Perlu Solusi Kolaboratif Menghadapi Kompleksitas Isu Sawit

Rabu, 02 Mei 2018 - 13:50 WIB
Perlu Solusi Kolaboratif Menghadapi Kompleksitas Isu Sawit
Perlu Solusi Kolaboratif Menghadapi Kompleksitas Isu Sawit
A A A
NUSA DUA - Pengelolaan isu-isu seputar kelapa sawit dan lingkungannya yang kerap menjadi sorotan perlu dilakukan secara kolaboratif dan terarah. Penggunaan teknologi digital juga sudah saatnya diterapkan untuk menjaga lingkungan, meningkatkan produktivitas, serta memperluas lapangan kerja.

Rekomendasi tersebut mengerucut pada International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) 2018 yang digelar di Nusa Dua, Bali, pekan kemarin. Dalam konferensi diikuti 500 peserta dari 30 negara tersebut juga mengemuka bahwa pendekatan kolaboratif akan lebih efektif untuk merespons ancaman boikot produk-produk sawit seperti yang dikeluarkan sejumlah negara Eropa. Langkah ini penting karena dengan komitmen bersama, maka akan menciptakan komunikasi positif dan terhindar dari kesalahpahaman.

Negara-negara produsen sawit seperti Indonesia hakikatnya sudah melakukan banyak hal untuk merespons positif atas rekomendasi produk disyaratkan Eropa. Di sisi lain, tekad negara-negara Eropa dalam mewujudkan minyak sawit berkelanjutan (sustainable palm oil) merupakan bagian upaya bersama pentingnya merawat bumi agar bisa terus lestari. "Upaya menjaga kehidupan hayati misalnya, sepakat perlu dilakukan tak hanya saat menanam, tapi sepanjang waktu selama sawit hidup," ujar Chairman ICOPE 2018 JP Caliman.

Dorongan perlunya solusi kolaboratif juga disampaikan James Fry dari LMC International dan Eddy Esselink dari Aliansi Sawit Eropa (European Palm Oil Alliance/EPOA). LMC selama ini dikenal sebagai lembaga konsultan yang memberi laporan kepada Komisi Eropa terkait deforestasi, dampak karbon atas perkebunan sawit dan produk agrobisnis lainnya.

Pada 17 Januari lalu, seperti diketahui, parlemen Uni Eropa menyepakati penghapusan penggunaan produk kelapa sawit dan bahan bakar alami (biofuel) dengan bahan dasar tanaman maksimal 2021 mendatang. Negara-negara Uni Eropa juga berencana menekan hingga 7% penggunaan sawit bagi sumber energi terbarukan transportasi hingga 2030 mendatang.

James Fry menilai, kendati diusulkan parlemen Eropa namun masukkan soal boikot produk sawit belum final. Pasalnya, untuk bisa menjadi kebijakan, masih perlu persetujuan dari Komisi Eropa dan Dewan Menteri. Kebijakan itu juga harus mendapat 55% atau minimal 16 dari 28 negara di Eropa. Dengan dasar ini, masih ada ruang mencari titik temu untuk merespons masalah ini. "Tekanan dari negara produsen besar sawit, seperti Indonesia dan Brasil juga penting untuk memengaruhi putusan Komisi Eropa," ujarnya.

James mengakui dari riset LMC selama ini, pihaknya menemukan data empiris soal deforestasi, menipisnya lapisan ozon, masalah pekerja sawit, dan lainnya. Di sisi lain, industri-industri sawit nyatanya juga memiliki banyak dampak positifnya terhadap ekonomi, seperti pemberian upah, peningkatan kesejahteraan warga, dan pertumbuhan negara.

Ketergantungan Eropa akan minyak sawit juga ter golong besar karena mencapai 65% dari total kebutuhan dunia. Kandungan sawit juga diakui lebih baik dibandingkan minyak nabati lain seperti kedelai. Ini menunjukkan ada relasi kuat antara sawit dan ekonomi. "Untuk itu perlu ada keseimbangan antara dampak ekonomi sawit dan sosialnya," ujarnya.

Pemenuhan standar global sebagaimana disyaratkan lewat sertifikasi seperti International Sustainability and Carbon Certification (ISCC), Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) saat ini juga masih rendah. Hal ini jelas memengaruhi daya beli masyarakat Eropa akan sawit dan produk agrobisnis lainnya.

Eddy Esselink dari Aliansi Sawit Eropa (EPOA) juga menilai, Eropa saat ini sangat membutuhkan informasi-informasi positif atas komitmen sustainable palm oil. Dia melihat Indonesia, Malaysia, dan negara-negara produsen, sudah merespons banyak keinginan Eropa dengan beragam program, seperti penanaman kembali bekas hutan, pencegahan kebakaran, pelestarian hayati, dan sebagainya.

Pemerintah Indonesia bersama kalangan industri dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga aktif bekerja. "Tapi, Eropa butuh narasi atas update upaya deforestasi dan lainnya. Perlu kiranya negara produsen juga membuat perwakilan agar ada informasi lebih jelas sehingga menciptakan keseimbangan," ujar anggota The Netherlands Oil and Fats Oragnisation ini.

Direktur Utama PT Sinar Mas Agrobusiness and Food Daud Dharsono juga menilai industri sawit mendesak memerlukan riset multidisipliner yang bersifat terapan. Inovasi yang muncul akan sangat berguna tak hanya bagi industri, tapi petani kebun (smallholder).
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4717 seconds (0.1#10.140)