Awas, Harga Beras Dapat Mencapai 30 Ribu per Kilo, Ini Penyebabnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif, masyarakat Indonesia dihadapkan pada lonjakan harga beras yang bisa mencapai hingga Rp30 ribu per kilo. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat MPP mengatakan, peringatan ini bukan tanpa alasan.
Melainkan didasarkan pada serangkaian faktor dan kebijakan yang jika tidak segera ditangani, dapat memperburuk kondisi ketersediaan dan aksesibilitas beras bagi masyarakat luas.
"Salah satu penyebab utama yang dapat mendorong harga beras ke angka tersebut adalah kebijakan penggunaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk bantuan sosial menjelang pemilu 2024," terang Achmad Nur Hidayat, Rabu (28/2/2024).
Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2022, yang mengalihkan tanggung jawab penyaluran bantuan pangan beras dari Kementerian Sosial kepada Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog, telah menciptakan ambiguitas dalam peran Badan Pangan Nasional.
"Alih-alih memastikan ketersediaan stok beras , badan ini kini juga bertugas sebagai penyalur bantuan sosial. Akibat kebijakan tersebut, stok beras yang seharusnya aman dan mencukupi menjelang bulan puasa dan Lebaran kini berisiko menipis drastis," jelasnya.
Pada awal Januari, Bulog melaporkan memiliki stok beras sebanyak 1,4 juta ton. Namun, angka tersebut terkikis cepat akibat penyaluran bantuan sosial yang membutuhkan sekitar 660 ribu kg beras pada setiap tahapnya. Dengan kebutuhan yang besar dan stok yang berkurang, harga beras di pasaran terancam melonjak.
Selain itu, kebijakan impor beras yang diambil sebagai solusi jangka pendek juga menghadapi tantangan berat.
"Negara-negara pengekspor beras utama seperti Vietnam, Thailand, dan China telah mengumumkan kebijakan untuk tidak menjual berasnya ke luar negeri. Hal ini meningkatkan risiko kegagalan impor, yang jika terjadi, dapat mempercepat lonjakan harga beras," terangnya.
Sambung Achmad Nur Hidayat mengingatkan pentingnya beras sebagai komoditas pokok, situasi ini memerlukan tindakan cepat dan korektif dari DPR dan masyarakat sipil. Menurutnya DPR dan masyarakat sipil perlu melakukan Evaluasi dan Revisi Kebijakan: Memeriksa ulang kebijakan penggunaan CBP untuk bantuan sosial dan menimbang kembali kebijakan impor beras.
DPT dan masyarakat sipil perlu juga menuntut Ttransparansi dan Akuntabilitas tata kelola cadangan beras oleh Badan Pangan Nasional. Memastikan transparansi dalam pengelolaan stok beras dan akuntabilitas dalam penyaluran bantuan sosial.
"Tanpa langkah-langkah tersebut, masyarakat Indonesia berisiko menghadapi kenaikan harga beras yang signifikan, yang tidak hanya akan membebani masyarakat secara ekonomi tetapi juga mengancam ketahanan pangan nasional. Diperlukan kesadaran dan tindakan bersama untuk menghindari krisis yang tidak perlu ini," paparnya.
Melainkan didasarkan pada serangkaian faktor dan kebijakan yang jika tidak segera ditangani, dapat memperburuk kondisi ketersediaan dan aksesibilitas beras bagi masyarakat luas.
"Salah satu penyebab utama yang dapat mendorong harga beras ke angka tersebut adalah kebijakan penggunaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk bantuan sosial menjelang pemilu 2024," terang Achmad Nur Hidayat, Rabu (28/2/2024).
Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2022, yang mengalihkan tanggung jawab penyaluran bantuan pangan beras dari Kementerian Sosial kepada Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog, telah menciptakan ambiguitas dalam peran Badan Pangan Nasional.
"Alih-alih memastikan ketersediaan stok beras , badan ini kini juga bertugas sebagai penyalur bantuan sosial. Akibat kebijakan tersebut, stok beras yang seharusnya aman dan mencukupi menjelang bulan puasa dan Lebaran kini berisiko menipis drastis," jelasnya.
Pada awal Januari, Bulog melaporkan memiliki stok beras sebanyak 1,4 juta ton. Namun, angka tersebut terkikis cepat akibat penyaluran bantuan sosial yang membutuhkan sekitar 660 ribu kg beras pada setiap tahapnya. Dengan kebutuhan yang besar dan stok yang berkurang, harga beras di pasaran terancam melonjak.
Selain itu, kebijakan impor beras yang diambil sebagai solusi jangka pendek juga menghadapi tantangan berat.
"Negara-negara pengekspor beras utama seperti Vietnam, Thailand, dan China telah mengumumkan kebijakan untuk tidak menjual berasnya ke luar negeri. Hal ini meningkatkan risiko kegagalan impor, yang jika terjadi, dapat mempercepat lonjakan harga beras," terangnya.
Sambung Achmad Nur Hidayat mengingatkan pentingnya beras sebagai komoditas pokok, situasi ini memerlukan tindakan cepat dan korektif dari DPR dan masyarakat sipil. Menurutnya DPR dan masyarakat sipil perlu melakukan Evaluasi dan Revisi Kebijakan: Memeriksa ulang kebijakan penggunaan CBP untuk bantuan sosial dan menimbang kembali kebijakan impor beras.
DPT dan masyarakat sipil perlu juga menuntut Ttransparansi dan Akuntabilitas tata kelola cadangan beras oleh Badan Pangan Nasional. Memastikan transparansi dalam pengelolaan stok beras dan akuntabilitas dalam penyaluran bantuan sosial.
"Tanpa langkah-langkah tersebut, masyarakat Indonesia berisiko menghadapi kenaikan harga beras yang signifikan, yang tidak hanya akan membebani masyarakat secara ekonomi tetapi juga mengancam ketahanan pangan nasional. Diperlukan kesadaran dan tindakan bersama untuk menghindari krisis yang tidak perlu ini," paparnya.
(akr)