Dorong Ekspor, Pemerintah Perlu Berikan Intensif Bagi Eksportir

Kamis, 08 November 2018 - 07:02 WIB
Dorong Ekspor, Pemerintah Perlu Berikan Intensif Bagi Eksportir
Dorong Ekspor, Pemerintah Perlu Berikan Intensif Bagi Eksportir
A A A
JAKARTA - Perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China secara tidak langsung ikut memengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Perang tersebut mendorong sejumlah negara tujuan ekspor, seperti India, menerapkan proteksionisme berlebihan dengan menerapkan bea masuk di atas 50% untuk produk CPO (crued palm oil) asal Indonesia.

India sendiri tercatat sebagai tujuan ekspor utama produk CPO eksportir nasional. "Jika digabung total porsi dari ketiga negara itu 34% dari total ekspor nonmigas. Padahal ekspor CPO berkontribusi 15% dari total ekspor non migas," kata pengamat ekonomi Indef, Bhima Yudhistira Adinegara dalam diskusi "Potensi Ekspor di Tengah Pelemahan Rupiah" yang digelar Forum Warta Pena di Puri Denpasar Hotel, Jakarta, Rabu (7/11/2018).

Untuk itu diperlukan langkah nyata dari pemerintah untuk melindungi industri ini. Menurut Bhima, ada sejumlah solusi bagi pemerintah agar dapat meningkatkan nilai ekspor di tengah persoalan global dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD).

Misalnya dengan memberikan pelonggaran setiap pungutan, khususnya ekspor CPO. Pungutannya bisa diturunkan menjadi USD15-20 per ton dan tentunya memperluas pasar baru seperti Afrika Tengah, Eropa Timur dan Rusia.

"Bagi kendala logistik, pemerintah bisa memberikan keringanan pajak (tax holiday) untuk forwarder atau jasa ekspor dari Indonesia ke Afrika misalnya," saran Bhima.

Sejauh ini pemerintah sudah banyak memberikan insentif berupa tax holiday dan tax allowances. Tapi insentif yang diberikan terlalu umum atau tidak menyasar kebutuhan sektoral yang spesifik.

"Problem lain ada pada proses perizinan dan insentif fiskal yang belum terintegrasi, serta lamanya pengurusan pajak bagi para pelaku usaha termasuk eksportir," jelas Bhima.

Selain persoalan di atas, ungkap dia, problem lainnya, belum terintegrasinya masing-masing kementerian terkait dalam memberikan kemudahan bagi para eksportir. "Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perindustrian masih punya ego sektoral. Yang satu melihat kalau diberi banyak insentif fiskal nanti target penerimaan pajak jangka pendek berkurang. Belum akur," bebernya.

Terkait masalah pajak, peringkat kemudahan membayar pajak dalam EoDB, Indonesia berada di peringkat 112 di bawah Malaysia (72) dan Thailand (59). Hal itu tergambar jelas dari keluhan para eksportir yang membutuhkan waktu 200 jam untuk mengisi formulir restitusi perpajakan. "Ini yang membuat minat eksportir dan pelaku usaha mengambil insentif fiskal akhirnya berkurang. Jadi prosedurnya juga perlu perbaikan," tambahnya.

Berdasarkan data BPS secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-September 2018 mencapai USD134,99 miliar atau meningkat 9,41% dibanding periode yang sama 2017. Sedangkan ekspor nonmigas mencapai USD122,31 miliar atau naik 9,29%.

Bhima memperkirakan ekspor tahun depan bisa mencapai 9,5-10% year on year di mana eskpor tekstil pakaian jadi ke AS yang masih solid (Januari-September 2018 tumbuh 29,8%), serta terbukanya penjualan produk ke luar negeri, seperti kulit, besi baja, barang dari kulit, ekspor makanan minuman dan pengolahan tembakau.

Di tempat yang sama, Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Handito Hadi Joewono, mengatakan salah satu upaya untuk mendorong nilai ekspor adalah dengan memasuki pasar baru ekspor.

Ekspor ini bisa dilakukan perusahaan besar maupun UKM. "Buat industri atau perusahaan besar sangat bermanfaat diberikan insentif pajak termasuk tax holiday. Sementara untuk perusahaan kecil dan UKM yang dibutuhkan adalah dorongan untuk memulai ekspor dan mengefektifkan fasilitas pembayaran ekspor," tuturnya.

Sayangnya hingga saat ini kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor belum terintegrasi dengan baik. Hal itu setidaknya terlihat dari belum terwujudnya kesatuan pandang antarsektor. "Semestinya Kemenko Perekonomian perlu lebih 'galak' mengoordinasikan pihak-pihak terkait ekspor," desaknya.

Upaya menggairahkan dunia usaha, kata Handito, berarti mendorong pertambahan omset penjualan dengan peningkatan daya beli masyarakat untuk produk yang dijual di dalam negeri.

Ketua Bidang Komunikasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Tofan Mahdi yakin tahun ini produksi minyak sawit diperkirakan mencapai 42 juta ton. Sebanyak 31 juta ton di antaranya akan terserap di pasar ekspor.

Diakuinya munculnya kampanye negatif dari negara produsen minyak nabati menjadi salah satu kendala ekspor bagi produsen dalam negeri. Karena itu, pihaknya berharap industri sawit nasional perlu terus meningkatkan daya saing yang kompetitif dengan industri hilir Malaysia.

"Industri sawit sangat menjanjikan. Dilihat dari efisiensinya, sawit dalam areal 1 hektare (ha) bisa menghasilkan 4 ton minyak per tahun. Sedangkan minyak soya, untuk memproduksi 1 ton saja membutuhkan lahan yang lebih luas. Anehnya kita dibilang deforestasi," ungkap Tofan.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5803 seconds (0.1#10.140)