Hadapi Perubahan Iklim, Negara Pulau dan Kepulauan Perlu Kolaborasi

Sabtu, 02 Desember 2023 - 11:30 WIB
loading...
Hadapi Perubahan Iklim,...
Diskusi panel yang digelar di Paviliun Indonesia pada konferensi perubahan iklim COP28 UNFCCC di Dubai, Kamis (30/11/2023). FOTO/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Negara-negara Pulau dan Kepulauan harus bergandengan tangan berbagi pengetahuan dan inovasi konkret menyentuh masyarakat agar bisa mandiri melakukan adaptasi menghadapi perubahan iklim.

"Menghadapi perubahan iklim, pada akhirnya kita harus bisa mandiri, tidak bisa bergantung kepada negara-negara maju," kata Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Jodi Mahardi dalam pernyataannya, Sabtu (2/12/2023).



Pernyataan itu disampaikan diskusi panel yang digelar di Paviliun Indonesia pada konferensi perubahan iklim COP28 UNFCCC di Dubai, baru-baru ini. Sebagai Negara kepulauan, Indonesia juga mengalami tantangan yang sama dengan negara-negara pulau dan kepulauan lainnya. Tantangan itu adalah naiknya permukaan air laut yang membuat tinggi muka air laut naik dan mengancam hilangnya wilayah pesisir bahkan sebuah pulau.

Indonesia, kata Jodi, siap untuk membagikan inisiatif yang dilakukan kepada sesama negara pulau dan kepulauan. Misalnya, yang baru-baru ini dilakukan adalah melakukan pelatihan untuk pemanfaatan floating fishing net sederhana untuk Negara Fiji, sehingga masyarakatnya bisa memanfaatkan sumber daya perikanan secara berkelanjutan.

Jodi menyatakan, negara pulau dan kepulauan harus solid dan memanfaatkan Archipelagic and Island State (AIS) Forum untuk berkolaborasi menghadapi persoalan yang dihadapi. AIS Forum merupakan wadah kerja sama antarnegara pulau dan kepulauan yang bertujuan memperkuat kolaborasi mengatasi empat masalah global yakni mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, ekonomi biru, penanganan sampah plastik di laut dan tata kelola maritim.

Diluncurkan pada 2018, Indonesia merupakan salah satu pendiri AIS Forum. Pada awal Oktober lalu, Konferensi Tingkat Tinggi AIS, baru saja diselenggarakan di Bali.

Menteri Pertanian, Lingkungan Hidup, dan Perubahan Iklim Republik Seychelles Flavien Joubert mengungkapkan kondisi saat ini di Seychelles dimana banyak pesisirnya mengalami banjir rob.

Menghadapi ancaman tersebut, Seychelles kata Joubert mengedepankan konsep blue ekonomi untuk pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan. Salah satunya adalah perlindungan padang lamun dan mangrove. "Kami menargetkan perlindungan lamun pada tahun 2030 bisa mencapai 100 persen," kata dia.

Duta Besar Fiji untuk Indonesia, Amenatave V. Yauvoli, juga mengungkapkan persoalan yang sama menghadapi perubahan iklim yaitu kenaikan muka air laut. "Diproyeksikan kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim mencapai 1,5 meter. Kami sudah mengalaminya. Naiknya muka air laut adalah ancaman bagi kami," katanya.



Menurut dia, Upaya memindahkan masyarakat pesisir yang terancam kenaikan muka air laut ke lokasi lain tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan bisa memicu persoalan baru terutama soal tenurial di lokasi yang baru.

Sebagai solusi, Fiji melakukan aksi adaptasi dengan melakukan penanaman mangrove dan mempromosikan nature based solutions untuk menjaga wilayah pesisir. Fiji, kata Youvolu, juga sangat berharap dukungan dari Indonesia yang dinilai maju tentang hal tersebut. Yauvoli juga menyerukan tentang perlunya dukungan pendanaan dan kerja sama dari seluruh negara-negara lainnya agar aksi adaptasi perubahan iklim yang dilakukan bisa semakin diperkuat.
(nng)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1908 seconds (0.1#10.140)