Pangkas Disparitas Harga lewat Tol Laut dan Jembatan Udara

Jum'at, 20 Oktober 2017 - 06:11 WIB
Pangkas Disparitas Harga lewat Tol Laut dan Jembatan Udara
Pangkas Disparitas Harga lewat Tol Laut dan Jembatan Udara
A A A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sejak awal kabinet berjalan secara serius ingin menekan disparitas harga di beberapa wilayah, termasuk di Indonesia timur seperti Papua.

Salah satu cara untuk menekan harga di Indonesia timur, dengan cara membangun infrastruktur. Rupanya langkah Jokowi untuk membangun infrastruktur demi menekan harga pun mulai menuai hasilnya.

Hal tersebut seperti yang dialami Muhammad Alkatiri, mahasiswa kedokteran asal Fakfak, Papua ini kuliah di salah sau univesitas di Yogyakarta. Dia mengaku, dalam setahun peserta stand up comedy itu pulang ke Fakfak dua kali.

"Sebelum dua tahun ini, jalan antar kecamatan di Fakfak cukup jauh, tapi sekarang sudah terbangun jalannya. Makanya, harga bensin turun. Kalau dulu satu botol Rp50 ribu tapi sekarang hanya Rp10 ribu," katanya saat berbincang santai dengan SINDOnews usai tampil di Ref Top Hotel Jakarta, pekan lalu.

Pengakuan Alkatiri tidak mengada-ada. Memang sejak tiga tahun lalu, pemerintah di tangan Jokowi-JK terus membuat trobosan yang tidak pernah dilakukan pemerintahan sebelumnya.

Targetnya, connecting dan memotong disparitas antara Indonesia Barat dengan Timur. Ada banyak program yang digagas dan ditawarkan. Diantaranya, program tol laut, tol udara, rumah kita, dan muncul program jembatan udara serta kapal ternak.

Tol laut, program yang sempat dicibir pada awal kemunculan ide program ini, lantaran secara fisik sulit direalisasikan. Apalagi secara sumber daya, Indonesia belum ada kapasitas.

Sebab, Jembatan Surabaya-Madura yang melintas di atas Selat Madura sepanjang 5,4 kilometer sumber dayanya diimpir dari China. Lima tahun lebih, baru selesai dan dananya Rp4,5 triliun.

Apalagi tol laut, jelas secara fisik imposible. Namun, program tol laut yang digagas Jokowi adalah membangun jalur kapal khusus untuk wiliyah yang disebutnya tiga T, yaitu terluar, terpencil, dan terdepan.

"Konektivitas laut yang efektif berupa adanya kapal yang melayani rutin dan terjadwal dari Barat sampai Timur Indonesia," ujar Jokowi dalam kutipan yang dipaparkan Kemenhub dalam setiap waktu di kegiatan bertema tol laut.

Data Ditjen Hubla Kemenhub menunjukkan ada puluhan trayek tol laut. Dengan melibatkan 10 kapal kontainer dan tiga kapal kargo. Melibatkan sekitat 54 pelabuhan kecil di wilayah 3T, biya yang digunakan Rp355 miliar.

Adapun pusat aktivitas di topang dari dua pelabuban utama milik PT Pelindo II dan Pelindo III, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Perak Surabaya.

Dengan beban terbesar Tanjung Perak Surabaya untuk pengiriman logistik ke pulau terluar di Irian Jaya, Sulawesi dan Kalimantan. Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta untuk pengiriman logistik ke pulau terluar sekitar Sumatera.

Tidak cukup di situ, demi mendukung suplai logistik dan barang kebutuhan lainnya, pemerintah melalui PT Pelindo II dan III membuat program rumah kita. Yaitu, program memaksimalkan gudang pusat distribusi. Tujuanya untuk transit kiriman sembako dan barang kebutuhan lain.

"Selain melibatkan tujuh pelabuhan utama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, ada 24 pelabuhan seperti di Dompu, Waingapu, Rote, Sagu dan Kalbahu yang dibangun program rumah kita," ujar Senior Vice President Marketing and Business PT Pelindo III, Sugiono.

Ironisnya, program itu tidak cukup jitu diberlakukan di Papua. Karena, karakteristik geografisnya berbeda dengan Kalimantan, Sulawesi maupun Nusa Tenggara.

Papua berupa pegunungan dan infrastruktur jalan sebagai transportasi belum maksimal. Akibatnya, pemerintah membuat trobosan program baru khusus di Bumi Cendrawasih itu. Yakni, tol udara dan jembatan udara.

Kemenhub menyiapkan dana Rp200 miliar untuk merealisasikan program tol udara. Ada tiga jalur bandara yaitu Waimena, Timika, dan Jayapura. Dengan pesawat kargo untuk mengangkut sembako dan kebutuhan lain.

Satu lagi, program yang disiapkan Kemenhub yaitu jembatan udara yang dikhususkan untuk 12 daerah di Papua. Bahkan, program yang sudah jalan dua bulan itu menelan dana sekitar Rp400 miliar.

Menhub Budi Karya Sumadi menyatakan, bila program jembatam udara fokus di Papua. Tepatnya di 12 kota-kota terpencil di perbukitan. Karena memang program tersebut sebagai proyek percontohan nasional.

"Program jembatan udara lebih pada konsep mendistribusikan logistik lebih baik. Sehingga logistik baik bahan pokok maupun lainnya dapat tersalurkan sebagaimana mestinya," ujarnya.

Hanya saja, baik program tol laut, tol udara maupun jembatan udara punya problem klasik. Problem terbesar tol laut, saat balik ke barat 10 kapal kontainer dan 3 kapal kargo kosong alias tidak ada muatan.

Muncul program baru kapal ternak. Yaitu, kapal pengangkut ternak sapi dari Nusa Tenggara Barat (NTB) maupun Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk diangkut ke Jakarta. Sebab, kebututuhan daging sapi Jakarta dan sekitarnya besar, sekitar 70 ribu ekor sapi sebulan.

Ironisnya, kapal pengangkutnya tidak kapal jenis tol laut. Sehingga bisa hemat dan juga dapat membantu margin harga peternak. Namun, Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub sudah menyiapkan anggaran Rp200 miliar untuk empat kapal.

"Tidak bisa sembarang kapal. Harus kapal khusus yang bisa mengangkut ternak sapi," ujar Kepala Subdit Angkutan Laut Dalam Negeri, Kemenhub, Capt Wisnu Handoko.

Meski begitu, trobosan program tol laut yang dilakukan, juga didukung Rumah Kita. Ada juga program tol udara yang diperkuat dengan program jembatan udara dinilai cukup berhasil. Berhasil secara konektivitas dan memangkas disparitas harga.

"Harapan kita bisa memotong disparitas cukup besar. Tapi sekarang rata-rata baru sekitar 14% hingga 20%," ungkap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.

Memang disparitas dapat dipotong. Harga semen, premium dan beberapa kebutuhan lain di Irian Jaya maupun di daerah 3T lain harganya bisa mencapai ratusan lipat. Tapi sekarang, dengan program tol laut, rumah kita, tol udara dan jembatan udara tertekan hampir sama harga di Jawa.

"Dulu sebelum ada tol laut dan rumah kita harga semen di Papua bisa mencapai Rp1,5 juta per sak. Juga BBM jenis premium mencapai Rp100 ribu per botol eceran, tapi sekarang bisa ditekan," kata Senior Vice President Marketing and Business PT Pelindo III, Sugiono.

Demi menekan disparitas harga di Indoensia Timur memang tidak murah. Dari beberapa program yang digulirkan, butuh dana yang hampir mencapai Rp2 triliun sampai Rp5 trilun per tahun.

Belum lagi biaya-biaya subsidi yang ditanggung BUMN produsen dari barang-barang yang jadi target seperti semen, BBM, garam maupun barang kebutuhan pokok lainnya. Di antaranya semen dari PT Semen Indonesia (Peraero) Tbk maupun PT Pertamina (Persero).

Karena itu, tidak salah ada saran melibatkan swasta. Hanya saja, bila melibatkan swasta maka ada hitungan untung dan rugi. Maka, lagi-lagi harga sampai di konsumen yang tinggal di wilayah 3T bakal naik lagi.

"Program tol laut, jembatan udara dan sejenisnya sangat bagus. Bahkan, efektif. Hanya program yang disubsidi itu tidak bisa dilakukan terus-menerus, harus dicari formula yang pas," kata Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan.

Bagi Yukki, persoalan logistik perlu dibedakan dua kelompok. Kelompok kebutuhan pokok memang memerlukan kehadiran pemerintah. Namun, ada barang-barang yang bergantung mekanisme pasar.

"Artinya, kalau dari sisi disparitas memang ada penurunan. Tetapi ada yang setelah digelontor program rumah kita harganya naik lagi," kata dia.

Yukki juga menyarankan, ada baiknya membuka dialog dengan pihak swasta. Sehingga, ada formula yang pas lagi. Sehingga, program tersebut bisa permanen. Karena tidak mungkin subsidi diberlakukan terus-menerus.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5111 seconds (0.1#10.140)