Menakar Dampak Perang Iran-Israel ke Indonesia: Guncang Mata Uang hingga Harga Minyak

Rabu, 17 April 2024 - 12:27 WIB
loading...
Menakar Dampak Perang Iran-Israel ke Indonesia: Guncang Mata Uang hingga Harga Minyak
Eskalasi konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah yang meluas dinilai akan berdampak pada proses pemulihan ekonomi dunia termasuk Indonesia. Lantas bagaimana efeknya bagi Indonesia, ekonom mengungkapnya. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Eskalasi konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah yang meluas dinilai akan berdampak pada proses pemulihan ekonomi dunia termasuk Indonesia. Bahkan, perang baru Iran dan Israel berpotensi memanaskan kembali harga minyak dunia hingga tembus USD100 per barel.



Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David E. Sumual mengatakan, sebelum ada eskalasi atau ketegangan di Timur Tengah ini sebenarnya juga pasar melihat ada perubahan yang cukup fundamental dari sisi kemungkinan kebijakan suku bunga The Fed (bank sentral AS) ke depan.

"Sebelumnya kan pasar memperkirakan pertengahan tahun ini suku bunga Fed akan turun, tapi kelihatannya ini bergeser dari bulan Mei ke September tapi malah perkiraan saya kalau misalkan pun memanas geopolitik di Timur Tengah kemungkinan bisa bergeser lagi ke tahun depan," jelas David dalam Market Review IDX, Rabu (17/4/2024).



David menambahkan, ini diperparah lagi dengan kondisi terakhir. Seperti kita ketahui, akhir minggu lalu ada serangan Iran ke Israel dan banyak mata uang termasuk harga minyak sedikit meningkat.

"Karena sebelumnya pasar sudah berekspektasi, me-price it kemungkinan ketegangannya memuncak pasca serangan Israel terhadap konsulat di Damaskus, memang sudah dalam ekspektasi sehingga pasar bergerak duluan," ungkap David.

Kemudian yang belum di ekspektasi pasar adalah bagaimana reaksi Israel, serangannya seperti apa, apakah dilakukan serangan balik ke Iran dan skalanya seberapa besar. Dilanjutkan adalah bagaimana reaksi Iran? Skenario terburuk adalah jika blokade di Selat Hormuz yang merupakan lalu lintas sekitar 70% minyak global.

Meski begitu, menurut David, surprisingly ekonomi global di kuartal I relatif baik, Amerika Serikat (AS) pertumbuhannya masih sesuai ekspektasi, China bahkan mengumumkan kemarin bisa tumbuh 5,3% di kuartal I.

"Ini di luar dugaan pasar juga, retail sales juga kemarin diumumkan di Amerika ini melebihi ekspektasi, jadi inflasi masih kuat di Amerika ya 3,5% sudah 3 bulan berturut-turut, inflasi Amerika lebih tinggi dari ekspektasi pasar jadi artinya masih cukup strong di awal tahun," jelasnya.

Dengan adanya pergolakan geopolitik ini, lanjut David, kemungkinan bisa saja ada perubahan, tergantung bagaimana dinamika seperti serangan balasan dan yang lainnya.

"Jika skenario terburuk yang terjadi pasti ada dampak di kenaikan harga minyak dan ujung-ujungnya mempengaruhi pertumbuhan global juga," kata dia.

Minyak dunia diprediksi naik juga karena supply-demand di global relatif ketat. Menurut David, posisi antara global demand dan global supply hanya kurang lebih sekitar 2 juta barel selisihnya. Sehingga jika ada persoalan di sisi supply, ini langsung bisa mempengaruhi harga.

"Tapi sejauh ini memang harga minyak pasca kemarin mulai stabilisasi, jadi tidak ada lonjakan lagi, tapi yang saya perhatikan justru setelah ada kenaikan harga minyak itu bisa diikuti dengan kenaikan harga komoditas yang lain, jadi kita lihat sudah dua hari ini harga batu bara mulai melonjak," ujar David.

Namun sejauh ini, menurut David untuk Indonesia yang dikhawatirkan adalah risiko di sisi minyaknya. Tetapi dari sisi harga komoditas yang lain biasanya akan mengikut. Dengan demikian risiko akan balance dari sisi Indonesia, sehingga David melihat ada risiko fiskalnya.

Menurut hitungan BCA, setiap ada pelemahan rupiah juga ada kenaikan harga minyak USD10 itu dampaknya menambah sekitaran lebih dari Rp100 triliun untuk tambahan kompensasi untuk subsidi.

"Tapi yang jelas sekarang relatif stabil, tapi kita harus antisipasi tadi skenario terburuk tadi dan disisi rupiah juga banyak antisipasi dan cadangan devisa kita juga sebenarnya posisi sekarang lebih kuat dari masa pandemi, tapi tetap harus antisipatif," katanya.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1545 seconds (0.1#10.140)