Dedolarisasi adalah Suatu Keharusan, Sanksi Barat Pemicunya
loading...
A
A
A
SOCHI - Meninggalkan dolar Amerika Serikat (USD) dalam perdagangan Rusia -China dan beralih ke mata uang nasional adalah langkah yang diperlukan dalam keadaan saat ini. Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Shanghai Centre dari Studi Strategis dan Internasional RimPac, Nelson Wong di sela-sela pertemuan Klub Diskusi Valdai di Sochi.
Menurut analis, dedolarisasi bukanlah pilihan yang dibuat oleh kedua negara, melainkan suatu keharusan yang dipaksakan kepada mereka oleh sanksi Barat terkait Ukraina terhadap Moskow. Pembatasan tersebut termasuk memutuskan Rusia dari sistem pesan antar bank SWIFT, yang sangat membatasi kemampuan Rusia untuk melakukan transaksi internasional.
"Karena sanksi yang dikenakan pada Rusia – keluar dari sistem SWIFT –, sehingga saat ini perdagangan antara China dan Rusia tidak dapat diselesaikan melalui sistem ini. Jadi kami terpaksa mencari langkah-langkah alternatif. Penyelesaian dalam mata uang lokal, baik dalam renminbi atau rubel, pada dasarnya adalah suatu keharusan," kata Wong.
Dia juga mengklaim, bahwa kedua negara adalah mitra alami karena ekonomi mereka cukup saling melengkapi satu sama lain. Dimana China bergantung pada Rusia untuk pasokan gas dan mineral, lalu pada saat yang sama mampu menyediakan produk yang diminati di Rusia.
Namun, ia menekankan bahwa yang lebih penting adalah tujuan kedua negara selaras, dimana keduanya bergerak menuju dunia multipolar di mana AS (Amerika Serikat) tidak akan lagi dapat menarik tali menggunakan mata uangnya.
"Kepemimpinan politik kami ... memiliki pemahaman yang baik satu sama lain dan berbagi pandangan terhadap masa depan dunia, seperti yang diharapkan semua orang untuk lebih adil, lebih menghormati kepentingan setiap negara daripada memiliki satu negara yang mengambil keputusan atau memberi tahu semua orang bagaimana berperilaku," terangnya.
"Inilah yang dimaksud dengan seruan untuk multipolaritas – ini bukan tentang siapa yang akan menjadi kekuatan, ini tentang bagaimana kepentingan setiap negara, besar atau kecil, dihormati," kata Wong.
Dicatatkan olehnya, bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menciptakan sistem perdagangan global baru yang terdesentralisasi, terlepas dari kemajuan yang sudah dibuat.
"Bagaimana metode ini akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat atau kegiatan bisnis sehari-hari, itu adalah sesuatu yang harus dialami oleh kedua negara, sistem keuangan dan bisnis (mereka), dan mudah-mudahan berkontribusi pada pembangunan sistem perdagangan baru di mana dolar tidak akan menjadi satu-satunya mata uang," sambung Wong menyimpulkan.
Sementara itu Direktur Departemen Asia Pertama Kementerian Luar Negeri Rusia, Georgy Zinoviev mengklaim, pada bulan lalu bahwa dedolarisasi perdagangan Rusia-China sebagian besar sudah berjalan. Pejabat itu mengatakan, penggunaan rubel dan yuan dalam penyelesaian bersama antara negara-negara tetangga saat ini melebihi 80%, sementara pada awal 2022 melayang sekitar 25%.
Menurut perhitungan dari Kementerian Pembangunan Ekonomi Rusia, yang diterbitkan awal bulan ini, pangsa gabungan rubel dan mata uang dari apa yang disebut negara-negara 'ramah', termasuk yuan China, dalam perdagangan luar negeri Rusia telah mencapai 72% dalam ekspor (naik dari 15% pada awal 2022) dan 69% untuk impor (naik dari 33% pada awal 2022) pada pertengahan 2023.
Lihat Juga: PPN Naik Jadi 12% Berlaku di 2025, Ini Daftar Barang dan Jasa Terdampak dan Tak Terdampak
Baca Juga
Menurut analis, dedolarisasi bukanlah pilihan yang dibuat oleh kedua negara, melainkan suatu keharusan yang dipaksakan kepada mereka oleh sanksi Barat terkait Ukraina terhadap Moskow. Pembatasan tersebut termasuk memutuskan Rusia dari sistem pesan antar bank SWIFT, yang sangat membatasi kemampuan Rusia untuk melakukan transaksi internasional.
"Karena sanksi yang dikenakan pada Rusia – keluar dari sistem SWIFT –, sehingga saat ini perdagangan antara China dan Rusia tidak dapat diselesaikan melalui sistem ini. Jadi kami terpaksa mencari langkah-langkah alternatif. Penyelesaian dalam mata uang lokal, baik dalam renminbi atau rubel, pada dasarnya adalah suatu keharusan," kata Wong.
Dia juga mengklaim, bahwa kedua negara adalah mitra alami karena ekonomi mereka cukup saling melengkapi satu sama lain. Dimana China bergantung pada Rusia untuk pasokan gas dan mineral, lalu pada saat yang sama mampu menyediakan produk yang diminati di Rusia.
Namun, ia menekankan bahwa yang lebih penting adalah tujuan kedua negara selaras, dimana keduanya bergerak menuju dunia multipolar di mana AS (Amerika Serikat) tidak akan lagi dapat menarik tali menggunakan mata uangnya.
"Kepemimpinan politik kami ... memiliki pemahaman yang baik satu sama lain dan berbagi pandangan terhadap masa depan dunia, seperti yang diharapkan semua orang untuk lebih adil, lebih menghormati kepentingan setiap negara daripada memiliki satu negara yang mengambil keputusan atau memberi tahu semua orang bagaimana berperilaku," terangnya.
"Inilah yang dimaksud dengan seruan untuk multipolaritas – ini bukan tentang siapa yang akan menjadi kekuatan, ini tentang bagaimana kepentingan setiap negara, besar atau kecil, dihormati," kata Wong.
Dicatatkan olehnya, bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menciptakan sistem perdagangan global baru yang terdesentralisasi, terlepas dari kemajuan yang sudah dibuat.
"Bagaimana metode ini akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat atau kegiatan bisnis sehari-hari, itu adalah sesuatu yang harus dialami oleh kedua negara, sistem keuangan dan bisnis (mereka), dan mudah-mudahan berkontribusi pada pembangunan sistem perdagangan baru di mana dolar tidak akan menjadi satu-satunya mata uang," sambung Wong menyimpulkan.
Sementara itu Direktur Departemen Asia Pertama Kementerian Luar Negeri Rusia, Georgy Zinoviev mengklaim, pada bulan lalu bahwa dedolarisasi perdagangan Rusia-China sebagian besar sudah berjalan. Pejabat itu mengatakan, penggunaan rubel dan yuan dalam penyelesaian bersama antara negara-negara tetangga saat ini melebihi 80%, sementara pada awal 2022 melayang sekitar 25%.
Menurut perhitungan dari Kementerian Pembangunan Ekonomi Rusia, yang diterbitkan awal bulan ini, pangsa gabungan rubel dan mata uang dari apa yang disebut negara-negara 'ramah', termasuk yuan China, dalam perdagangan luar negeri Rusia telah mencapai 72% dalam ekspor (naik dari 15% pada awal 2022) dan 69% untuk impor (naik dari 33% pada awal 2022) pada pertengahan 2023.
Lihat Juga: PPN Naik Jadi 12% Berlaku di 2025, Ini Daftar Barang dan Jasa Terdampak dan Tak Terdampak
(akr)