Banking Consumer Megashifts

Sabtu, 08 Agustus 2020 - 08:11 WIB
loading...
Banking Consumer Megashifts
Managing Partner Inventure Yuswohady. Foto/Istimewa
A A A
Yuswohady
Managing Partner Inventure

Pandemi telah mengobrak-abrik perilaku konsumen di lingkungan industri perbankan. Kombinasi krisis kesehatan, krisis ekonomi, dan krisis aktualisasi diri menimbulkan perubahan kebutuhan, perilaku, dan preferensi konsumen terhadap layanan perbankan. Berikut ini adalah beberapa consumer megashifts di industri perbankan:

#1. The Death of IN-BRANCH BANKING Banking?

Di era stay @ home economy, nasabah kian mengurangi keluar rumah. Tak mengherankan jika kantor cabang bank semakin jauh ditinggalkan. Transaksi-transaksi yang awalnya banyak dilakukan di kantor cabang kini makin dipindahkan melalui mobile banking, internet banking, ataupun call center yang digerakkan oleh artificial intelligence. (Baca: Inflasi Rendah, Konsumen Masih Menunda Belanja)

Pertanyaannya, apakah kantor cabang kian tak relevan di masa dan setelah pandemi? Kantor cabang tak akan punah, tapi penggunaannya akan berkurang drastis dan perannya perlu diredifinisi tak lagi sama dengan sebelumnya. Kantor cabang akan menjadi “digital branch” yang terintegrasi dan menjadi bagian penting dari jejaring omni-channels yang lain.

Kantor cabang akan menangani complex transactions, advisory, education yang sulit dilakukan via platform digital. Bahkan kantor cabang bisa menjadi lifestyle center, community space, experience store, atau kafe tempat nongkrong nasabah.

#2. OMNICHANNEL Solution Becomes Mainstream

Sebelum pandemi mewabah, pengalaman berbank nasabah belanja didominasi oleh space experience dan masih tersekat-sekat dalam dikotomi offline-online. Namun, pascapandemi nasabah kian menuntut seamless banking experience melintasi semua channel. Itu sebabnya, omni-channel strategy menjadi faktor kunci. (Baca juga: Ekonomi Jabar Anjlok, Ridwan Kamil Minta Belanja Rutin Dimaksimalkan)

Alhasil pendekatan consumer journey menuntut para bankir melihat setiap titik persentuhan interaksi (touchpoint) sebagai sebuah journey yang tak terlepas satu sama lain. Artinya pendekatan yang digunakan bukan lagi multi-channel, namun omni-channel. Paradigma baru ini akan menghasilkan customer interaction yang seamless.

#3. The Rise of OPEN BANKING, the Fall of Customer PRIVACY

Di tengah maraknya e-commerce pascapandemi, bank harus agresif menjalankan strategi “open banking” dengan berkolaborasi dengan pelaku e-commerce mendukung transaksi konsumen. Kolaborasi ini dilakukan dengan membuka akses application programming interfaces (APIs), e-commerce atau third-party service providers untuk mendukung layanan transaksi dan keuangan lainnya.

Open banking bakal menjadi sumber inovasi produk dan layanan bagi bank yang paling hot di era pandemi. Namun, ingat, masalah privacy juga akan menjadi persoalan pelik bagi nasabah. Karena itu, di era open banking kepercayaan konsumen menjadi krusial. Customer trust is king.

#4. Consumers Are in FEAR: Declining Income, Savings, and Spending

Di tengah krisis pandemi Covid-19, orang mengalami kekacauan mental healthiness dan well-being sehingga menjalani hari-hari dalam ketakutan. Takut akan krisis ekonomi, takut kehilangan pekerjaan, takut tak mampu bayar utang, hingga takut terenggut nyawa.

Pesimisme, kecemasan, dan ketakutan berdampak pada konsumen mengurangi spending: belanja non-essential goods, durable goods, dan liburan dipangkas bahkan stop. Di tengah krisis, konsumen cenderung saving, itu sebabnya sekarang DPK (dana pihak ketiga) bank meningkat. Namun, dengan berkepanjangannya krisis, bahkan resesi, saving ujung-ujungnya juga akan berkurang ketika income turun. Alarm bagi bank.

#5. In Time of Recession, Customers Want FLEXIBILITY and SECURITY

Di ambang resesi, rumah tangga, perusahaan kecil-menengah, bahkan korporasi besar akan mengalami kesulitan keuangan yang fatal, bahkan gulung tikar. Dampaknya bisa diduga mereka kesulitan membayar cicilan dan ujung-ujungnya non-performing loan (NPL) bank melonjak. (Baca juga: Pemerintah Membolehkan Sekolah Tatap Muka di Zona Kuning)

Dalam kondisi demikian, yang dibutuhkan nasabah adalah flexibility dan security. Mereka butuh keringanan dan kelonggaran terkait penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga/pokok kredit, hingga kemudahan mendapatkan fasilitas kredit agar kondisi keuangan dan bisnis mereka membaik kembali.

Tapi, tentu saja itu tak bisa dilakukan secara sembrono. Bank harus tahu persoalan unik dari masing-masing nasabah dan mampu menyelesaikan persoalan tersebut bersama-sama secara efektif. Ketika nasabah sakit, bank harus bisa menjadi dokter yang mumpuni.

#7. Welcome CASHLESS society

Covid-19 memaksa konsumen mengurangi transaksi tunai. Sebelum pandemi tren ke arah cashless transaction ini sudah menggeliat, namun rupanya Covid-19 mempercepat proses ini. Alasannya jelas, untuk mengurangi potensi penularan virus. Itu dari sisi konsumen. Dari sisi produsen, kini toko, restoran, hingga hotel mulai menggunakan cashless sebagai alat branding untuk memulihkan kepercayaan konsumen dan memberikan jaminan keamanan kepada mereka.

Tak hanya itu, smartphone dan beragam aplikasi di dalamnya kini semakin “memakan” fungsi uang tunai untuk melakukan berbagai transaksi keuangan. Beragam transaksi kini bisa dilakukan melalui smartphone kita. Dari berbelanja, menabung, meminjam uang, membayar tagihan, membayar cicilan, bahkan kegiatan lainnya. Welcome cashless society. (Lihat videonya: Melanggar Protokol Kesehatan, 31 Perkantoran Ditutup Sementara)

#10. RESPONSIBLE Banking Matters

Kini kita berada di ambang resesi saat ekonomi berkontraksi dua kuartal berturut-turut. Di tengah resesi masyarakat berada dalam kondisi sulit. By-default bank memiliki posisi penting dalam memulihkan ekonomi dengan membantu rumah tangga, pelaku usaha kecil-menengah, dan pemain bisnis besar dalam menyelesaikan masalah keuangan dan bisnisnya melewati krisis.

Di sinilah konsep “responsible bank” menjadi relevan di tengah pandemi. Bank harus berperan aktif membantu pelaku ekonomi baik di sektor rumah tangga, UKM, dan korporat dalam melewati badai krisis pandemi dengan berbagai instrumen pemulihan yang solutif. Bank tak lagi bisa menggunakan pendekatan selfish seperti sebelumnya, tapi harus mulai meredefinisinya menjadi pendekatan baru yang lebih empatik, solutif, dan bertanggung jawab dalam memulihkan bisnis dan ekonomi.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2076 seconds (0.1#10.140)