Tetap Prospektif, Ini Tantangan yang Dihadapi Industri Mamin di 2024

Rabu, 13 Maret 2024 - 14:29 WIB
loading...
Tetap Prospektif, Ini...
Konferensi pers Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) terkait kinerja dan tantangan industri minuman di 2024, di Jakarta, Rabu (13/3/2024). FOTO/Iqbal DP
A A A
JAKARTA - Industri makanan dan minuman (mamin) pada tahun 2024 ini dinilai masih prospektif. Kendati demikian, industri ini juga menghadapi sejumlah tantangan yang tidak ringan.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, industri mamin tetap prospektif melihat tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Namun, potensi industri ini juga dibayangi oleh sejumlah tantangan, terutama dari sisi produksi.



"Pertama dari sisi kebijakan, tentu saja yang memberikan insentif lebih besar ke industri mamin, dari sisi biaya produksi masih menjadi tantangan, jadi kalau kita melihat ke depan sebetulnya masih prospektif industri mamin, tapi lebih kompetitif," ujarnya dalam konferensi pers mengenai kinerja industri mamin di tahun 2023 serta peluang dan tantangannya di 2024, di Jakarta, Rabu (13/3/2024).

Faisal mengatakan, biaya produksi ke depannya berpotensi mengalami peningkatan. Hal tersebut terjadi ketika harga bahan baku yang, terutama yang didatangkan melalui impor cenderung lebih mahal. Tingginya harga bahan baku tersebut menjadi sumber pembentukan harga barang jadi yang juga ikut meningkat.



Faisal juga mengatakan bahwa kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 12% yang rencananya bakal diberlakukan pada 2025 menjadi sentimen negatif bagi pertumbuhan industri mamin. "Tantangannya dari biaya produksi yang berpotensi meningkat, Meningkat bukan hanya untuk bahan baku, tapi upah, pajak, dan lain-lain," tuturnya.

Guna mendukung industri mamin dalam negeri, Faisal berharap pemerintah menjaga ceruk pasar industri dalam negeri agar bisa dioptimalkan para pengusaha lokal. Menurut dia, kebijakan perdagangan di dalam negeri belum cukup berpihak kepada para pelaku industri lokal. Faisal mencontohkan kebijakan tarif impor bahan baku yang masih lebih mahal dibandingkan impor barang jadi.

"Tarif impor itu kerap kali tidak harmonis karena begitu impor bahan baku kena pajak tinggi, tapi begitu barang jadi justru nol atau bebas, jadi bagaimana industri bisa berkembang kalau begitu caranya. Sementara negara lain itu sebaliknya, bahan baku murah, sementara bahan jadinya itu kalau impor lebih tinggi harganya," pungkasnya.
(fjo)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2053 seconds (0.1#10.140)