Banyak Aturan Belum Mengakomodir Hak dan Kewajiban Pemilik Rusun

Rabu, 19 September 2018 - 21:47 WIB
Banyak Aturan Belum Mengakomodir Hak dan Kewajiban Pemilik Rusun
Banyak Aturan Belum Mengakomodir Hak dan Kewajiban Pemilik Rusun
A A A
JAKARTA - Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) menggelar agenda tahunan berupa Musyawarah Nasional (Munas) ke 2 yang diadakan di Hotel Novotel pada Rabu (19/9/2018). Dalam Munas ini juga diadakan sebuah diskusi bertema "Tidak Seimbangnya Hak dan Kewajiban Pemilik Rumah Susun Menjadi Masalah Krusial yang Dihadapi PPPSRS".

"Tema tersebut diambil lantaran masih banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungan hunian vertikal," ujar Adjit Lauhatta, Ketua P3RSI. Untuk itu, pihaknya menjadi fasilitator bagi Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) yang menjadi anggota P3RSI dalam mencari solusi permasalahan tersebut.

Ketua Real Estate Indonesia (REI) Soelaiman Soemawinata mengatakan bahwa jumlah hunian vertikal di Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Tidak hanya di kota besar seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa, tapi juga di kota besar luar pulau Jawa seperti di Medan hingga Pontianak.

Namun maraknya pertumbuhan hunian vertikal tersebut tidak dibarengi dengan aturan yang memadai. "Misalnya saja mengenai Pertelaan yang belum semua daerah memiliki aturan dasar hunian highrise itu," kata Soelaiman.

Menurutnya dengan tidak adanya aturan yang mengakomodir hunian vertikal dapat memicu permasalahan kedepannya. "Ini masalah kehidupan kita ke depan, karena ke depan kehidupan kita akan urban, maka harus disiapkan dari sekarang, Pemda harus punya aturannya agar menjadi proper," sambungnya.

Sisi positifnya, lanjut Soelaiman, dengan adanya regulasi mengenai hunian vertikal dan komersial tentu akan dapat menarik minat investor untuk masuk ke daerah tersebut.

Tak hanya mendorong daerah yang belum memiliki aturan mengenai hunian vertikal, daerah yang sudah memiliki aturan pun menurut Soelaiman agar lebih bijaksana dalam mengeluarkan aturan. Misalnya saja Pemprov DKI Jakarta yang belum lama ini mengeluarkan Surat Edaran (SE) Gubernur Nomor 16/SE/2018 tentang optimalisasi Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik.

Dalam SE Pemprov meminta Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) untuk menghapus ketentuan pemutusan utilitas listrik dan air, yang menjadi sanksi atas keterlambatan serta selisih pembayaran iuran pengelolaan lingkungan (IPL).

Menurut Soelaiman, kebijakan tersebut sulit untuk diaplikasikan. Sebab bukan hanya akan merugikan pengelola, tetapi juga terhadap penghuni yang rajin atau taat membayar. Karena mereka akan turut terkena dampaknya, yakni dari sisi pelayanan. "Sebab kami juga ingin memberikan apresiasi kepada penghuni yang taat membayar dengan memberikan layanan yang baik, nah pelayanan ini menjadi tidak maksimal lantaran ada penghuni yang tidak membayar. Ini kan hunian bersama, jadi harus ada kebersamaan," katanya.

Untuk itu, REI akan mendatangi Pemprov untuk menjelaskan mengenai IPL. Karena IPL sudah dihitung secara matang, dan besarannya pun telah melalui persetujuan PPPRS selaku perwakilan para penghuni. "Kita harus ingatkan kepada Pemprov, kita akan bicara dengan baik, kita akan jelaskan," katanya.

Erwin Kallo, pakar hukum properti yang menjadi salah satu pembicara juga mengatakan, banyaknya permasalahan antara hak dan kewajiban yang terjadi di hunian vertikal saat ini lantaran sampai saat ini beleid turunan Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Rusun) yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) belum juga diterbitkan. Padahal rancangan PP tersebut sudah dilakukan selama tujuh tahun terakhir oleh Kementerian PUPR.

Bahkan, kata Erwin, berdasarkan rancangan PP terbaru yang ia peroleh, terdapat beberapa poin aturan yang justru akan menjadi kontroversial jika diterbitkan.

Pertama yakni mengenai hak suara. Dimana setiap pemilik rusun hanya diberikan hak suara satu saja, meskipun unit yang dimiliki jumlahnya lebih dari satu (one man one vote). Aturan tersebut dinilai tidak mencerminkan asas keadilan. Padahal disisi lain si pemilik tetap membayar IPL atau kewajibannya sebanyak unit yang ia miliki.

"Pemangkasan" hak suara ini dilakukan dikabarkan untuk menjegal para pengembang untuk menguasai rusun yang dibangunnya. Namun pandangan tersebut dinilai tidak berdasar. Karena pengembang tentu membangun rusun untuk dijual agar bisa untung, bukan untuk dimiliki sendiri.

Menurut Erwin, siapapun yang memiliki unit lebih dari satu, entah itu pengembang atau siapapun, harusnya haknya sama, jangan sampai dia kewajibannya banyak sepuluh unit tapi haknya cuma satu suara dalam PPRS. "Dia bayar sepuluh unit tapi suaranya di PPPSR hanya satu, itu kan tidak adil. Hak dan kewajiban itu harusnya seimbang. PP jangan sampai membatasi hak orang," katanya.

Poin aturan lain dalam RPP yang dinilai ganjil yakni mengenai pemberian Surat Kuasa yang hanya bisa diberikan kepada orang yang ada dalam satu Kartu Keluarga (KK). Menurut Erwin aturan tersebut sulit untuk diterima dan direalisasikan.

Ia mencontohkan jika si pemilik unit hanya memiliki satu anak dalam KK, dan si anak tersebut belum cukup dewasa untuk diberikan surat kuasa. "Kalau dia baru berusia 7 tahun bagaimana? Selain itu, jika propertinya dalam bentuk kondotel, kan dia pasti tidak tinggal disitu, yang tinggal di sana adalah penyewa, lalu bagaimana dia mau memberikan surat kuasanya," katanya.

Oleh karena itu, jika benar poin dalam RPP tersebut disahkan, Erwin akan langsung mengajukan uji materil ke Mahkamah Agung. "Seharusnya pemerintah memahami secara keseluruhan, jangan hanya dari sisi konsumen saja. Sisi konsumen itu subjektif, sedangkan seharusnya pemerintah itu objektif," kata dia.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3322 seconds (0.1#10.140)