Rasio Pajak Bukan Alat Ukur Kebocoran Negara

Sabtu, 09 Februari 2019 - 18:00 WIB
Rasio Pajak Bukan Alat Ukur Kebocoran Negara
Rasio Pajak Bukan Alat Ukur Kebocoran Negara
A A A
JAKARTA - Pernyataan kubu Calon Presiden Nomor Urut 02, Prabowo-Sandiaga, bahwa adanya bukti kebocoran negara dengan menunjuk pada penurunan tax ratio (rasio pajak) ditanggapi oleh Kementerian Keuangan.

Lapangan Banteng--kawasan tempat Kementerian Keuangan beralamat--menilai rujukan bukti kebocoran anggaran negara dengan penurunan rasio pajak adalah keliru. Rasio pajak bukan alat ukur untuk menghitung kebocoran anggaran negara.

Kepala Komunikasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, mengatakan rasio pajak adalah rasio atau perbandingan antara penerimaan negara dari sektor perpajakan dengan Produk Domestik Bruto (PDB).

"Rasio ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kebijakan perpajakan termasuk tarif pajak, efektivitas pemungutan pajak, berbagai insentif dan pengecualian pajak yang diberikan kepada pelaku ekonomi dan masyarakat. Dan kemungkinan terjadinya pidana pajak seperti penghindaran dan penggelapan pajak (tax evasions and avoidances)," ujar Nufransa Wira Sakti dalam keterangan resmi yang diterima SINDOnews di Jakarta, Sabtu (9/2/2109).

Rasio pajak juga menggambarkan mengenai tingkat kepatuhan pajak yang dipengaruhi oleh pendidikan dan pemahaman pajak dari masyarakat serta budaya kepatuhan pajak termasuk sistem penegakan hukum. Menyadari berbagai faktor yang menentukan rasio pajak suatu negara, Kementerian Keuangan melakukan reformasi perpajakan secara komprehensif.

"Seperti meliputi program perbaikan sumber daya manusia, perbaikan basis data dan sistem teknologi informasi serta proses bisnis, perbaikan struktur kelembagaan, dan perbaikan peraturan perundangan-undangan (UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, Ketentuan Umum Perpajakan, dan aturan-aturan dibawahnya)," jelasnya.

Pajak selain sebagai alat mengumpulkan penerimaan negara, juga merupakan instrumen kebijakan fiskal untuk mengelola ekonomi. Angka rasio pajak dapat naik atau turun seiring dengan kegiatan ekonomi yang diukur dengan PDB.

Dalam kondisi ekonomi lesu dan mengalami tekanan, seperti penurunan harga komoditas atau resesi ekonomi global, pemerintah suatu negara dapat memberikan stimulus ekonomi (counter cyclical) dengan menurunkan tarif pajak atau memberikan insentif pengecualian pajak (tax holiday, tax allowance, atau pajak ditanggung pemerintah). Sehingga ekonomi dapat pulih dan bergairah kembali pertumbuhannya. Dalam situasi tersebut, rasio pajak justru dibuat menurun.

Demikian juga dalam kondisi ekonomi mengalami pemanasan (overheating) atau cenderung menggelembung tidak sehat (bubble), maka pajak dapat ditingkatkan dan diefektifkan, untuk mengerem dan memperlambat perekonomian.

Jadi, naik turunnya ratio pajak adalah mencerminkan berbagai hal, baik sebagai alat kebijakan fiskal maupun masalah struktural/fundamental suatu perekonomian dan negara.

"Menyatakan rasio pajak menurun sebagai bentuk kebocoran anggaran jelas keliru, terlalu menyederhanakan masalah dan dapat menyesatkan masyarakat".

Di berbagai negara, rasio pajak mengalami perubahan setiap periode. Misalnya Amerika Serikat, yang rasio pajaknya pada tahun 2000 sebesar 28,2% (ekonomi relatif menguat sebelum krisis keuangan) dan tahun 2017 turun menjadi 27,1% (sebagai upaya stimulus mengembalikan pertumbuhan ekonominya).

Pada tahun 2016, 26 negara mengalami kenaikan rasio pajak bila dibanding tahun 2015, sementara itu 10 negara OECD lainnya mengalami penurunan.

Sementara itu. istilah kebocoran uang negara juga dapat diartikan secara luas dan multi dimensi. Kebocoran uang negara bisa disebabkan oleh kejahatan korupsi di semua cabang pemerintahan, baik eksekutif (Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah), legislatif dan yudikatif.

Jenis kebocoran ini bila masyarakat mengetahui harus dilaporkan kepada aparat penegak hukum termasuk KPK, karena negara Indonesia adalah negara hukum.

Sedang "kebocoran" anggaran lain adalah inefisiensi maupun kelemahan perencanaan. Ini bentuk penggunaan anggaran yang tidak optimal atau bahkan sia-sia. Kelemahan jenis ini merupakan persoalan kapasitas dan kualitas birokrasi yang fundamental. Obatnya adalah reformasi birokrasi, membangun budaya transparansi dan akuntabilitas, dan membangun kompetensi birokrasi.

Pemerintah terus memerangi berbagai kebocoran anggaran baik yang berbentuk kejahatan korupsi, maupun dalam bentuk infesiensi dan kelemahan kompetensi. Ini adalah tugas seluruh komponen pemerintahan yang dituangkan dalam berbagai program: strategi nasional pemberantasan korupsi, menciptakan wilayah bebas korupsi dan zona integritas, maupun program Reformasi Birokrasi dan transformasi kelembagaan.

Kementerian Keuangan sebagai pengelola keuangan negara akan terus berkomitmen mengelola APBN dan keuangan negara secara berintegritas, kredibel dan profesional. Setiap tahun, pengelolaan keuangan negara dan APBN diaudit oleh BPK. Tahun 2016 dan 2017, laporan keuangan pemerintah pusat mendapat predikat wajar tanpa pengecualian dari BPK.

"Kami sangat menentang kebocoran anggaran baik dari korupsi maupun inefisiensi pada penggunaan anggaran. APBN adalah uang rakyat, hak rakyat harus terus dijaga dan tidak boleh dikhianati satu rupiah pun," tegasnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4961 seconds (0.1#10.140)