Indonesia Dipastikan Tidak Impor Migas dari Iran, ESDM: Pertamina Antisipasi Eskalasi Berlanjut
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) memastikan, bahwa Indonesia tidak mengimpor minyak dan gas (migas) dari Iran. Hal itu diungkapkannya merespons dampak yang akan dirasakan Indonesia atas memanasnya perang Israel dengan Iran.
"Tidak ada (impor dari Iran), walaupun kita menjalin kerjasama dengan Iran, tapi tidak mudah untuk melakukan implementasi. Jadi kita sampai saat ini tidak ada," tegas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Tutuka Ariadji dalam sebuah webinar bertemakan "Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI" yang disaksikan secara virtual, Senin (15/4/2024).
Dalam kesempatan ini, Tutuka juga menuturkan bahwa Pertamina lebih banyak mengimpor BBM dibandingkan dengan minyak mentah (crude oil). Ia bilang, impor BBM paling besar dari Singapore sebesar 56,58% dan Malaysia sebesar 26,75%.
Sementara untuk LPG, lanjut Tutuka, impor paling besar berasal dari Amerika kemudian disusul oleh Uni Emirat Arab dan Qatar. "Jadi disini kita melihat ada negara yang bisa terlibat konflik ya, misal di LPG dengan Amerika yang berhubungan dengan impor LPG nya," urai Tutuka.
"Untuk impor crude Indonesia sebagian besar dari Saudi Arabia dan Nigeria. Jadi kalau dari Saudi Arabia tentunya berpengaruh ya, nah itu yang sekarang sedang disimulasikan oleh Pertamina berbagai macam cara untuk mengantisipasi kondisi kalau terjadi eskalasi berlanjut," pungkas Tutuka.
Sebelumnya, Anggota DPR RI Komisi Mulyanto juga telah meminta Pemerintah untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak mentah dunia pasca serangan Iran ke Israel.
Sebab Mulyanto menilai cepat atau lambat konflik Iran-Israel ini akan berdampak pada semakin naiknya harga minyak mentah dunia. Hal tersebut diperparah dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang sudah menembus angka Rp16 ribu per dolar.
"Mengamati pergerakan harga minyak dunia yang terus menanjak tajam sejak awal tahun 2024, apalagi pasca konflik Iran-Israel, Pemerintah perlu segera memikirkan langkah-langkah antisipatif. Kondisi ini semacam triple shock karena terjadi di tengah kebutuhan migas dalam negeri yang naik di saat momentum bulan suci Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, serta naiknya dolar AS terhadap Rupiah yang menembus angka Rp16.000 per dolar," tutur Mulyanto.
"Tidak ada (impor dari Iran), walaupun kita menjalin kerjasama dengan Iran, tapi tidak mudah untuk melakukan implementasi. Jadi kita sampai saat ini tidak ada," tegas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Tutuka Ariadji dalam sebuah webinar bertemakan "Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI" yang disaksikan secara virtual, Senin (15/4/2024).
Dalam kesempatan ini, Tutuka juga menuturkan bahwa Pertamina lebih banyak mengimpor BBM dibandingkan dengan minyak mentah (crude oil). Ia bilang, impor BBM paling besar dari Singapore sebesar 56,58% dan Malaysia sebesar 26,75%.
Sementara untuk LPG, lanjut Tutuka, impor paling besar berasal dari Amerika kemudian disusul oleh Uni Emirat Arab dan Qatar. "Jadi disini kita melihat ada negara yang bisa terlibat konflik ya, misal di LPG dengan Amerika yang berhubungan dengan impor LPG nya," urai Tutuka.
"Untuk impor crude Indonesia sebagian besar dari Saudi Arabia dan Nigeria. Jadi kalau dari Saudi Arabia tentunya berpengaruh ya, nah itu yang sekarang sedang disimulasikan oleh Pertamina berbagai macam cara untuk mengantisipasi kondisi kalau terjadi eskalasi berlanjut," pungkas Tutuka.
Sebelumnya, Anggota DPR RI Komisi Mulyanto juga telah meminta Pemerintah untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak mentah dunia pasca serangan Iran ke Israel.
Sebab Mulyanto menilai cepat atau lambat konflik Iran-Israel ini akan berdampak pada semakin naiknya harga minyak mentah dunia. Hal tersebut diperparah dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang sudah menembus angka Rp16 ribu per dolar.
"Mengamati pergerakan harga minyak dunia yang terus menanjak tajam sejak awal tahun 2024, apalagi pasca konflik Iran-Israel, Pemerintah perlu segera memikirkan langkah-langkah antisipatif. Kondisi ini semacam triple shock karena terjadi di tengah kebutuhan migas dalam negeri yang naik di saat momentum bulan suci Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, serta naiknya dolar AS terhadap Rupiah yang menembus angka Rp16.000 per dolar," tutur Mulyanto.
(akr)