HGBT Gagal Dongkrak Ekonomi, Pemerintah Perlu Evaluasi Total
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk lebih berhati-hati dalam memutuskan kebijakan subsidi gas bumi ke sejumlah industri tertentu. Selain dampak yang ditimbulkan dari kebijakan ini belum jelas, pemerintah juga tekor besar akibat kehilangan pendapatan di hulu migas hingga puluhan triliun guna memberikan subsidi harga kepada 7 sektor industri tertentu tersebut.
Founder & Advisor Reforminer Institute, Lembaga Riset Pertambangan dan Ekonomi Energi, Pri Agung Rakhmanto mengatakan dampak yang diharapkan dari kebijakan harga gas tertentu belum jelas. Terutama dari aspek peningkatan pajak dan multiplier efek dari perusahaan-perusahaan penerima gas subsidi tersebut.
"Sangat perlu untuk dievaluasi dari aspek biaya dan manfaatnya terhadap kebijakan yang sudah berjalan. Yang jelas kebijakan ini membuat penerimaan negara berkurang," jelas Pri Agung, di Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Evaluasi terhadap kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) juga dinilai tidak akan berdampak terhadap daya saing industri dalam negeri. Selain komponen gas bumi untuk beberapa industri kontribusinya rendah, daya saing sebuah industri dipengaruhi oleh banyak aspek.
“Ada banyak faktor yang memengaruhi daya saing sebuah industri. Seperti permintaan pasar, sumber daya, strategi industri dan juga keterkaitannya dengan industri pendukung dalam mata rantai industri tersebut. Harga gas hanya salah satu aspek dari sumberdaya, khususnya aspek biaya,” imbuh Pri Agung.
Berdasarkan data pemerintah pada tahun 2022, komponen biaya gas dalam biaya produksi bervariasi. Paling tinggi adalah industri pupuk dimana komponen biaya gas mencapai 58,48%, kemudian kaca 24,84%, keramik 17,87%, oleochemical 8,96% dan petrokimia sekitar 7,72%. Adapun kontribusi biaya gas di industri baja sekitar 7,26% dan yang paling rendah industri sarung tangan sebesar 5,90%.
Sejak digulirkan pada bulan April 2020, kebijakan HGBT terus menimbulkan pro dan kontra. Salah satu faktor pemicunya adalah dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan ini tidak pernah terungkap. Sementara kementerian ESDM sebagai lembaga yang menerbitkan kebijakan ini mengungkapkan bahwa subsidi HGBT telah menghilangkan pendapatan negara hingga sekitar Rp 30 triliun.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas, Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, kehilangan penerimaan negara terjadi pada sektor hulu minyak dan gas bumi. Itu akibat penyesuaian harga gas bumi setelah menghitung bagi hasil produksi migas antara bagian pemerintah terhadap kontraktor.
"Terkait penurunan-penurunan penerimaan bagian negara atas HGBT ini, kewajiban mereka kepada kontraktor yaitu sebesar 46,81 persen atau Rp 16,46 triliun pada tahun 2021 dan 46,94 persen atau Rp 12,93 triliun tahun 2022," kata Tutuka beberapa waktu lalu.
Jumlah kerugian negara tersebut diperkirakan akan membesar, mengingkat potensi pendapatan negara yang hilang dari kebijakan ini di tahun 2023 dan 2024 belum masuk perhitungan.
Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin sebelumnya mengatakan bahwa HGBT merupakan kebijakan yang protektif atau defensif pada masa pendemi untuk mengamankan 7 industri yang dirasa memerlukannya. Sebab itu, harus dievaluasi melalui penelitian, apakah kebijakan tersebut mampu meningkatkan daya saing industri-industri yang menerima harga tersebut.
"Dampaknya hanya memproteksi atau men-defend berbagai industri yang dituju tersebut. Apakah kebijakan tersebut meningkatkan daya saing, ini hanya bisa dijawab dengan riset kuantitatif yang mengakomodasi berbagai faktor lain," ujarnya.
Founder & Advisor Reforminer Institute, Lembaga Riset Pertambangan dan Ekonomi Energi, Pri Agung Rakhmanto mengatakan dampak yang diharapkan dari kebijakan harga gas tertentu belum jelas. Terutama dari aspek peningkatan pajak dan multiplier efek dari perusahaan-perusahaan penerima gas subsidi tersebut.
"Sangat perlu untuk dievaluasi dari aspek biaya dan manfaatnya terhadap kebijakan yang sudah berjalan. Yang jelas kebijakan ini membuat penerimaan negara berkurang," jelas Pri Agung, di Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Evaluasi terhadap kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) juga dinilai tidak akan berdampak terhadap daya saing industri dalam negeri. Selain komponen gas bumi untuk beberapa industri kontribusinya rendah, daya saing sebuah industri dipengaruhi oleh banyak aspek.
“Ada banyak faktor yang memengaruhi daya saing sebuah industri. Seperti permintaan pasar, sumber daya, strategi industri dan juga keterkaitannya dengan industri pendukung dalam mata rantai industri tersebut. Harga gas hanya salah satu aspek dari sumberdaya, khususnya aspek biaya,” imbuh Pri Agung.
Berdasarkan data pemerintah pada tahun 2022, komponen biaya gas dalam biaya produksi bervariasi. Paling tinggi adalah industri pupuk dimana komponen biaya gas mencapai 58,48%, kemudian kaca 24,84%, keramik 17,87%, oleochemical 8,96% dan petrokimia sekitar 7,72%. Adapun kontribusi biaya gas di industri baja sekitar 7,26% dan yang paling rendah industri sarung tangan sebesar 5,90%.
Sejak digulirkan pada bulan April 2020, kebijakan HGBT terus menimbulkan pro dan kontra. Salah satu faktor pemicunya adalah dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan ini tidak pernah terungkap. Sementara kementerian ESDM sebagai lembaga yang menerbitkan kebijakan ini mengungkapkan bahwa subsidi HGBT telah menghilangkan pendapatan negara hingga sekitar Rp 30 triliun.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas, Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, kehilangan penerimaan negara terjadi pada sektor hulu minyak dan gas bumi. Itu akibat penyesuaian harga gas bumi setelah menghitung bagi hasil produksi migas antara bagian pemerintah terhadap kontraktor.
"Terkait penurunan-penurunan penerimaan bagian negara atas HGBT ini, kewajiban mereka kepada kontraktor yaitu sebesar 46,81 persen atau Rp 16,46 triliun pada tahun 2021 dan 46,94 persen atau Rp 12,93 triliun tahun 2022," kata Tutuka beberapa waktu lalu.
Jumlah kerugian negara tersebut diperkirakan akan membesar, mengingkat potensi pendapatan negara yang hilang dari kebijakan ini di tahun 2023 dan 2024 belum masuk perhitungan.
Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin sebelumnya mengatakan bahwa HGBT merupakan kebijakan yang protektif atau defensif pada masa pendemi untuk mengamankan 7 industri yang dirasa memerlukannya. Sebab itu, harus dievaluasi melalui penelitian, apakah kebijakan tersebut mampu meningkatkan daya saing industri-industri yang menerima harga tersebut.
"Dampaknya hanya memproteksi atau men-defend berbagai industri yang dituju tersebut. Apakah kebijakan tersebut meningkatkan daya saing, ini hanya bisa dijawab dengan riset kuantitatif yang mengakomodasi berbagai faktor lain," ujarnya.
(nng)