Perindo Soroti Impor Pangan yang Melonjak Tembus Rp223 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Partai Perindo menyoroti ancaman krisis pangan di Indonesia. Krisis pangan menjadi tantangan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk bisa memastikan ketersediaan pangan dalam lima tahun ke depan.
Ketua DPP Perindo bidang Ketahanan Pangan dan Lingkungan Hidup, Firda Riwu Kore mengatakan Indonesia terus ketergantungan negara pada impor pangan yang mencapai nilai USD13,8 miliar atau setara Rp223 triliun pada 2023. Dia mengatakan hal tersebut berdasarkan kenaikan impor beras yang mencapai 785,5% pada 2023 dibandingkan 2022.
"Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya krisis pangan seperti perubahan iklim ekstrem, kekurangan tenaga kerja dan alih fungsi lahan yang lebih dominan ke arah pemukiman dan industri. Namun hal-hal diatas seharusnya dapat diatasi oleh pemerintah dengan tindakan-tindakan preventif maupun regulasi yang baik," ujar Firda saat dihubungi, Selasa (23/7/2024).
Firda mengungkapkan bahwa Perindo menyarankan tiga hal guna menjadi solusi bagi penyebab ancaman krisis pangan. Pertama guna menanggulangi perubahan iklim ekstrim, lanjut Firda, pemerintah dapat memetakan iklim yang disesuaikan dengan potensi produksi pangan secara efektif.
"Misalkan untuk iklim yang ekstrem, pemerintah dapat mengupayakan pemetaan iklim dan produksi pangan yang lebih masif pada kondisi cuaca yang baik," terang Firda.
Solusi kedua, Firda menuturkan pemerintah dapat membangkitkan gairah milenial dan Gen-Z untuk kembali tertarik pada lapangan pekerjaan di sektor pangan. Ia mencontohkan, pemberian upah yang lebih tinggi dibarengi insentif atas jaminan keberhasilan panen.
"Perihal tenaga kerja, pemerintah dapat memberikan upah yang lebih tinggi yang setara dengan pekerjaan lainnya atau jaminan keberhasilan panen dan stabilitas harga sehingga sektor pertanian dapat dilirik dan dianggap sebagai pekerjaan yang cukup menjanjikan dilihat dari perspektif ekonomi," katanya.
Lebih lanjut, untuk solusi ketiga pada aspek alih fungsi lahan pertanian, Firda menilai pemerintah lebih tegas menegakkan regulasi penggunaan lahan agar stabilitas ketersediannya dapat terjaga.
"Berkaitan dengan alih fungsi lahan, pemerintah dapat melakukan upaya regulasi untuk penggunaan lahan yang tepat guna, agar ketersediaan lahan tetap terjaga dan stabilitas lingkunganpun dapat diperhatikan," ujarnya.
Diketahui, masyarakat kini juga dihadapkan pada kondisi tingginya harga pangan, terutama beras. Tak hanya harga yang meroket, beras juga mengalami kelangkaan di pasar ritel.
Melansir data Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Kamis (15/2/2024) pukul 12.40 WIB, harga pangan pokok strategis, seperti beras, cabai, minyak goreng, daging ayam dan sapi, hingga kedelai masih cukup tinggi.
Selain itu, pemerintah mencatat nilai impor beras Indonesia selama Januari 2024 mencapai USD279,2 juta atau Rp4,3 triliun (kurs Rp15.624 per dolar AS). Nilai impor beras ini meroket 135,1 persen secara tahunan (yoy) dari USD118,7 juta pada Januari 2023. Namun, turun 16,73 persen secara bulanan (mtm).
Berdasarkan laporan BPS, impor beras mayoritas berasal dari Thailand senilai USD153 juta. Di urutan kedua ada beras dari Pakistan senilai USD79,3 juta, dan yang ketiga dari Myanmar senilai USD23,98 juta.
Ketua DPP Perindo bidang Ketahanan Pangan dan Lingkungan Hidup, Firda Riwu Kore mengatakan Indonesia terus ketergantungan negara pada impor pangan yang mencapai nilai USD13,8 miliar atau setara Rp223 triliun pada 2023. Dia mengatakan hal tersebut berdasarkan kenaikan impor beras yang mencapai 785,5% pada 2023 dibandingkan 2022.
"Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya krisis pangan seperti perubahan iklim ekstrem, kekurangan tenaga kerja dan alih fungsi lahan yang lebih dominan ke arah pemukiman dan industri. Namun hal-hal diatas seharusnya dapat diatasi oleh pemerintah dengan tindakan-tindakan preventif maupun regulasi yang baik," ujar Firda saat dihubungi, Selasa (23/7/2024).
Firda mengungkapkan bahwa Perindo menyarankan tiga hal guna menjadi solusi bagi penyebab ancaman krisis pangan. Pertama guna menanggulangi perubahan iklim ekstrim, lanjut Firda, pemerintah dapat memetakan iklim yang disesuaikan dengan potensi produksi pangan secara efektif.
"Misalkan untuk iklim yang ekstrem, pemerintah dapat mengupayakan pemetaan iklim dan produksi pangan yang lebih masif pada kondisi cuaca yang baik," terang Firda.
Solusi kedua, Firda menuturkan pemerintah dapat membangkitkan gairah milenial dan Gen-Z untuk kembali tertarik pada lapangan pekerjaan di sektor pangan. Ia mencontohkan, pemberian upah yang lebih tinggi dibarengi insentif atas jaminan keberhasilan panen.
"Perihal tenaga kerja, pemerintah dapat memberikan upah yang lebih tinggi yang setara dengan pekerjaan lainnya atau jaminan keberhasilan panen dan stabilitas harga sehingga sektor pertanian dapat dilirik dan dianggap sebagai pekerjaan yang cukup menjanjikan dilihat dari perspektif ekonomi," katanya.
Lebih lanjut, untuk solusi ketiga pada aspek alih fungsi lahan pertanian, Firda menilai pemerintah lebih tegas menegakkan regulasi penggunaan lahan agar stabilitas ketersediannya dapat terjaga.
"Berkaitan dengan alih fungsi lahan, pemerintah dapat melakukan upaya regulasi untuk penggunaan lahan yang tepat guna, agar ketersediaan lahan tetap terjaga dan stabilitas lingkunganpun dapat diperhatikan," ujarnya.
Diketahui, masyarakat kini juga dihadapkan pada kondisi tingginya harga pangan, terutama beras. Tak hanya harga yang meroket, beras juga mengalami kelangkaan di pasar ritel.
Melansir data Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Kamis (15/2/2024) pukul 12.40 WIB, harga pangan pokok strategis, seperti beras, cabai, minyak goreng, daging ayam dan sapi, hingga kedelai masih cukup tinggi.
Selain itu, pemerintah mencatat nilai impor beras Indonesia selama Januari 2024 mencapai USD279,2 juta atau Rp4,3 triliun (kurs Rp15.624 per dolar AS). Nilai impor beras ini meroket 135,1 persen secara tahunan (yoy) dari USD118,7 juta pada Januari 2023. Namun, turun 16,73 persen secara bulanan (mtm).
Berdasarkan laporan BPS, impor beras mayoritas berasal dari Thailand senilai USD153 juta. Di urutan kedua ada beras dari Pakistan senilai USD79,3 juta, dan yang ketiga dari Myanmar senilai USD23,98 juta.
(nng)