Ekonom: Political Overheating Bayangi Ekonomi di 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Muhammadiyah Mukhaer Pakanna memprediksi akan terjadi political overheating pada 2024 yang turut memengaruhi perekonomian nasional. Pemilik modal diyakini akan sangat berhati-hati dalam mengelontorkan dananya.
Menurut Mukhaer, perubahan dinamika politik mencuat pada pemilihan 2024, di mana pembelahan bukan hanya berbasis identitas agama, suku, dan etnis seperti sebelumnya, melainkan lebih menekankan unsur negara atau nonnegara, status quo dan nonstatus quo, perubahan dan keberlanjutan.
Terkait dengan itu, Mukhaer menilai semua pemilik modal raksasa akan sangat berhati-hati dalam mengelontorkan dananya. Mereka cenderung bersikap wait and see, menahan investasi untuk proyek strategis dan jangka panjang, dan lebih memilih mendanai kandidat dengan elektabilitas tinggi.
"Justru, belanja politik yang akan menjadi penopang ekonomi pada awal 2024 nanti. Bayangkan biaya perhelatan demokrasi untuk KPU saja mencapai Rp76,6 triliun, belum biaya kontestasi tiga paslon capres-cawapres dan caleg-caleg yang jumlahnya 9.917 orang," ujar Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta Periode 2018-2023 ini, melalui keterangan tertulis, Sabtu (30/12/2023).
Di tengah ketidakpastian geopolitik global, termasuk eskalasi konflik di Timur Tengah dan Rusia-Ukraina, serta melemahnya daya beli masyarakat dunia, Mukhaer menyoroti masalah internal seperti tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia, rendahnya Total Factor Productivity (TFP), dan gejala deindustrialisasi yang memengaruhi kontribusi manufaktur terhadap PDB.
"Angka ICOR Indonesia tinggi mendekati 7,4%, sedangkan rerata negara ASEAN hanya 3,5%. Artinya, masih rendahnya produktivitas, rendahnya daya saing, inefisiensi, angka korupsi yang tinggi, dan menjamurnya biaya siluman dalam birokrasi ekonomi. Selain itu, TFP Indonesia juga masih di bawah banyak negara lain. Indonesia juga mengalami gejala deindustrialisasi, yang diindikasikan dengan menurunnya kontribusi manufaktur terhadap PDB," tambahnya.
Pandangan ini, kata Mukhaer, mencerminkan keprihatinan terhadap tantangan ekonomi dan politik yang kompleks di tahun-tahun mendatang. Karena itu, tegas dia, pemilihan 2024 akan menjadi penentu arah bangsa untuk dekade yang akan datang.
"Karena itu, penting memilih paslon dengan jelas, karena keputusan ini akan berdampak kemungkinan besar 10 tahun atau dua periode hingga 2034. Suatu rentang kekuasaan yang akan mendeterminasi nasib bagaimana kita mengelola bonus demografi agar tidak menyeret ke tiang sejarah malapetaka demografi. Jualan Indonesia Emas hanya sekadar khayalan kosong jika salah memilih paslon," tandasnya.
Menurut Mukhaer, perubahan dinamika politik mencuat pada pemilihan 2024, di mana pembelahan bukan hanya berbasis identitas agama, suku, dan etnis seperti sebelumnya, melainkan lebih menekankan unsur negara atau nonnegara, status quo dan nonstatus quo, perubahan dan keberlanjutan.
Terkait dengan itu, Mukhaer menilai semua pemilik modal raksasa akan sangat berhati-hati dalam mengelontorkan dananya. Mereka cenderung bersikap wait and see, menahan investasi untuk proyek strategis dan jangka panjang, dan lebih memilih mendanai kandidat dengan elektabilitas tinggi.
"Justru, belanja politik yang akan menjadi penopang ekonomi pada awal 2024 nanti. Bayangkan biaya perhelatan demokrasi untuk KPU saja mencapai Rp76,6 triliun, belum biaya kontestasi tiga paslon capres-cawapres dan caleg-caleg yang jumlahnya 9.917 orang," ujar Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta Periode 2018-2023 ini, melalui keterangan tertulis, Sabtu (30/12/2023).
Di tengah ketidakpastian geopolitik global, termasuk eskalasi konflik di Timur Tengah dan Rusia-Ukraina, serta melemahnya daya beli masyarakat dunia, Mukhaer menyoroti masalah internal seperti tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia, rendahnya Total Factor Productivity (TFP), dan gejala deindustrialisasi yang memengaruhi kontribusi manufaktur terhadap PDB.
"Angka ICOR Indonesia tinggi mendekati 7,4%, sedangkan rerata negara ASEAN hanya 3,5%. Artinya, masih rendahnya produktivitas, rendahnya daya saing, inefisiensi, angka korupsi yang tinggi, dan menjamurnya biaya siluman dalam birokrasi ekonomi. Selain itu, TFP Indonesia juga masih di bawah banyak negara lain. Indonesia juga mengalami gejala deindustrialisasi, yang diindikasikan dengan menurunnya kontribusi manufaktur terhadap PDB," tambahnya.
Pandangan ini, kata Mukhaer, mencerminkan keprihatinan terhadap tantangan ekonomi dan politik yang kompleks di tahun-tahun mendatang. Karena itu, tegas dia, pemilihan 2024 akan menjadi penentu arah bangsa untuk dekade yang akan datang.
"Karena itu, penting memilih paslon dengan jelas, karena keputusan ini akan berdampak kemungkinan besar 10 tahun atau dua periode hingga 2034. Suatu rentang kekuasaan yang akan mendeterminasi nasib bagaimana kita mengelola bonus demografi agar tidak menyeret ke tiang sejarah malapetaka demografi. Jualan Indonesia Emas hanya sekadar khayalan kosong jika salah memilih paslon," tandasnya.
(fjo)