Rugi Besar, Bisnis Jastip Mulai Bikin Resah Bos-bos Ritel
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengusaha ritel menanggung rugi besar imbas membanjirnya bisnis jasa titipan ( jastip ) untuk produk impor ilegal. Hal ini dikonfirmasi oleh Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah. Kendati tidak merinci nilai kerugian peritel, Budihardjo memastikan pelaku usaha ritel harus menanggung rugi lantaran populernya jasa titipan.
"Mengenai kerugian dari (akibat meningkatnya) jastip, saya rasa kerugiannya besar, tapi nilai kan susah kita bicara,” ujar Budihardjo saat konferensi pers, di Jakarta, Selasa (19/3/224).
Menurut dia bila praktik ilegal usaha jastip ditutup, maka potensi kerugian bisa dihindari para pengusaha ritel, sekalipun sulit untuk menentukan nilai kerugian yang dapat dihindari. Meski begitu, Budihardjo mencatat perputaran uang di industri ritel per tahunnya mencapai Rp550 triliun. Angka ini berdasarkan data tahun 2019 lalu.
"Tapi intinya (perputaran uang) industri ritel sendiri itu Rp550 triliun satu tahun, itu di data 2019 termasuk sektor F&B. Jadi tenant ritel, tenant bioskop, toko stok, toko baju, supermarket,” paparnya.
Pengusaha ritel, kata Budi, juga aktif dalam berjualan secara online, tetapi mereka setuju bahwa praktik jastip dan sejenisnya harus diawasi secara ketat di perbatasan. Pihaknya berharap barang-barang yang akan dijual kembali, termasuk barang kiriman udara dan laut, akan diperiksa dengan ketat di pelabuhan penumpang.
Mereka juga berharap agar brand yang sudah mapan dan memiliki asosiasi yang kuat dapat dijadikan filter pertama dalam proses impor, terutama jika sistem pengawasan belum sepenuhnya siap. Dengan demikian, rekomendasi dari asosiasi dan reputasi merek seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam memudahkan proses impor yang dilakukan oleh para pelaku ritel.
"Ya jadi rekomendasi dari asosiasi itu harusnya menjadi pertimbangan dan juga brand yang akan masuk. Kalau brand-nya sudah dikenal, tokonya banyak, pabriknya jelas, harusnya itu menjadi satu pertimbangan untuk bisa dipermudah impornya," tutur dia.
"Mengenai kerugian dari (akibat meningkatnya) jastip, saya rasa kerugiannya besar, tapi nilai kan susah kita bicara,” ujar Budihardjo saat konferensi pers, di Jakarta, Selasa (19/3/224).
Menurut dia bila praktik ilegal usaha jastip ditutup, maka potensi kerugian bisa dihindari para pengusaha ritel, sekalipun sulit untuk menentukan nilai kerugian yang dapat dihindari. Meski begitu, Budihardjo mencatat perputaran uang di industri ritel per tahunnya mencapai Rp550 triliun. Angka ini berdasarkan data tahun 2019 lalu.
"Tapi intinya (perputaran uang) industri ritel sendiri itu Rp550 triliun satu tahun, itu di data 2019 termasuk sektor F&B. Jadi tenant ritel, tenant bioskop, toko stok, toko baju, supermarket,” paparnya.
Pengusaha ritel, kata Budi, juga aktif dalam berjualan secara online, tetapi mereka setuju bahwa praktik jastip dan sejenisnya harus diawasi secara ketat di perbatasan. Pihaknya berharap barang-barang yang akan dijual kembali, termasuk barang kiriman udara dan laut, akan diperiksa dengan ketat di pelabuhan penumpang.
Mereka juga berharap agar brand yang sudah mapan dan memiliki asosiasi yang kuat dapat dijadikan filter pertama dalam proses impor, terutama jika sistem pengawasan belum sepenuhnya siap. Dengan demikian, rekomendasi dari asosiasi dan reputasi merek seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam memudahkan proses impor yang dilakukan oleh para pelaku ritel.
"Ya jadi rekomendasi dari asosiasi itu harusnya menjadi pertimbangan dan juga brand yang akan masuk. Kalau brand-nya sudah dikenal, tokonya banyak, pabriknya jelas, harusnya itu menjadi satu pertimbangan untuk bisa dipermudah impornya," tutur dia.
(nng)