BI Perlu Jaga Suku Bunga di Level 6%, Ekonom Ungkap Pertimbangannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dinilai perlu mempertahankan BI Rate pada level 6,00% pada bulan ini. Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky mengatakan, kondisi inflasi dan nilai tukar saat ini dinilai membenarkan bahwa tidak ada keperluan mendesak untuk BI mengubah suku bunga acuannya.
"Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa BI perlu menahan suku bunga acuan nya di 6,00% pada Rapat Dewan Gubernur Maret ini," ungkap Riefky dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (20/3/2024).
Secara keseluruhan, kondisi suku bunga acuan di berbagai negara berkembang cukup tergantung dari pergerakan yang akan diambil oleh the Fed. Untuk menghindari risiko terjadinya arus modal keluar secara masif, bank sentral di negara berkembang kemungkinan tidak akan menurunkan suku bunga acuannya sebelum the Fed mengambil langkah tersebut. Indonesia juga tidak terkecuali.
Di sisi lain, Rupiah cenderung stabil dalam beberapa minggu terakhir setelah sempat terdepresiasi dan inflasi domestik masih dalam rentang target BI. Adapun saran LPEM FEB UI meminta BI untuk menahan suku bunga dengan beberapa pertimbangan, seperti inflasi umum di Indonesia hingga potensi penundaan penurunan suku bunga oleh The Fed.
Pertimbangan pertama adalah inflasi umum meningkat ke 2,75% (yoy) di Februari 2024 menyusul peningkatan harga bahan pangan akibat kombinasi tekanan dari sisi permintaan dan produksi. Selain itu, meningkatnya intensitas El-Nino mendisrupsi kecukupan pasokan komoditas pangan.
Sejak September lalu, Indeks Nino telah mencapai tingkat di atas 0,5 (mengindikasikan terjadinya El-Nino) dan saat ini berada di angka 1,80. Berlangsungnya fenomena El-Nino memicu mundurnya musim panen dan mendisrupsi kecukupan pasokan beras.
"Namun, tekanan pada daya beli masyarakat relatif termoderasi dengan adanya pemberian subsidi dan bantuan sosial dari Pemerintah dan Partai Politik menjelang Pemilu Nasional," jelasnya.
Lebih lanjut, naiknya inflasi AS secara tidak terduga memicu sentimen bahwa the Fed perlu menunda penurunan suku bunga acuan dari titik tertingginya dalam 23 tahun terakhir. Kondisi ini cukup memengaruhi terjadinya arus modal keluar dari pasar obligasi Indonesia.
Sejak pertengahan Februari, Indonesia mengalami arus modal keluar dari pasar obligasi yang mencapai USD1,39 miliar. Di sisi lain, tercatat adanya arus modal masuk di pasar saham sebesar USD0,50 miliar pada periode yang sama.
Seiring dengan terjaganya sentimen positif oleh investor terhadap prospek pertumbuhan Indonesia dan menurunnya ketidakpastian pasca hasil quick-count Pemilu Presiden, arus modal masuk ke pasar saham membatasi keseluruhan nilai arus modal keluar.
Secara kumulatif, Indonesia ‘hanya’ mengalami arus modal keluar sebesar USD0,89 miliar selama pertengahan Februari hingga pertengahan Maret 2024.
Terlepas dari tingginya tekanan terhadap Rupiah, beberapa minggu terakhir pergerakan Rupiah cenderung stabil. "Sehingga, kami berpandangan bahwa BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,00%," ujar Riefky.
"Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa BI perlu menahan suku bunga acuan nya di 6,00% pada Rapat Dewan Gubernur Maret ini," ungkap Riefky dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (20/3/2024).
Secara keseluruhan, kondisi suku bunga acuan di berbagai negara berkembang cukup tergantung dari pergerakan yang akan diambil oleh the Fed. Untuk menghindari risiko terjadinya arus modal keluar secara masif, bank sentral di negara berkembang kemungkinan tidak akan menurunkan suku bunga acuannya sebelum the Fed mengambil langkah tersebut. Indonesia juga tidak terkecuali.
Di sisi lain, Rupiah cenderung stabil dalam beberapa minggu terakhir setelah sempat terdepresiasi dan inflasi domestik masih dalam rentang target BI. Adapun saran LPEM FEB UI meminta BI untuk menahan suku bunga dengan beberapa pertimbangan, seperti inflasi umum di Indonesia hingga potensi penundaan penurunan suku bunga oleh The Fed.
Pertimbangan pertama adalah inflasi umum meningkat ke 2,75% (yoy) di Februari 2024 menyusul peningkatan harga bahan pangan akibat kombinasi tekanan dari sisi permintaan dan produksi. Selain itu, meningkatnya intensitas El-Nino mendisrupsi kecukupan pasokan komoditas pangan.
Sejak September lalu, Indeks Nino telah mencapai tingkat di atas 0,5 (mengindikasikan terjadinya El-Nino) dan saat ini berada di angka 1,80. Berlangsungnya fenomena El-Nino memicu mundurnya musim panen dan mendisrupsi kecukupan pasokan beras.
"Namun, tekanan pada daya beli masyarakat relatif termoderasi dengan adanya pemberian subsidi dan bantuan sosial dari Pemerintah dan Partai Politik menjelang Pemilu Nasional," jelasnya.
Lebih lanjut, naiknya inflasi AS secara tidak terduga memicu sentimen bahwa the Fed perlu menunda penurunan suku bunga acuan dari titik tertingginya dalam 23 tahun terakhir. Kondisi ini cukup memengaruhi terjadinya arus modal keluar dari pasar obligasi Indonesia.
Sejak pertengahan Februari, Indonesia mengalami arus modal keluar dari pasar obligasi yang mencapai USD1,39 miliar. Di sisi lain, tercatat adanya arus modal masuk di pasar saham sebesar USD0,50 miliar pada periode yang sama.
Seiring dengan terjaganya sentimen positif oleh investor terhadap prospek pertumbuhan Indonesia dan menurunnya ketidakpastian pasca hasil quick-count Pemilu Presiden, arus modal masuk ke pasar saham membatasi keseluruhan nilai arus modal keluar.
Secara kumulatif, Indonesia ‘hanya’ mengalami arus modal keluar sebesar USD0,89 miliar selama pertengahan Februari hingga pertengahan Maret 2024.
Terlepas dari tingginya tekanan terhadap Rupiah, beberapa minggu terakhir pergerakan Rupiah cenderung stabil. "Sehingga, kami berpandangan bahwa BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,00%," ujar Riefky.
(akr)