Transaksi E-Commerce Capai Rp13 T per Bulan, RI Kejar Pajak PMSE Lintas Negara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tren ekonomi digital terus menguat di seluruh dunia, termasuk Indonesia sebagai negara dengan nilai ekonomi digital terbesar di kawasan Asia Tenggara. Salah satu indikator paling kentara terlihat dari kencangnya transaksi e-commerce di Tanah Air.
Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain, nilai ekonomi digital di Asia Tenggara, khususnya transaksi e-commerce, pada 2019 mencapai USD100 miliar, dimana sebesar 40%-nya berasal dari Indonesia.
“Bank Indonesia mencatat, di tahun 2019, jumlah transaksi e-commerce di Indonesia setiap bulannya mencapai Rp13 triliun,” ujar Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Ari Juliano Gema, dalam siaran pers, Sabtu (8/8/2020). (Baca juga: Hore! 17 Agustus, Pemerintah Tebar Cashback Lewat Dompet Digital )
Melihat besarnya nilai transaksi e-commerce tersebut, sejumlah negara lantas mempertimbangkan bahkan sudah menerapkan kebijakan perpajakan yang dapat menjangkau pelaku usaha yang secara fisik tidak berada di negara tersebut tetapi telah melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di negara tersebut.
“Salah satu isu perpajakan dalam PMSE lintas batas negara saat ini adalah bahwa barang tidak berwujud dan jasa dari luar negeri yang masuk melalui internet di suatu negara tidak dikenakan tarif impor, yang umumnya terdiri dari bea masuk, PPN, dan PPh,” jelasnya. Hal tersebut, sambung dia, tentu mengurangi potensi pendapatan dari negara tersebut.
Ari menambahkan, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sebesar 269,6 juta jiwa dan pengguna internet sebanyak 175,4 juta, maka bisa dilihat bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk yang begitu banyak dan pengguna internet aktif yang sangat tinggi. "Ini merupakan aset yang memiliki nilai ekonomi dan seharusnya memberikan kontribusi yang cukup tinggi kepada negara," ucapnya.
Dia melanjutkan, banyaknya jumlah pengguna internet di suatu negara umumnya berbanding lurus dengan banyaknya data pengguna platform yang dikelola penyelenggara PMSE.
Data pengguna dari berbagai negara pada kenyataannya merupakan aset yang dikuasai dan dikelola pemilik platform untuk memperoleh manfaat ekonomi dari investor dan pengembangan usahanya, tetapi belum tersentuh dalam perhitungan perpajakan.
“Untuk itu, pemerintah Indonesia harus berani mengusulkan model perhitungan dan pemungutan PPh berbasis data pengguna tersebut untuk menjadi konsensus internasional demi kebijakan perpajakan yang adil,” kata Ari. (Baca juga: Sabar Dulu Ya, Ternyata Gajian Full Bebas Pajak Masih Banyak Kendala )
Apabila secara global telah dicapai konsensus mengenai satu tarif PPh yang akan dipungut satu kali untuk seluruh negara, maka hal itu dapat dikenakan kepada perusahaan pengelola platform PMSE yang tidak ada keberadaan fisiknya, tetapi signifikan keberadaannya secara ekonomi di suatu negara.
Hasil pungutan pajak tersebut nantinya dapat dibagi secara proporsional kepada masing-masing negara sesuai besarnya jumlah data pengguna dari masing-masing negara yang dikelola pemilik platform tersebut. Semakin besar jumlah data pengguna dari suatu negara, maka tentu akan semakin besar juga porsi pungutan pajak yang diterima negara tersebut.
Usulan perhitungan PPh dengan berbasiskan data pengguna tersebut dapat menghindari pengenaan pajak berlipat-lipat kepada pemilik platform akibat akumulasi pengenaan PPh secara sepihak oleh masing-masing negara.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan seluruh dunia sudah melihat bahwa tren ekonomi digital semakin kuat. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan pada physical presence dalam konteks perpajakan dan konteks fiskal,” kata Febrio.
Dia menyebut pemerintah saat ini masih mempelajari perpajakan ekonomi digital. Namun, mulai 1 Juli 2020, Pemerintah telah mengenakan PPN atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan jasa kena pajak dari luar dan dalam daerah pabean melalui PMSE.
“Selaras dengan PPN, langkah yang diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk mengenakan PPh merupakan hal yang wajar dan telah dilakukan oleh negara-negara lain, seperti Israel, India, Inggris, Australia, Canada, Meksiko, Brazil, dan Turki,” bebernya. (Baca juga: Turki Siap Bangun Kembali Pelabuhan Beirut yang Hancur oleh Ledakan )
UU Nomor 2/2020 menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengenakan PPh dan PTE atas penghasilan dari ekonomi digital dengan tidak lagi mendasarkan pada physical presence melainkan ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. Namun demikian, untuk melaksanakan ketentuan ini masih diperlukan Peraturan Pelaksanaan yang mengatur kriteria SEP, tarif, dan DPP PTE.
Dalam pembahasan OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) saat ini mengerucut pada Unified Approach sebagai langkah pengenaan PPh atas transaksi digital. Dimana basis pemajakan baru berdasarkan adanya penjualan di negara pasar.
Selain itu Unfied Approach mengalokasikan laba dengan mendasarkan pada formula tertentu serta mencakup tidak hanya automated digital business (ADS) tetapi juga consumer facing business (CFB) yang memenuhi kriteria tertentu.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Kemenkeu adalah terus menyempurnakan konsep aturan pelaksaanaan pengenaan PPh dan PTE atas transaksi digital, terus aktif dalam diskusi internasional dalam mencapai dan mendukung adanya konsensus global 2020, serta melakukan analisis mendalam atas potensi pajak ekonomi digital.
“Kita jangan membatasi pikiran kita hanya dengan persoalan pajak, tapi melihat bagaimana Pemerintah Indonesia ingin supaya industri digital Indonesia bisa memiliki keputusan hukum yang jelas. Sehingga, Pemerintah tidak gagap dalam menghadapi pertumbuhan ekonomi digital yang sangat pesat ini dan dapat menciptakan lingkungan ekonomi digital yang kondusif bagi pelaku usaha kreatif digital, baik pelaku usaha yang besar maupun UMKM,” paparnya.
Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain, nilai ekonomi digital di Asia Tenggara, khususnya transaksi e-commerce, pada 2019 mencapai USD100 miliar, dimana sebesar 40%-nya berasal dari Indonesia.
“Bank Indonesia mencatat, di tahun 2019, jumlah transaksi e-commerce di Indonesia setiap bulannya mencapai Rp13 triliun,” ujar Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Ari Juliano Gema, dalam siaran pers, Sabtu (8/8/2020). (Baca juga: Hore! 17 Agustus, Pemerintah Tebar Cashback Lewat Dompet Digital )
Melihat besarnya nilai transaksi e-commerce tersebut, sejumlah negara lantas mempertimbangkan bahkan sudah menerapkan kebijakan perpajakan yang dapat menjangkau pelaku usaha yang secara fisik tidak berada di negara tersebut tetapi telah melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di negara tersebut.
“Salah satu isu perpajakan dalam PMSE lintas batas negara saat ini adalah bahwa barang tidak berwujud dan jasa dari luar negeri yang masuk melalui internet di suatu negara tidak dikenakan tarif impor, yang umumnya terdiri dari bea masuk, PPN, dan PPh,” jelasnya. Hal tersebut, sambung dia, tentu mengurangi potensi pendapatan dari negara tersebut.
Ari menambahkan, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sebesar 269,6 juta jiwa dan pengguna internet sebanyak 175,4 juta, maka bisa dilihat bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk yang begitu banyak dan pengguna internet aktif yang sangat tinggi. "Ini merupakan aset yang memiliki nilai ekonomi dan seharusnya memberikan kontribusi yang cukup tinggi kepada negara," ucapnya.
Dia melanjutkan, banyaknya jumlah pengguna internet di suatu negara umumnya berbanding lurus dengan banyaknya data pengguna platform yang dikelola penyelenggara PMSE.
Data pengguna dari berbagai negara pada kenyataannya merupakan aset yang dikuasai dan dikelola pemilik platform untuk memperoleh manfaat ekonomi dari investor dan pengembangan usahanya, tetapi belum tersentuh dalam perhitungan perpajakan.
“Untuk itu, pemerintah Indonesia harus berani mengusulkan model perhitungan dan pemungutan PPh berbasis data pengguna tersebut untuk menjadi konsensus internasional demi kebijakan perpajakan yang adil,” kata Ari. (Baca juga: Sabar Dulu Ya, Ternyata Gajian Full Bebas Pajak Masih Banyak Kendala )
Apabila secara global telah dicapai konsensus mengenai satu tarif PPh yang akan dipungut satu kali untuk seluruh negara, maka hal itu dapat dikenakan kepada perusahaan pengelola platform PMSE yang tidak ada keberadaan fisiknya, tetapi signifikan keberadaannya secara ekonomi di suatu negara.
Hasil pungutan pajak tersebut nantinya dapat dibagi secara proporsional kepada masing-masing negara sesuai besarnya jumlah data pengguna dari masing-masing negara yang dikelola pemilik platform tersebut. Semakin besar jumlah data pengguna dari suatu negara, maka tentu akan semakin besar juga porsi pungutan pajak yang diterima negara tersebut.
Usulan perhitungan PPh dengan berbasiskan data pengguna tersebut dapat menghindari pengenaan pajak berlipat-lipat kepada pemilik platform akibat akumulasi pengenaan PPh secara sepihak oleh masing-masing negara.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan seluruh dunia sudah melihat bahwa tren ekonomi digital semakin kuat. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan pada physical presence dalam konteks perpajakan dan konteks fiskal,” kata Febrio.
Dia menyebut pemerintah saat ini masih mempelajari perpajakan ekonomi digital. Namun, mulai 1 Juli 2020, Pemerintah telah mengenakan PPN atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan jasa kena pajak dari luar dan dalam daerah pabean melalui PMSE.
“Selaras dengan PPN, langkah yang diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk mengenakan PPh merupakan hal yang wajar dan telah dilakukan oleh negara-negara lain, seperti Israel, India, Inggris, Australia, Canada, Meksiko, Brazil, dan Turki,” bebernya. (Baca juga: Turki Siap Bangun Kembali Pelabuhan Beirut yang Hancur oleh Ledakan )
UU Nomor 2/2020 menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengenakan PPh dan PTE atas penghasilan dari ekonomi digital dengan tidak lagi mendasarkan pada physical presence melainkan ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. Namun demikian, untuk melaksanakan ketentuan ini masih diperlukan Peraturan Pelaksanaan yang mengatur kriteria SEP, tarif, dan DPP PTE.
Dalam pembahasan OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) saat ini mengerucut pada Unified Approach sebagai langkah pengenaan PPh atas transaksi digital. Dimana basis pemajakan baru berdasarkan adanya penjualan di negara pasar.
Selain itu Unfied Approach mengalokasikan laba dengan mendasarkan pada formula tertentu serta mencakup tidak hanya automated digital business (ADS) tetapi juga consumer facing business (CFB) yang memenuhi kriteria tertentu.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Kemenkeu adalah terus menyempurnakan konsep aturan pelaksaanaan pengenaan PPh dan PTE atas transaksi digital, terus aktif dalam diskusi internasional dalam mencapai dan mendukung adanya konsensus global 2020, serta melakukan analisis mendalam atas potensi pajak ekonomi digital.
“Kita jangan membatasi pikiran kita hanya dengan persoalan pajak, tapi melihat bagaimana Pemerintah Indonesia ingin supaya industri digital Indonesia bisa memiliki keputusan hukum yang jelas. Sehingga, Pemerintah tidak gagap dalam menghadapi pertumbuhan ekonomi digital yang sangat pesat ini dan dapat menciptakan lingkungan ekonomi digital yang kondusif bagi pelaku usaha kreatif digital, baik pelaku usaha yang besar maupun UMKM,” paparnya.
(ind)