Ramai-ramai Guru Besar Minta Audit Investigasi Bansos Jokowi Nyaris Rp500 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Program bantuan sosial ( bansos ) kerap dikaitkan sebagai komoditas elektoral. Hal ini tidak terlepas dari temuan sejumlah bansos yang memuat pesan atau gambar pasangan calon tertentu. Bantuan sosial berupa beras ukuran 10 kilogram misalnya dengan gambar pasangan calon peserta pilpres ditemukan di beberapa daerah di Jawa Tengah dan fotonya beredar di aplikasi percakapan whatsapp.
"Bansos sekarang sudah menjadi alat politik. Indikasinya pertama, Penggelontoran besar-besaran bansos sekira Rp500 triliun dan terbesar salama reformasi, tidak didukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan," ujar Guru Besar Universitas Paramadina, Prof. Didin S Damanhuri dalam diskusi online yang digelar Universitas Paramadia dan LP3ES, Rabu (8/2/2024).
Baca Juga: Jokowi Blokir Anggaran Kementerian Rp50 Triliun Buat Tambah Bansos, Ganjar Sebut Ugal-ugalan
Dia menegaskan apabila bansos digelontorkan sangat besar menandakan bahwa kemiskinan kembali meningkat. Namun faktanya, kemiskinan sudah agak menurun, dan itu pertanda bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang Pilpres 2024.
Lebih parah lagi, pembagian bansos dilakukan Presiden Jokowi sendiri, bukan menteri sosial. Padahal kuasa pemegang anggaran ada di Menteri Sosial Tri Rismaharini yang tidak dalam keadaan berhalangan atau sakit.
"Kondisi ini memperkuat bahwa terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan Pilpres. Di banyak daerah pembagian bansos bahkan dilabeli dengan Paslon 02 dengan pesan jika paslon 01 dan 02 menang maka bansos tidak lagi dibagikan," ungkapnya.
Lebih lanjut, Bansos sebagai instrumen pemenangan politik adalah bagian dari konstruksi politik Otoritarian. Suara-suara kampus dan civil society tidak diindahkan, bahkan tidak ada dialog sebagaimana dulu Soeharto mengadakan dialog dengan para mahasiswa. "Itulah yang disebut gejala otorianisme baru," jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan Dosen UGM Elan Satriawan. Dia menegaskan bansos saat ini memang sudah menjadi alat tujuan politik.
Strategi penanggulangan kemiskinan yang terlalu happy pada bansos akan menjadikan bansos rentan politisasi.
"Bansos penting untuk penanggulangan kemiskinan, tapi masih begitu banyak tantangan yang dihadapi untuk menjadikan bansos efektif seperti yang diharapkan. Dan tanpa politisasi pun masalah-masalah itu masih terhampar di depan kita. Apalagi dengan masalah politisasi," jelasnya.
Dia menegaskan untuk menanggulangi kemiskinan bukan dengan bansos karena fungsinya hanya safety net atau jaring pengaman sosial. Fungsi menahan, namun tidak bisa mengangkat kesejahteraan signifikan dalam jangka pendek.
Sebeb itu, butuh kehadiran negara dengan program yang bisa mengungkit atau mengangkat kapasitas ekonomi dari masyarakat bawah seperti pengembangan usaha, UMKM dan inkusivitas yang lain.
"Sayangnya program-program di atas tidak secara efektif dan sistematis dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan. Yang dikenal masyarakat penanggulangan kemiskinan adalah bansos," tandasnya.
Sementara, Dosen Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati menyoroti anggaran bansos yang mengalami kenaikan tahun ini. Dia beranggapan kenaikan anggaran bansos menjadi Rp496 triliun tahun ini dibandingkan periode lalu sebesar Rp476 triliun memang besar. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya tidak mencapai sasaran secara absolut tetapi juga soal pemerataan.
Dana bansos yang paling besar pada 2020 sebesar Rp498 triliun di era pandemi Covid-19 kemudian turun menjadi Rp397 triliun pada 2021. Lalu, naik lagi pada 2022 sebesar Rp431 triliun dan Rp476 triliun di 2023.
"Dari angka-angka itu memang ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul, yakni kepentingan politik," jelas Ninasapti.
Dia mengatakan peningkatan bansos seharusnya hanya bisa terjadi dalam situasi insidental seperti di masa Covid-19, dan menjadi aneh jika pada 2024 pertumbuhan angka dana bansos sedemikian tinggi. Tambahan dananya pun diperoleh dengan memotong anggaran sehingga perlu adanya audit investigasi.
"Di situlah timbul pertanyaan, dan sekaligus muncul potensi korupsi yang demikian besar. Apakah itu akan menjadi sebuah korupsi kebijakan, yang seharusnya kebijakan pengentasan kemiskinan diukur dengan target dan ketepatan sasaran," kata dia.
Direktur Pusat Media dan Birokrasi Wijayanto menegaskan bansos yang dibagikan saat pemilu merupakan suatu refleksi kegagalan negara memenuhi amanah konstitusi. "Permasalahan utama adalah bansos yang nominalnya tidak seberapa diberikan sebagai iming-iming politik transaksional," tandasnya.
"Bansos sekarang sudah menjadi alat politik. Indikasinya pertama, Penggelontoran besar-besaran bansos sekira Rp500 triliun dan terbesar salama reformasi, tidak didukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan," ujar Guru Besar Universitas Paramadina, Prof. Didin S Damanhuri dalam diskusi online yang digelar Universitas Paramadia dan LP3ES, Rabu (8/2/2024).
Baca Juga: Jokowi Blokir Anggaran Kementerian Rp50 Triliun Buat Tambah Bansos, Ganjar Sebut Ugal-ugalan
Dia menegaskan apabila bansos digelontorkan sangat besar menandakan bahwa kemiskinan kembali meningkat. Namun faktanya, kemiskinan sudah agak menurun, dan itu pertanda bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang Pilpres 2024.
Lebih parah lagi, pembagian bansos dilakukan Presiden Jokowi sendiri, bukan menteri sosial. Padahal kuasa pemegang anggaran ada di Menteri Sosial Tri Rismaharini yang tidak dalam keadaan berhalangan atau sakit.
"Kondisi ini memperkuat bahwa terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan Pilpres. Di banyak daerah pembagian bansos bahkan dilabeli dengan Paslon 02 dengan pesan jika paslon 01 dan 02 menang maka bansos tidak lagi dibagikan," ungkapnya.
Lebih lanjut, Bansos sebagai instrumen pemenangan politik adalah bagian dari konstruksi politik Otoritarian. Suara-suara kampus dan civil society tidak diindahkan, bahkan tidak ada dialog sebagaimana dulu Soeharto mengadakan dialog dengan para mahasiswa. "Itulah yang disebut gejala otorianisme baru," jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan Dosen UGM Elan Satriawan. Dia menegaskan bansos saat ini memang sudah menjadi alat tujuan politik.
Strategi penanggulangan kemiskinan yang terlalu happy pada bansos akan menjadikan bansos rentan politisasi.
"Bansos penting untuk penanggulangan kemiskinan, tapi masih begitu banyak tantangan yang dihadapi untuk menjadikan bansos efektif seperti yang diharapkan. Dan tanpa politisasi pun masalah-masalah itu masih terhampar di depan kita. Apalagi dengan masalah politisasi," jelasnya.
Dia menegaskan untuk menanggulangi kemiskinan bukan dengan bansos karena fungsinya hanya safety net atau jaring pengaman sosial. Fungsi menahan, namun tidak bisa mengangkat kesejahteraan signifikan dalam jangka pendek.
Sebeb itu, butuh kehadiran negara dengan program yang bisa mengungkit atau mengangkat kapasitas ekonomi dari masyarakat bawah seperti pengembangan usaha, UMKM dan inkusivitas yang lain.
"Sayangnya program-program di atas tidak secara efektif dan sistematis dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan. Yang dikenal masyarakat penanggulangan kemiskinan adalah bansos," tandasnya.
Baca Juga
Sementara, Dosen Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati menyoroti anggaran bansos yang mengalami kenaikan tahun ini. Dia beranggapan kenaikan anggaran bansos menjadi Rp496 triliun tahun ini dibandingkan periode lalu sebesar Rp476 triliun memang besar. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya tidak mencapai sasaran secara absolut tetapi juga soal pemerataan.
Dana bansos yang paling besar pada 2020 sebesar Rp498 triliun di era pandemi Covid-19 kemudian turun menjadi Rp397 triliun pada 2021. Lalu, naik lagi pada 2022 sebesar Rp431 triliun dan Rp476 triliun di 2023.
"Dari angka-angka itu memang ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul, yakni kepentingan politik," jelas Ninasapti.
Dia mengatakan peningkatan bansos seharusnya hanya bisa terjadi dalam situasi insidental seperti di masa Covid-19, dan menjadi aneh jika pada 2024 pertumbuhan angka dana bansos sedemikian tinggi. Tambahan dananya pun diperoleh dengan memotong anggaran sehingga perlu adanya audit investigasi.
"Di situlah timbul pertanyaan, dan sekaligus muncul potensi korupsi yang demikian besar. Apakah itu akan menjadi sebuah korupsi kebijakan, yang seharusnya kebijakan pengentasan kemiskinan diukur dengan target dan ketepatan sasaran," kata dia.
Direktur Pusat Media dan Birokrasi Wijayanto menegaskan bansos yang dibagikan saat pemilu merupakan suatu refleksi kegagalan negara memenuhi amanah konstitusi. "Permasalahan utama adalah bansos yang nominalnya tidak seberapa diberikan sebagai iming-iming politik transaksional," tandasnya.
(nng)