Mengulas Tantangan, Dampak, dan Strategi dalam Penerapan PMK 172/2023

Sabtu, 27 Januari 2024 - 15:49 WIB
loading...
Mengulas Tantangan,...
Melalui webinar bertajuk Navigating the New Indonesian Transfer Pricing Guidelines, Taxprime menguraikan pokok-pokok perubahan, dampak, tantangan dan strategi implementasi PMK Nomor 172 Tahun 2023. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. Maka untuk membahas seluk beluk PMK 172/2023 yang berlaku mulai berlaku 29 Desember 2023 ini, Taxprime menggelar webinar bertajuk Navigating the New Indonesian Transfer Pricing Guidelines (MoFR-172/2023): Updates, Impacts, and Regional Perspectives, Jumat (26/1).



Senior Manager TaxPrime Muhamad Noprianto menjelaskan, PMK-172 merupakan follow up dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan peraturan pelaksanaannya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dan PP Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan .



PMK mengatur mengenai penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU), Mutual Agreement Procedure (MAP), dan Advance Pricing Agreement (APA) ini merupakan respons strategis terhadap amandemen terbaru dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Undang-Undang Perpajakan (KUP).

“PMK Nomor 172 Tahun 2023 ini sangat menarik karena merupakan ketentuan yang bersifat omnibus yang menggabungkan berbagai ketentuan terkait transfer pricing, MAP, APA, termasuk memberikan klarifikasi dan menyempurnakan ketentuan yang lama," jelasnya.

"Perlu dicatat juga bahwa PMK Nomor 172 ini mulai berlaku sejak 29 Desember 2023. Khusus untuk penyelenggaraan TP-Doc (Transfer Pricing Documentation), Wajib Pajak harus menerapkan ketentuan dalam PMK ini untuk tahun pajak 2024,” jelas Nopri.

Melalui webinar tersebut, Taxprime menguraikan pokok-pokok perubahan, dampak, tantangan dan strategi implementasi PMK Nomor 172 Tahun 2023 tersebut.

Secara komprehensif dan elaboratif, pembahasan dalam webinar yang diikuti oleh sekitar 1.400 peserta ini terbagi dalam dua topik diskusi panel. Diskusi panel I mengusung topik PMK Nomor 172 Tahun 2023: update, tantangan dan dampak dalam rangka pemenuhan kepatuhan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU), dengan panelis Managing Partner Transfer Pricing Compliance and International Tax TaxPrime Emanuel Dewo Adi Winedhar dan Senior Manager TaxPrime Muhamad Noprianto, serta dipandu oleh moderator Manager TaxPrime Bayu Rahmat Rahayu.

Diskusi Panel II mengusung topik Cross-Border Insights: Perspektif atas Perubahan Regulasi Transfer Pricing di Indonesia serta update ketentuan transfer pricing dari beberapa negara, dengan panelis dari Yuri Numata (KPMG Japan) dan Steve Minhoo Kim (Lee & Ko South Korea), serta dipandu oleh moderator Manager TaxPrime Bobby Savero.

“Mengingat PMK ini bersifat omnibus dan mengkodifikasi berbagai aspek transfer pricing, maka dapat kita sebut sebagai the Indonesian Transfer Pricing Guidelines,” ujar Manager TaxPrime, Bayu Rahmat Rahayu dalam pembukaannya.

Poin Penting Perubahan dalam PMK 172/2023

Nopri memerinci perubahan dan penyempurnaan dalam PMK Nomor 172 Tahun 2023, yaitu terkait hubungan istimewa. Ia juga menekankan, bahwa Wajib Pajak perlu sangat memerhatikan aspek hubungan istimewa sebagai pintu masuk (entry point) atas kewajiban dalam melakukan penetapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PPKU).

“Terdapat penegasan bahwa ex-ante harus digunakan dalam menerapkan PKKU. Pendekatan ex-ante merupakan pendekatan penetapan harga transfer yang dilakukan untuk menerapkan PKKU pada saat sebelum/saat transaksi dilakukan (price-setting approach),” jelas Nopri.

Kemudian, penegasan atas preferensi pendekatan segregasi serta terdapat beberapa perubahan terkait tahapan pendahuluan dalam PKKU. Hal-hal tersebut seirama dengan OECD Transfer Pricing Guidelines chapter 6-10.

“Hal yang menarik di sini adalah tambahan adanya perubahan dalam tahapan pendahuluan berupa tambahan atas transaksi tertentu, yakni transaksi keuangan lainnya. Hal ini searah dengan perubahan dalam OECD Transfer Pricing Guidelines tahun 2022, yaitu penambahan chapter 10—financial transaction,” jelas Nopri.

Selanjutnya hal yang patut diapresiasi adalah penambahan penjelasan yang lebih detail dalam aturan PMK Nomor 172 Tahun 2023 terkait analisis industri dan perluasan definisi manfaat ekonomis. Ada pula perubahan terkait kesejajaran metode Comparable Uncontrolled Price (CUP) dan Comparable Uncontrolled Transaction (CUT) dalam penentuan harga transfer.

“Dalam PMK tersebut, juga ditegaskan kembali mengenai penggunaan metode valuasi bisnis dan aset. Wajib Pajak perlu memperhatikan penerapannya dengan mengacu pada PMK 79 tahun 2023 tentang Tata Cara Penilaian untuk Tujuan Perpajakan,” tambah Nopri.

Di sisi lain, Managing Partner Transfer Pricing Compliance and International Tax TaxPrime Emanuel Dewo Adi Winedhar menyebutkan, terdapat dampak berupa koreksi kewajaran yang perlu dimitigasi Wajib Pajak dalam penerapan PKKU. Di antaranya terdapat pengaturan mengenai mekanisme primary adjustment, mekanisme secondary adjustment, klarifikasi dan limitasi kewenangan DJP dalam koreksi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan corresponding adjustment.

“Pada prinsipnya hal yang ingin kami highlight bahwa dalam ketentuan PMK sebelumnya, terutama di PMK Nomor 22 Tahun 2020 masih terdapat kemungkinan potential double taxation, karena memang belum diatur secara spesifik terkait dengan corresponding adjustment. Tetapi dengan adanya PMK 172 Tahun 2023, corresponding adjustment ditegaskan dapat dilaksanakan dan itu memudahkan Wajib Pajak,” jelas Dewo.

Secara simultan, PMK Nomor 172 Tahun 2023 juga menambah ketentuan serta mempertegas mengenai ketentuan terkait Mutual Agreement Procedure (MAP) dan Advance Pricing Agreement (APA) yang telah diatur dalam ketentuan sebelumnya.

Menurut Dewo, hal ini menandakan langkah progresif DJP yang dapat memberikan keadilan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, terutama terkait peniadaan sanksi administrasi atas konsekuensi hasil APA, masih terdapatnya kemungkinan Unilateral APA dalam hal terdapat pencabutan permohonan Bilateral APA/Multilateral APA, serta terdapatnya tambahan waktu untuk melakukan penyampaian atas pembaharuan APA.

“Sangat penting dipahami bahwa PMK-172 ini memperhatikan aspek keadilan dan kepastian, baik bagi Wajib Pajak maupun DJP,” tambah Dewo.

Sudut Pandang Global

Dalam perspektif global, Partner/Senior Foreign Attorney Kee & Ko South Korea Stave Minhoo Kim mengapresiasi amandemen regulasi penetapan transfer pricing di Indonesia yang dituangkan dalam PMK Nomor 172 Tahun 2023. Ia menganalisis, perubahan yang dilakukan Indonesia sangat komprehensif, khususnya terkait mekanisme APA.

“Masalah transfer pricing Indonesia bagi grup-grup usaha atau Wajib Pajak Korea yang sangat mencolok bagi saya, khusunya penerapan PKKU. Saya mendapatkan kesan bahwa Pemerintah Indonesia berusaha menjaga relevansi ketentuan domestik dengan perkembangan OECD dengan menyelaraskan regulasi dan mempertimbangkan bahwa pemerintah sangat menekankan analisis industri dan tahapan penerapan PPKU untuk memberikan kepastian hukum,” ungkap Kim.

Hal senada juga diungkapkan oleh Partner Transfer Pricing KPMG Tax Corporation Japan Yuri Numata. Menurutnya, PMK Nomor 172 Tahun 2023 memberikan penjelasan dan ketenangan dari berbagai aspek, khususnya bagi perusahaan Jepang yang berada di Indonesia.

“Jepang juga mengadopsi panduan transfer pricing OECD sebagai dasar untuk peraturan dan penegakan hukum. Sekarang, PMK Nomor 172 Tahun 2023 mulai berlaku, saya percaya ini memberikan gambaran yang jauh lebih jelas bagi Wajib Pajak Indonesia, termasuk perusahaan-perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia atau Asia,” pungkas Numata.

Dalam sesi tanya jawab pada sesi yang kedua, Manager TaxPrime Bobby Savero juga menggarisbawahi hal yang sangat penting berdasarkan hasil diskusi dengan panelis-panelis yang mewakili yurisdiksi mitra utama ekonomi Indonesia tersebut, di mana dalam menghadapi ketidakpastian perpajakan dan bisnis, khususnya dalam praktik transfer pricing di Indonesia menjadi penting pemenuhan kepatuhan maupun pada proses APA.

Hal ini untuk memastikan keutuhan informasi dan disampaikan secara terbuka di muka, sehingga merepresentasikan situasi yang sebenarnya dan seimbang, serta dapat menghasilkan analisis transfer pricing yang akurat.

Sebagai informasi, TaxPrime adalah konsultan pajak yang berdiri tahun 2012 dan memiliki lebih dari 200 advisor, di mana 26 di antaranya memiliki pengalaman sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang menduduki berbagai posisi. Dua dari 26 advisornya adalah mantan Direktur Jenderal Pajak Indonesia, pejabat tertinggi di otoritas pajak Indonesia.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1590 seconds (0.1#10.140)