Tolak Aturan Tembakau di RPP Kesehatan, Serikat Pekerja Tuntut 3 Hal Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aspirasinya didengar terkait penolakan sejumlah pasal pengaturan tembakau pada Rancangan Peraturan Pemerintah atau RPP Kesehatan , Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM–SPSI) memberikan apresiasi kepada pemerintah.
Seperti diketahui RPP Kesehatan merupakan aturan pelaksana Undang-undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang mendapat penolakan karena dinilai menekan keberlangsungan pekerja di industri tembakau.
“Untuk itu, kami sampaikan apresiasi kepada Kemenko Perekonomian (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kemenperin dan Kementan yang telah menerima aspirasi kami secara terbuka. Ke depannya, kami berharap kementerian terkait lainnya turut mendengarkan aspirasi kami. Selain itu, kami juga memohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menandatangani RPP Kesehatan sebelum adanya pelibatan pekerja industri tembakau dalam perumusannya,” kata Ketua Umum FSP RTMM–SPSI, Sudarto AS, melalui keterangan pers di Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Sebelumnya, FSP RTMM-SPSI menyesalkan sikap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang terkesan terburu-buru dalam merumuskan RPP Kesehatan tanpa adanya pelibatan serikat pekerja industri tembakau. Padahal, dampak dari isi RPP Kesehatan tersebut akan berakibat fatal terhadap nasib para pekerja di industri yang telah memberikan kontribusi besar terhadap pemasukan negara.
“Hingga kini, kami yang mewakili pekerja industri tembakau tidak pernah dilibatkan, sehingga tidak tahu bentuk final dariaturan tersebut. Pernyataan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, di media juga mengkhawatirkan. Proses pembuatan RPP Kesehatan yang terjadi saat ini itu tidak transparan dan sembunyi-sembunyi. Kami sangat khawatir atas adanya pasal-pasal pengaturan tembakau yang mengarah kepada tekanan pelarangan total produk tembakau,” ujarnya.
Sudarto menegaskan, pihaknya telah berupaya dan akan terusmenyampaikan aspirasi kepada pemerintah untuk meninjau kembali pasal-pasal terkait tembakau dalam RPP Kesehatan dan meminta pelibatan serikat pekerja tembakau dalam proses perumusan.
Ia juga turut mengapresiasi sejumlah pihak yang telah memberikan ruang audiensi untuk mendengarkan pendapat serikat pekerja atas aturan kontroversi tersebut. Sudarto mengatakan bahwa dalam audiensi kali ini, Kemenko Perekonomian dan Kemenaker turut menyampaikan pandangannya terkait partisipasi Kementerian terhadap penyusunan RPP Kesehatan, utamanya Kemenaker.
Kedua Kementerian ini dipandang memahami potensi dan dampak besar yang akan terjadi apabila RPP Kesehatan disetujui tanpa melibatkan berbagai pihak terkait.
Sudarto menambahkan bahwa di kesempatan audiensi tersebut pihaknya juga berupaya menyampaikan aspirasi dari para pekerja secara langsung kepada Menteri Kesehatan atau perwakilan dari Kementerian Kesehatan, namun disayangkan FSP RTMM-SPSI hanya diterima di ruang surat.
Sudarto melanjutkan, bahwa serikat pekerja mempertanyakan urgensi pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan yang terkesan serampangan sekaligus mengancam keberlangsunganindustri tembakau beserta para pekerjanya. Padahal, aturan-aturan terkait tembakau sendiri sudah diatur secara komprehensif dalam PP 109 Tahun 2012.
“Regulasi dan kebijakan pemerintah terkait pengendalian industri tembakau perlu pendalaman masalah secara serius, sehingga tidak mengorbankan pihak-pihak yang terlanjur bergantung di dalamnya. RPP yang ketat bukan solusi. Petani,pekerja, pedagang yang terkait langsung dengan industri tembakau, maupun sektor usaha penunjang lainnya yang juga merupakan pihak yang masih membutuhkan adanya industri tembakau perlu mendapat perhatian serius dan mendapatan perlindungan dari pemerintah,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sudarto meminta pemerintah, terutama Kemenkes, untuk berhati- hati dalam menerapkan regulasi yang adil dan bijak untuk mengendalikan konsumsi tembakau di masyarakat. Menurutnya, masih terdapat banyak kebijakan lainnya yang belum diimplementasikan secara maksimal oleh pemerintah tanpa harus mematikan industri hasil tembakau di dalam negeri.
“Upaya-upaya yang bertanggung jawab, seperti edukasi dan sosialisasi secara tersistem sesuai tujuan pengendalian konsumsi tembakau belum berjalan secara baik, sehingga pilihan yang dilakukan pemerintah dominan kepada perubahan regulasi dan kebijakan yang menekan industri tembakau secara bertubi-tubi dalam bentuk perubahan aturan yang diperketat dan mematikan sumber penghasilan pekerja” pungkasnya.
FSP RTMM – SPSI mulai dari pimpinan pusat, daerah, hingga cabang telah menyelenggarakan forum diskusi bertajuk “Kawal Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan dan Kenaikan Cukai Tahun 2025” di Bogor, 19 Juni 2024.
Dalam kegiatan tersebut, serikat pekerja menuntut tiga hal, di antaranya Pemerintah/Presiden dimohon tidak menandatangani RPP Kesehatan; Pemerintah mengeluarkan pengaturan tembakau dari RPP Kesehatan; Pemerintah/Presiden tidak menaikan cukai rokok pada tahun 2025.
Seperti diketahui RPP Kesehatan merupakan aturan pelaksana Undang-undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang mendapat penolakan karena dinilai menekan keberlangsungan pekerja di industri tembakau.
“Untuk itu, kami sampaikan apresiasi kepada Kemenko Perekonomian (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kemenperin dan Kementan yang telah menerima aspirasi kami secara terbuka. Ke depannya, kami berharap kementerian terkait lainnya turut mendengarkan aspirasi kami. Selain itu, kami juga memohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menandatangani RPP Kesehatan sebelum adanya pelibatan pekerja industri tembakau dalam perumusannya,” kata Ketua Umum FSP RTMM–SPSI, Sudarto AS, melalui keterangan pers di Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Sebelumnya, FSP RTMM-SPSI menyesalkan sikap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang terkesan terburu-buru dalam merumuskan RPP Kesehatan tanpa adanya pelibatan serikat pekerja industri tembakau. Padahal, dampak dari isi RPP Kesehatan tersebut akan berakibat fatal terhadap nasib para pekerja di industri yang telah memberikan kontribusi besar terhadap pemasukan negara.
“Hingga kini, kami yang mewakili pekerja industri tembakau tidak pernah dilibatkan, sehingga tidak tahu bentuk final dariaturan tersebut. Pernyataan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, di media juga mengkhawatirkan. Proses pembuatan RPP Kesehatan yang terjadi saat ini itu tidak transparan dan sembunyi-sembunyi. Kami sangat khawatir atas adanya pasal-pasal pengaturan tembakau yang mengarah kepada tekanan pelarangan total produk tembakau,” ujarnya.
Sudarto menegaskan, pihaknya telah berupaya dan akan terusmenyampaikan aspirasi kepada pemerintah untuk meninjau kembali pasal-pasal terkait tembakau dalam RPP Kesehatan dan meminta pelibatan serikat pekerja tembakau dalam proses perumusan.
Ia juga turut mengapresiasi sejumlah pihak yang telah memberikan ruang audiensi untuk mendengarkan pendapat serikat pekerja atas aturan kontroversi tersebut. Sudarto mengatakan bahwa dalam audiensi kali ini, Kemenko Perekonomian dan Kemenaker turut menyampaikan pandangannya terkait partisipasi Kementerian terhadap penyusunan RPP Kesehatan, utamanya Kemenaker.
Kedua Kementerian ini dipandang memahami potensi dan dampak besar yang akan terjadi apabila RPP Kesehatan disetujui tanpa melibatkan berbagai pihak terkait.
Sudarto menambahkan bahwa di kesempatan audiensi tersebut pihaknya juga berupaya menyampaikan aspirasi dari para pekerja secara langsung kepada Menteri Kesehatan atau perwakilan dari Kementerian Kesehatan, namun disayangkan FSP RTMM-SPSI hanya diterima di ruang surat.
Sudarto melanjutkan, bahwa serikat pekerja mempertanyakan urgensi pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan yang terkesan serampangan sekaligus mengancam keberlangsunganindustri tembakau beserta para pekerjanya. Padahal, aturan-aturan terkait tembakau sendiri sudah diatur secara komprehensif dalam PP 109 Tahun 2012.
“Regulasi dan kebijakan pemerintah terkait pengendalian industri tembakau perlu pendalaman masalah secara serius, sehingga tidak mengorbankan pihak-pihak yang terlanjur bergantung di dalamnya. RPP yang ketat bukan solusi. Petani,pekerja, pedagang yang terkait langsung dengan industri tembakau, maupun sektor usaha penunjang lainnya yang juga merupakan pihak yang masih membutuhkan adanya industri tembakau perlu mendapat perhatian serius dan mendapatan perlindungan dari pemerintah,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sudarto meminta pemerintah, terutama Kemenkes, untuk berhati- hati dalam menerapkan regulasi yang adil dan bijak untuk mengendalikan konsumsi tembakau di masyarakat. Menurutnya, masih terdapat banyak kebijakan lainnya yang belum diimplementasikan secara maksimal oleh pemerintah tanpa harus mematikan industri hasil tembakau di dalam negeri.
“Upaya-upaya yang bertanggung jawab, seperti edukasi dan sosialisasi secara tersistem sesuai tujuan pengendalian konsumsi tembakau belum berjalan secara baik, sehingga pilihan yang dilakukan pemerintah dominan kepada perubahan regulasi dan kebijakan yang menekan industri tembakau secara bertubi-tubi dalam bentuk perubahan aturan yang diperketat dan mematikan sumber penghasilan pekerja” pungkasnya.
FSP RTMM – SPSI mulai dari pimpinan pusat, daerah, hingga cabang telah menyelenggarakan forum diskusi bertajuk “Kawal Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan dan Kenaikan Cukai Tahun 2025” di Bogor, 19 Juni 2024.
Dalam kegiatan tersebut, serikat pekerja menuntut tiga hal, di antaranya Pemerintah/Presiden dimohon tidak menandatangani RPP Kesehatan; Pemerintah mengeluarkan pengaturan tembakau dari RPP Kesehatan; Pemerintah/Presiden tidak menaikan cukai rokok pada tahun 2025.
(akr)