eksportir besar seperti Australia, Brasil, dan beberapa negara di Afrika akan paling terpukul oleh kondisi ini," kata Direktur Pusat Pengembangan Indo-Pasifik di Lowy Institute, Roland Rajah di Sydney.

Pelemahan permintaan di China juga berarti bahwa harga di sana akan tetap rendah. Dari perspektif konsumen Barat, hal itu disambut baik untuk mengekang kenaikan harga yang tidak melibatkan kenaikan suku bunga lebih lanjut.

"Ini adalah kabar baik bagi orang-orang dan bisnis yang berjuang untuk menghadapi inflasi yang tinggi," kata Rajah.

Jadi dalam jangka pendek, konsumen dapat mengambil manfaat dari perlambatan China. Tetapi ada pertanyaan jangka panjang untuk beberapa orang di negara berkembang.

Selama 10 tahun terakhir, China telah menginvestasikan lebih dari satu triliun dolar dalam proyek-proyek infrastruktur besar yang dikenal sebagai Belt and Road Initiative.

Lebih dari 150 negara telah menerima uang dan teknologi China untuk membangun jalan, bandara, pelabuhan laut dan jembatan. Menurut Rajah, komitmen China terhadap proyek-proyek ini mungkin mulai menderita jika masalah ekonomi berlanjut di dalam negeri.

"Sekarang perusahaan dan bank China tidak akan melakukan sumbangan keuangan yang sama untuk berkeliling ke luar negeri," katanya.

China di Mata Dunia

Sementara berkurangnya investasi China di luar negeri menjadi sebuah kemungkinan, tidak jelas bagaimana situasi ekonomi domestik China bakal mempengaruhi kebijakan luar negerinya.

Beberapa di antara ekonomi berpendapat, China yang lebih rentan kemungkinan bakal berusaha memperbaiki hubungan yang rusak dengan AS. Pembatasan perdagangan Amerika berkontribusi pada penurunan ekspor China sebesar 25% ke Negeri Paman AS pada paruh pertama tahun ini.

Sedangkan Menteri Perdagangan AS, Gina Raimondo belum lama ini menyebut negara itu "tidak ramah investasi" untuk beberapa perusahaan Amerika. Tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan pendekatan China melunak.

Di sisi lain Beijing terus membalas dengan pembatasannya sendiri, sering mengecam "mentalitas Perang Dingin" negara-negara barat. Selain itu China tampaknya terus mempertahankan hubungan baik dengan para pemimpin otoriter rezim yang terkena sanksi, seperti Vladimir Putin dari Rusia dan Bashar Al-Assad dari Suriah.

Pada saat yang sama, pejabat AS dan Uni Eropa terus melakukan perjalanan ke China setiap bulan untuk menjaga pembicaraan tentang perdagangan bilateral. Disebutkan hanya sedikit orang yang benar-benar tahu apa yang ada di antara retorika China dan kebijakan China.

Harapkan Tak Terduga

Jika ada satu pelajaran untuk dipelajari dari sejarah, itu adalah harapan tak terduga. Seperti yang ditunjukkan Elms, beberapa orang sebelum 2008 mengantisipasi bahwa hipotek subprime di Las Vegas akan mengirimkan gelombang kejutan melalui ekonomi global.

Gema tahun 2008 telah membuat beberapa analis yang mencuatkan kekhawatiran soal merembetnya krisis keuangan. Semua itu termasuk skenario mimpi buruk krisis properti China yang menyebabkan efek besar terhadap ekonomi China, hingga memicu krisis keuangan di seluruh dunia.

Ada ketakutan dampak krisis properti China bisa seperti runtuhnya raksasa investasi Wall Street Lehman Brothers dan resesi global. Tapi, menurut Magnus, mereka tidak sepenuhnya akurat.

"Ini tidak akan menjadi kejutan sepertu Lehman," katanya.

"China tidak mungkin membiarkan bank-bank besar mereka bangkrut – dan mereka memiliki neraca yang lebih kuat daripada ribuan bank regional dan komunitas yang bangkrut di AS," sambungnya.

Elms setuju bahwa: "Pasar properti China tidak terkait dengan infrastruktur keuangan mereka dengan cara yang sama seperti hipotek subprime Amerika. Selain itu, sistem keuangan China tidak cukup dominan untuk memberikan dampak global langsung seperti yang kita lihat dari Amerika Serikat pada tahun 2008."

"Kami saling terhubung secara global," katanya.

"Ketika Anda memiliki salah satu mesin pertumbuhan besar yang tidak berfungsi, itu mempengaruhi kita semua, dan itu sering mempengaruhi kita semua dengan cara yang tidak diantisipasi," bebernya

"Namun tidak berarti saya pikir kita sedang menuju pengulangan seperti tahun 2008, tetapi intinya adalah bahwa apa yang kadang-kadang tampak lokal, kekhawatiran domestik dapat berdampak pada kita semua. Bahkan dengan cara yang tidak akan kita bayangkan."
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1725 seconds (0.1#10.140)