Garap Pasar Non-Tradisional, Industri Sawit Butuh Dukungan

Jum'at, 07 September 2018 - 02:33 WIB
Garap Pasar Non-Tradisional, Industri Sawit Butuh Dukungan
Garap Pasar Non-Tradisional, Industri Sawit Butuh Dukungan
A A A
KARACHI - Seruan pemerintah agar industri dalam negeri menggarap pasar ekspor non-tradisional ditanggapi positif oleh pengusaha kelapa sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Namun, untuk itu pengusaha juga membutuhkan dukungan riil dari pemerintah.

Pasalnya, untuk memasuki pasar baru yang permintaannya masih relatif kecil dan belum didukung ketersediaan infrastruktur yang memadai, produk sawit Indonesia harus sangat kompetitif. Dalam hal ini, pemerintah antara lain diharapkan mampu menerapkan regulasi yang fleksibel agar produk sawit yang diekspor berdaya saing.

"Kita diminta untuk membuka pasar-pasar non-tradisional, untuk itu kita butuh tools yang memadai, yang menjadi insentif bagi pengusaha," ungkap Wakil Ketua Umum Gapki Togar Sitanggang di sela Conference and Exhibition on Indonesian Palm Oil (CEIPO) 2018 di Karachi, Pakistan, Kamis (6/9/2018).

Dia mencontohkan pasar negara-negara Afrika yang saat ini permintaannya masih terbatas dalam volume kecil sekira 30-40 ton. Untuk pasar seperti ini, kata dia, pengusaha sawit Indonesia harus mengekspor sawit langsung dalam kemasan karena tidak ada fasilitas penampungan (storage) di tempat tujuan ekspor.

Agar layak, sekaligus mampu memberikan keuntungan yang memadai bagi pengusaha, penting untuk menekan biaya yang dapat menyebabkan harga produk yang diekspor tak kompetitif. "Misalnya dengan mengurangi atau menghilangkan pungutan yang dikenakan untuk ekspor tersebut," tuturnya.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menambahkan, fleksibilitas pemerintah juga dibutuhkan untuk menjaga agar pangsa minyak sawit Indonesia di pasar-pasar utama tidak tergerus. Joko mencontohkan pasar India, yang meski ekspornya secara volume menunjukkan peningkatan, namun pangsa pasarnya menurun.

Dia juga merujuk pada data yang disampaikan Chairman Pakistan Edible Oil Conference Abdul Rasheed Janmohammad saat berbicara dalam CEIPO 2018 yang menyebutkan bahwa di paruh pertama 2018, pangsa pasar sawit Indonesia di Pakistan menjadi sebesar 69% dan Malaysia 31%.

Padahal, di tahun 2017 pangsa pasar sawit Indonesia dan Malaysia di Pakistan masing-masing 80% dan 20%. Bahkan, pada 2016 perbandingannya adalah 82% dan 18%. Penyebab penurunan itu adalah makin kompetitifnya harga minyak sawit Malaysia terkait kebijakan pemerintah Negeri Jiran itu di sektor kelapa sawitnya. Di bagian lain, minyak sawit Indonesia juga harus berkompetisi dengan minyak nabati lainnya. "Ini kan warning, jangan sampai pangsa pasar kita terus turun," cetusnya.
Untuk menjaga pangsa pasar itu, lanjut Joko, perlu ada pendekatan di level pemerintah agar produk sawit Indonesia tetap kompetitif. Selain itu, perlu dikaji ulang mengenai pungutan bagi ekspor sawit untuk meningkatkan daya saing sawit Indonesia.

"Kita sudah usulkan soal penurunan itu, tapi hingga saat ini dibahas pun belum. Pemerintah harusnya lebih fleksibel, jangan sampai pangsa pasar kita nanti terus turun," ujarnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.9630 seconds (0.1#10.140)