Industri Rokok Dinilai Terbebani Kebijakan Restriktif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Syamsul Arifin berpandangan petani tembakau yang jumlahnya jutaan memiliki kontribusi besar bagi penerimaan negara namum keberadaan mereka terancam dengan kebijakan pemerintah. Hal itu dikatakan dalam Seminar Nasional Cakap Cukai dan Bedah Buku, baru-baru ini.
"Diharapkan dari diskusi ini bisa memberikan sumbangsih pemikiran bagi pemerintah atau negara atas keberlangsungan ekosistem pertembakauan berpihak pada masyarakat," ujar Prof. Syamsul Arifin.
Sementara, Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun menegaskan Indonesia perlu kepemimpinan yang mendukung kepentingan nasional agar industri hasil tembakau (IHT) tidak terus dipojokkan dengan kebijakan yang restriktif. Hal itu mengingat terdapat 300-an regulasi baik di tingkat undang undang sampai dengan Peraturan Daerah yang dibuat oleh pemerintah dinilai mengganggu iklim usaha rokok nasional.
"Diperlukan pemimpin yang mampu melakukan harmonisasi regulasi penting untuk kelangsungan IHT dan memberi arah yang jelas bagi seluruh kepentingan ekosistem pertembakauan," tegas Misbakhun secara terpisah.
Misbakhun mengingatkan adanya tekanan kepentingan global lewat Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), ditambah lagi dengan polemik RPP Kesehatan tembakau dipastikan petani tembakau dan cengkeh, termasuk pemda penerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) akan terus merana. Padahal, IHT sudah terbukti jelas menjadi tulang punggung penerimaan APBN, dengan setoran cukai sekitar Rp300 triliun setiap tahunnya serta menyerap jutaan tenaga kerja nasional.
"Sampai sekarang kalau cara pemerintah mengelola IHT nasional masih seperti ini, maka perdebatannya tak akan selesai dalam 3 tahun yang akan datang. Harusnya dimasukkan dalam desat capres-cawapres karena menyangkut jutaan tenaga kerja, menyangkut Rp300 triliun penerimaan negara," tegasnya.
Dia mengatakan RPP Kesehatan tembakau menjadi alat yang dinilai paling jahat dalam mengganjal IHT nasional, karena hanya melihat satu aspek kesehatan saja.
"Saya berharap pasal yang berkaitan dengan IHT di RPP ini bisa dibatalkan atau dikeluarkan terlebih dahulu dari RPP Kesehatan sebelum ada analisis yang cukup mendalam terkait dampak ekonomi dan juga sektor-sektor terkait, yaitu pertanian, periklanan, ritel, tenaga kerja, dan sektor lain," kata Misbakhun.
Misbakhun menilai RPP Kesehatan yang masuk terlalu dalam ke industri tembakau menafikan hak-hak lain yang juga dijamin Konstitusi seperti petani tembakau. Akibatnya para petani dan buruh tembakau dirugikan.
"Diharapkan dari diskusi ini bisa memberikan sumbangsih pemikiran bagi pemerintah atau negara atas keberlangsungan ekosistem pertembakauan berpihak pada masyarakat," ujar Prof. Syamsul Arifin.
Sementara, Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun menegaskan Indonesia perlu kepemimpinan yang mendukung kepentingan nasional agar industri hasil tembakau (IHT) tidak terus dipojokkan dengan kebijakan yang restriktif. Hal itu mengingat terdapat 300-an regulasi baik di tingkat undang undang sampai dengan Peraturan Daerah yang dibuat oleh pemerintah dinilai mengganggu iklim usaha rokok nasional.
"Diperlukan pemimpin yang mampu melakukan harmonisasi regulasi penting untuk kelangsungan IHT dan memberi arah yang jelas bagi seluruh kepentingan ekosistem pertembakauan," tegas Misbakhun secara terpisah.
Misbakhun mengingatkan adanya tekanan kepentingan global lewat Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), ditambah lagi dengan polemik RPP Kesehatan tembakau dipastikan petani tembakau dan cengkeh, termasuk pemda penerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) akan terus merana. Padahal, IHT sudah terbukti jelas menjadi tulang punggung penerimaan APBN, dengan setoran cukai sekitar Rp300 triliun setiap tahunnya serta menyerap jutaan tenaga kerja nasional.
"Sampai sekarang kalau cara pemerintah mengelola IHT nasional masih seperti ini, maka perdebatannya tak akan selesai dalam 3 tahun yang akan datang. Harusnya dimasukkan dalam desat capres-cawapres karena menyangkut jutaan tenaga kerja, menyangkut Rp300 triliun penerimaan negara," tegasnya.
Dia mengatakan RPP Kesehatan tembakau menjadi alat yang dinilai paling jahat dalam mengganjal IHT nasional, karena hanya melihat satu aspek kesehatan saja.
"Saya berharap pasal yang berkaitan dengan IHT di RPP ini bisa dibatalkan atau dikeluarkan terlebih dahulu dari RPP Kesehatan sebelum ada analisis yang cukup mendalam terkait dampak ekonomi dan juga sektor-sektor terkait, yaitu pertanian, periklanan, ritel, tenaga kerja, dan sektor lain," kata Misbakhun.
Misbakhun menilai RPP Kesehatan yang masuk terlalu dalam ke industri tembakau menafikan hak-hak lain yang juga dijamin Konstitusi seperti petani tembakau. Akibatnya para petani dan buruh tembakau dirugikan.