RPP Kesehatan Dinilai Bakal Gerus Triliunan Penerimaan Negara
loading...
A
A
A
Hasil perhitungan INDEF menunjukkan bahwa kerugian ekonomi secara agregat yang akan ditanggung oleh negara akibat pasal tembakau di RPP Kesehatan ini sebesar Rp103,08 triliun. Sementara, pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan akibat konsumsi rokok secara langsung dan tidak langsung sebesar Rp34,1 triliun.
Peneliti dari Center of Industry, Trade and Investment INDEF, Ahmad Heri Firdaus, menjelaskan bahwa biaya kesehatan yang ditanggung tidak lebih besar jika dibandingkan dengan biaya ekonomi yang ditanggung negara.
Selain dampak ekonomi, INDEF juga mengukur seberapa besar tenaga kerja yang terdampak akibat pasal-pasal tembakau tersebut. Setidaknya akan ada penurunan tenaga kerja hingga 10,08% di sektor industri tembakau dan menurunnya serapan tenaga kerja di perkebunan tembakau hingga 17,16%.
Untuk itu, jika pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan ini diterapkan, Pemerintah perlu bersiap untuk menghadapi gelombang pengangguran besar, yang tentunya akan akan memicu konsekuensi ekonomi maupun sosial.
Di kesempatan berbeda, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nusa Tenggara Barat (NTB), Sahminuddin, menjelaskan bahwa PP Nomor 109 Tahun 2012 yang merupakan peninggalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah memberikan pukulan bagi nasib para petani tembakau, dan Presiden Jokowi berpotensi mengulanginya lagi.
Dijelaskan Sahminuddin, PP Nomor 109 Tahun 2012 yang ditetapkan pada Desember oleh Presiden SBY menandai sebagai Desember Kelabu bagi para petani tembakau.
"Jika RPP Kesehatan ini disahkan, maka Presiden Jokowi akan mengulang Desember Kelabu Kedua,” ungkapnya. Diketahui, Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu daerah sentra penghasil tembakau varian virginia.
Sementara, perwakilan dari Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Ketut Budiman, menekankan bahwa suara petani cengkeh seringkali tidak didengarkan oleh Pemerintah, padahal sebanyak 95% produksi cengkeh diserap oleh industri tembakau, dan kehadiran pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan akan berdampak pada penyerapan cengkeh tersebut.
“Cengkeh jadi yang terdampak pertama karena kebutuhan rokok kretek hanya dapat terpenuhi dari produksi dalam negeri,” ujar Budiman.
Peneliti dari Center of Industry, Trade and Investment INDEF, Ahmad Heri Firdaus, menjelaskan bahwa biaya kesehatan yang ditanggung tidak lebih besar jika dibandingkan dengan biaya ekonomi yang ditanggung negara.
Selain dampak ekonomi, INDEF juga mengukur seberapa besar tenaga kerja yang terdampak akibat pasal-pasal tembakau tersebut. Setidaknya akan ada penurunan tenaga kerja hingga 10,08% di sektor industri tembakau dan menurunnya serapan tenaga kerja di perkebunan tembakau hingga 17,16%.
Untuk itu, jika pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan ini diterapkan, Pemerintah perlu bersiap untuk menghadapi gelombang pengangguran besar, yang tentunya akan akan memicu konsekuensi ekonomi maupun sosial.
Di kesempatan berbeda, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nusa Tenggara Barat (NTB), Sahminuddin, menjelaskan bahwa PP Nomor 109 Tahun 2012 yang merupakan peninggalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah memberikan pukulan bagi nasib para petani tembakau, dan Presiden Jokowi berpotensi mengulanginya lagi.
Dijelaskan Sahminuddin, PP Nomor 109 Tahun 2012 yang ditetapkan pada Desember oleh Presiden SBY menandai sebagai Desember Kelabu bagi para petani tembakau.
"Jika RPP Kesehatan ini disahkan, maka Presiden Jokowi akan mengulang Desember Kelabu Kedua,” ungkapnya. Diketahui, Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu daerah sentra penghasil tembakau varian virginia.
Sementara, perwakilan dari Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Ketut Budiman, menekankan bahwa suara petani cengkeh seringkali tidak didengarkan oleh Pemerintah, padahal sebanyak 95% produksi cengkeh diserap oleh industri tembakau, dan kehadiran pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan akan berdampak pada penyerapan cengkeh tersebut.
“Cengkeh jadi yang terdampak pertama karena kebutuhan rokok kretek hanya dapat terpenuhi dari produksi dalam negeri,” ujar Budiman.