Aturan Pajak E-Commerce Jangan Ambisius

Rabu, 04 Oktober 2017 - 22:35 WIB
Aturan Pajak E-Commerce Jangan Ambisius
Aturan Pajak E-Commerce Jangan Ambisius
A A A
JAKARTA - Rencana pemerintah untuk mengenakan pajak terhadap perusahaan berbasis digital (e-commerce), sejatinya harus sesuai prinsip perpajakan, yang jelas bersandar pada asas kepastian (certainty) dan keadilan (equity). Bisnis e-commerce merupakan fenomena baru dan semakin penting dalam dunia bisnis dan perekonomian Indonesia.

Maka pengaturan e-commerce menjadi sangat penting dan relevan agar memberi kepastian bagi investor, pelaku, dan masyarakat sebagai konsumen. “Siapapun yang mampu harus membayar pajak, dan pemungutan pajak harus didasarkan pada Undang-undang atau aturan,” ujar Yustinus di Jakarta, Rabu (4/10/2017).

Sementara negara memiliki hak, salah satunya pajak yang terutang dari aktivitas bisnis e-commerce. Maka sektor ini perlu diatur agar tercipta keadilan (membayar pajak sebagaimana perdagangan konvensional) dan pasti (didasarkan pada aturan yang jelas dan fair).

(Baca Juga: Aturan Pajak E-Commerce Diharapkan Terbit Pekan Depan
Maka upaya pemerintah menerbitkan aturan yang secara khusus mengatur e-commerce layak diapresiasi. Lebih dari itu, aturan ini diharapkan mampu menangkap dinamika bisnis yang sangat cepat, padat modal, dan sensitif terhadap regulasi yang tidak responsif. Karena itu rumusan aturan yang komprehensif, jelas, mengedepankan kepastian, kompatibel dengan pengaturan di negara lain, memberi insentif yang tepat sangat dibutuhkan.

Namun mengingat e-commerce adalah sektor yang baru tumbuh, maka akan lebih baik Pemerintah lebih hati-hati agar kebijakan yang diambil tidak mendiscourage para pelaku. Untuk itu perlu identifikasi dan klasifikasi yang jelas terkait model bisnis dan skala bisnis yang ada. “Pelaku start up seyogianya mendapat perlakuan berbeda (insentif), agar dapat tumbuh kembang dengan baik, difasilitasi, dan terus dijaga agar kelak dapat berkontribusi maksimal bagi negara,” ujarnya.

Pemerintah dapat fokus pada registrasi (pendataan dan pendaftaran para pelaku agar menjadi wajib pajak melalui representative office yang ada untuk pelaku luar negeri dan/atau menjadi pengusaha kena pajak). Domain kewenangan ada di Kominfo, namun seyogianya tidak masuk ke ranah pajak. Saat registrasi mereka sekaligus ditetapkan sebagai wajib pajak dan/atau pengusaha kena pajak sesuai kondisi.

Memaksakan menjadi BUT tanpa mengubah UU PPh seyogjanya tidak dilakukan demi kredibilitas Pemerintah. Hal ini untuk menciptakan keadilan antara pelaku domestik dan yang berdomisili di luar negeri harus diciptakan equal playing field dengan kebijakan yang menjamin perlakuan setara. Maka koordinasi Kominfo dan DJP menjadi sangat penting.

Jenis pajak yang dapat dipungut adalah PPN atas transaksi penjualan barang dan jasa kena pajak. Untuk memudahkan administrasi, dapat diusulkan pengenaan PPN dengan nilai lain/tarif efektif sehingga lebih sederhana dan mudah.

Pemerintah memperhatikan para pelaku bisnis rintisan (start-up) agar dapat diberi insentif untuk tumbuh dan tidak ter-encourage dibandingkan pelaku bisnis konvensional. Migrasi model bisnis ke medium lain juga perlu diantisipasi, misalnya media sosial, sehingga perlu diatur agar tidak menimbulkan dampak buruk.

Saat ini memang pemerintah terus mencari skema paling efektif, termasuk administrasi yang mudah dan murah, agar bisnis e commerce dapat berkembang lebih baik. Maka komparasi dengan negara lain menjadi penting, termasuk mendengarkan suara para pelaku usaha.

“Aturan baru seyogianya tidak ambisius untuk mengejar potensi pajak dalam jangka pendek, namun menciptakan kepastian dan ruang pertumbuhan bisnis yang baik agar kelak kita dapat memetik hasil yang semakin besar,” ujarnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2347 seconds (0.1#10.140)